ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Thursday, December 1, 2011

MUDHARABAH




I. PENDAHULUAN
Allah telah mengharamkan riba dalam segala aspek kehidupan, maka sebagai alternatif pengganti riba tersebut adalah aktivitas bagi hasil (profit and loss sharing). Pada dasarnya aktivitas bagi hasil tersebut merupakan bentuk kemitraan dalam menjalankan suatu usaha, dimana tidak ada seorang pun yang terus menerus mendapatkan hasil sementara pihak lainnya harus bekerja dengan menanggung sepenuhnya resiko. Dalam kemitraan semua pihak secara bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan. Dalam Islam dikenal beberapa pola kemitraan, salah satunya mudharabah.


II. ISI
A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mudharabah
Pengertian
            Mudharabah berasal dari kata dharaba fi al-ardl, yaitu bepergian untuk berdagang.
            Mudharabah (Chapra, 2000) adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut shahibul-maal atau rabbul-maal ‘penyedia dana’menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif (mitra tidur), sedangkan mitra yang lain disebut mudharib yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri, atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba. Sang mudharib merupakan orang yang diberi amanah dan juga suatu agen bisnis. Sebagai orang yang diberi amanah, ia dituntut untuk bertindak denga hati-hati dan kepercayaan yang baik serta bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Sebagai agen, ia diharapkan mempergunakan dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi bisnis mudharabah tanpa melanggar nilai-nilai Islam.

Dasar Hukum
            Jika ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut Al Quran, Sunnah maupun Ijma.Menurut Al Quran (73;20). (2,198).

020. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Kedua ayat tersebut di atas secara umum memperbolehkan (Jaiz) mudharabah berdasarkan ijma.
 Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan khadijah, dengan modal daripadanya (Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkannya. Ini sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Disamping itu ada alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas bin Abd Muthalib dan Rasulullah pun mengakui akad tersebut.
Menurut sunnah diantaranya hadits Ibnu Abbas ra: “Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib kepada mudharib.
Menurut Ijma, karena sistem ini sudah dikenal sejak zaman nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak mempraktikannya dan tidak ada yang mengingkarinya.

Rukun Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah:
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Objek mudharabah (modal dan kerja)
3.Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
4.Nisbah keuntungan
Pelaku, jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli ditambah faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama (pelaku) kiranya sudah cukup jelas. Dalam akad mudharabah, harus minimal dua orang. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaku usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa kedua pihak ini akad mudharabah tidak ada.
Objek. faktor kedua  (objek mudharabah) merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada,
Para fukaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) beserta modal mudharabah. Namun para ulama mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal.
Yang jelas tidak boleh adalah modal mudharabah yang belum disetor. Para fukaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apa pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad.
Persetujuan. Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
Nisbah Keuntungan. Faktor yang keempat (yakni nisbah) adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

Syarat-Syarat Mudharabah
Syarat-syarat mudharabah (Hasan, 2003)adalah sebagai berikut
1.      Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan transaksi, harus orang yang cakap bertindak atas nama hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
2.      Syarat yang berkaitan dengan modal, yaitu berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, diserahkan sepenuhnya kepada pedagang itu.
Oleh karena itu, apabila modal itu berbentuk barang, maka menurut ulama tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukkan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan hutang, tidak bisa dijadikan sebagai modal mudharabah. Namun, apabila modal itu berupa al-wadi’ah (titipan) pemilik modal kepada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah.
      Menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad itu tidak dibenarkan. Namun menurut Mazhab hambali, boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal saja tidak mengganggu kelancaran jalan perusahaan tersebut.
3.      Syarat yang berkaitan dengan keuntungan, bahwa pembagian keuntungan harus jelas persentasenya seperti 60%:40%, 50%:50% dan sebagainya menurut kesepakatan bersama. Biasanya dicantumkan dalam surat perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian, apabila terjadi persengketaan, maka penyelesainnya tidak begitu rumit.
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik modal mensyaratkan, bahwa kerugian harus ditanggung bersama, maka akad itu batal menurut mazhab hanafi, sebab kerugian tetap ditanggung sendiri pemilik modal.

B. Hikmah dan Pembagian Mudharabah
Hikmah
Menurut Sabiq (1987), hikmah dari  mudharabah yaitu Islam mensyari’atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia. Terkadang sebagian seseorang memiliki harta, tetapi tidak mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Dan terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syari’at membolehkan muamalah, ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan pengalaman mudharib (orang yang diberi modal), sedangkan mudharib dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal). Dengan demikian terciptalah kerjasama antara modal dan kerja. Dan Allah tidak mentepkan segala bentuk akad, melainkan demi terciptanya  kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.

Pembagian Mudharabah
Dilihat dari transaksi (akad) yang dilakukan pemilik modal dan pekerja (pelaksana), mudharabah terbagi dua:
Ø  Mudharabah muthlaqah, yaitu mudharabah tanpa syarat
Ø  Mudharabah muqayyadah, yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu
Mudharabah muthlaqah pekerja bebas mengolah modal itu dengan usaha apa saja yang menurut perhitungannya akan mendatangkan keuntungan dan di arah mana yang diinginkannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah, pekerja mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian yang dikemukakan oleh pemilik modal. Umpamanya, harus memperdagangkan barang-barang tertentu, didaerah tertentu, dan membeli barang pada toko (pabrik) tertentu.
Perbedaan pendapat ini, muncul, disebabkan, apakah sifat akad kedua belah pihak dalam pengertian, bahwa masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad tersebut secara sepihak atau akad itu sifatnya tidak mengikat sama sekali.
Menurut Imam Malik, bahwa apabila perdagangan itu telah dimulai oleh pekerja, maka akaditu bersifat mengikat kedua belah pihak dan tidak dibenarkan dibatalkan secara sepihak oleh masing-masing pihak yang berakad, karena jelas merugikan dan mendapat mudarat kepada pihak lain. Namun, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambali menyatakan, bahwa akad itu tidak bersifat mengikat, sekalipun pekerjaan telah dimulai, karena pekerja di sini melakukan tindakan hukum pada milik orang lain yang seizinnya. Oleh sebab itu masing-masing pihak dapat saja membatalkan akad tersebut, seperti halnya dalam akad al-wadi’ah (barang titipan). Namun, walaupun bagaimana, jika terjadi pembatalan, maka harus diberitahukan pembatalan itu kepada pihak lain. Dilihat dari segi stika, memang harus demikian, agar hubungan tetap dapat terpelihara dengan baik.
Apabila mudharabah tersebut telah memenuhi rukun dan syarat, maka hukum-hukumnya adalah sebagai berikut:
·         Modal ditangan pekerja adalah berstatus amanah dan seluruh tindakannya sama dengan tindakan seorang wakil dalam jual beli. Apabila terdapat keuntungan maka status pekerja berubah menjadi serikat dangang yang memiliki pembagian dari keuntungan dagang tersebut.
·         Apabila akad itu terbentuk mudharabah muthlaqah, maka pekerja bebas mengelola modal tersebut dengan jenis barang apa saja, di daerah mana saja, dengan siapa saja, asal saja apa yang dilakukan itu diperkirakan akan mendapatkan keuntungan. Tetapi pekerja tidak boleh mengutangkan modal tersebut kepada orang lain dan tidak boleh pula mengadakan mudharabah dengan pihak lain dari modal yang diterimanya itu.
·         Pekerja dalam akad mudharabah berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama. Kemudian timbul perbedaan pendapat, apakah nafkah (biaya hidup) pekerja, diambilkan dari modal atau tidak?
Imam Syafi’i menyatakan, bahwa pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal tersebut, sekalipun bepergian untuk keperluan dagang itu, kecuali dnegan seizin pemilik modal. Sedangkan Imam Abu hanifah, Imam Malik dan ulama Mahzab zaidiyah berpendapat, bila kepergian itu ada hubungannya dengan dagang tersebut, maka biayanya dapat diambil dari modal itu (biaya operasional).
Mazhab Hambali mengatakan, bahwa pekerja boleh mengambil biaya hidupnya dari modal itu, selama ia mengolah modal tersebut. Demikian juga halnya dengan biaya bepergian.
Pada dasarnya semua persoalan hendaknya dikembalikan kepada isi perjanjian yang dibuat dan disepakati bersama.
·         Jika kerjasama itu mendatangkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan keuntungan dan modalnya juga kembali. Tetapi, jika tidak mendapatkan keuntungan, maka pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa. Sama saja halnya dengan pekerja tidak mendapat apa-apa, walaupun telah memeras otak dan tenaga.

C. Fatwa DSN tentang Mudharabah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 07/DSN-MUI/IV/2000

Tentang

PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang            :    a.   bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak;
                                    b.  bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat              :    1.    Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
                                          “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
2.   Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
                                         “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
                                    3.    Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
..فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
       “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4.    Hadis Nabi riwayat Thabrani:
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
       “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
5.    Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب)
       “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
6.    Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
       “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
7.    Hadis Nabi:
لاَضَرَرَ وَلاَضِرَارَ  (رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما عن أبي سعيد الخدري)
       “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
8.       Ijma.
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).
                                    9. Qiyas.
Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
                               10.            Kaidah fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
       “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan      :         Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan           :    FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Pertama                 :    Ketentuan Pembiayaan:
1.    Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2.    Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3.    Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4.    Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.    Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.    LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7.    Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.    Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9.    Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10.  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua                    :    Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1.    Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.    Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.    Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.    Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.    Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.    Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.    Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.    Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.    Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.    Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.    Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.    Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.    Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana,  harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.    Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.    Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.    Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga                    :    Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1.    Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2.    Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3.    Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4.    Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


                                                                  Ditetapkan di        : Jakarta

                                                                            Tanggal     : 29 Dzulhijjah 1420 H.                                                 4   April         2000 M


D. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil (Tulisan Sula, 2004)
            Meskipun mudharabah (profit-sharing) dan pinjaman berbunga kelihatannya serupa, namun perbedaannya jelas lebih dari sekedar perbedaan semantik. Dalam Profit-sharing hasilnya tidak dijamin. Sedangkan, dalam pinjaman berbunga, maka pinjaman tersebut tidak tergantung pada hasil yang untung dan rugi, dan biasanya terjamin. Sehingga, si debitur harus mengembalikan modal yang dipinjam ditambahkan jumlah bunga yang pasti (atau sudah ditetapkan sebelumnya) tanpa peduli dengan bagaimana hasil dari penggunaan modal pinjaman itu. Dengan demikian, pada pinjaman berbunga, kerugian finansial sebagian langsung kepada si peminjam.
            Dalam mudharabah, kerugian finansial sepenuhnya ditanggung oleh pemberi pinjaman. Sementara itu, pengusaha hanya rugi waktu dan tenaga yang diinvestasikan dalam perusahaan, dan tidak mendapatkan imbalan apa pun dari pekerjaannya. Distribusi ini secara efektif memperlakukan modal manusia (tenaga) sama dengan modal finansial.
            Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing:
  1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian.Dengan demikian, perolehanan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
  2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
             
Secara singkatnya, perbedaan bunga dengan bagi hasil
Bunga
Bagi Hasil
A. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
A. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
B.Besarnya persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
B. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
C. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh nasabah untung atau rugi
C. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
D. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
D. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
E. Eksistensi bunga diragukan ( kalau tidak dikecam ) oleh semua agama termasuk Islam
E. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


E. Aplikasi Mudharabah di Bank Syariah
            Dalam kitab-kitab klasik fiqih Islam, hanya dijumpai skema mudharabah yang berlaku antara dua pihak saja secara langsung, yakni shahib al-mal berhubungan langsung dengan mudharib. Dan inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.
Mudharabah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib al-mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik-profesionalitas maupun karakternya.
Modus mudharabah seperti ini tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal:
1.      Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.
2.      Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3.      Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkan.
Untuk mengatasi hal di atas, khususnya masalah pertama dan kedua, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahib al-mal dengan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing.
Dalam skema indirect fianancing, bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana tersebut dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya, dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Nah, keuntungan dari penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dan pemilik dana (pemilik dana ketiga), sebagai ilustasi adalah produk yang ada pada Bank Muamalah Indonesia. Salah satu produknya adalah Tabungan Mudharabah.
Tabungan Mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di BMI yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa hari sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini BMI bertindak sebagai mudharib dan deposan sebagai shahibul al-maal. BMI sebagai mudharib akan membagi keuntungan kepada shahibul al-maal sesuai dengan nisbah (persentase) yang telah disetujui bersama.
Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode waktu tersebut. Umpamanya, seorang pemilik Tabungan Mudharabah sebesar 5 juta. Nisbah (perbandingan) bagi hasil 50%:50%. Diasumsikan total saldo rata-rata dari Tabungan Mudharabah di BMI ada 100 juta dan keuntungan yang diperoleh dari dana tabungan sebesar Rp 3 juta. Pada akhir bulan, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut:
5.000.000        x 3.000.000 x 50% = Rp.75.000
100.000.000 

F. Jaminan (Colateral) dalam Mudharabah
            Investor tidak dapat menjamin dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya modal yang diberikan atau modal beserta keuntungan (profit). Karena dalam kontrak mudharabah, hubungan antara investor dan mudharib terikat dalam satu gadaian yang saling mempercayakan. Pihak investor melalui modalnya dan pihak mudharib melalui mengelola usahanya. Sehingga, ada jaminan (garansi) akan menjadi kontrak tidak sah. Jika investor menuntut adanya persyaratan jaminan (garansi) beserta ketentuan-ketentuannya kepada mudharib dalam terminologi kontrak mudharabah, menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, kontrak tersebut tidak sah.



G. Aplikasi Mudharabah di LKS Lainnya: Asuransi
            Dalam rangka menghindari praktik riba pada lembaga keuangan syariah, maka mudharabah pun dilakukan pada di lembaga asuransi. Praktik mudharabah dalam asuransi, terlihat pada asuransi jiwa (takaful keluarga) dan asuransi kerugian (takaful umum). Aplikasi mudharabah pada takaful keluarga dapat dilihat misalnya perhitungan rate premi. Cara perhitungan dengan asumsi bunga tetap (bunga teknik) diganti dengan skim mudharabah (bagi hasil), demikian juga dalam skim-skim investasi dan perhitungan surplus underwriting. Penentuan hak atas dana hasil investasi (produk saving) dan hak atas dana dari surplus underwriting (produk non saving) semuanya bebas dari bunga,  dan sebagai gantinya digunakan instrument mudharabah. Dengan demikian, takaful keluarga dalam sistem operasionalnya benar-benar bersih dari praktik riba.

v  Implementasi al Mudharabah pada Asuransi Jiwa ( Life Insurance)
            Berikut ini beberapa bagian dalam operasional di mana Takaful keluarga (asuransi jiwa) menggunakan sistem mudharabah sebagai berikut:
  1. Bagi hasil dalam Deposito dan Sertifikat Deposito Bank-Bank Syariah.
  2. Bagi hasil dalam Direct Invesment
  3. Bagi hasil dalam penyertaan saham, obligasi, reksadana, leasing dan investasi syariah lainnya.
  4. Bagi hasil antara peserta dan perusahaan atas hasil investasi berdasarkan skema yang diperjanjikan (dalam produk jiwa yang mengandung saving)
  5. Bagi hasil atas surplus underwriting antara peserta dengan perusahaan (dalam produk asuransi jiwa non saving).
  6. Bagi hasil dalam penentuan rate premi pada produk-produk saving maupun non saving
Contoh perhitungan mudharabah dalam produk non saving
ü  Ada 10 peserta
ü  Premi per peserta 1 jt
ü  Jumlah premi 10 jt
ü  Loading/biaya 30%
ü  Hasil Investigasi setara dengan 10%
ü  Biaya Reas 1,5 juta
ü  Biaya Klaim 2 jt
ü  Bagi Hasil: 40% peserta dan 60% perusahaan asuransi

Perhitungannya adalah sebagai berikut:
ü  Premi                                       10.000.000
ü  Loading (biaya akuisisi)          (3.000.000)
ü  Biaya Reas (netto)                  (1.500.000)
ü  Premi netto                              5.500.000
ü  Biaya klaim                             (2.000.000)
ü  Klaim reas                               1.600.000
ü  Hasil Investasi                         1.000.000
ü  Ta’awun (10%)                       (1.000.000)
ü  Surplus yang dibagihasilkan   5.100.000
§  bagian peserta 40% x  5.100.000 = 2.040.000
§  Bagian perusahaan 60% x 5.100.000 = 3.060.000

ü  Rate bagi hasil bagi peserta
2.040.000 x 100% =20,4%
10.000.000
ü  Jadi perusahaan mengelola = 3.000.000 + 3.060.000 = 6.060.000
ü  Ta’awun = membantu kumpulan lain yang klimnya lebih besar dari premi (kumpulan yang defisit) dalam hal ini diasumsikan.


v  Implementasi al Mudharabah pada Asuransi Umum (General Insurance)
Pada asuransi umum (kerugian) dengan prinsip-prinsip syariah, implementasi sistem mudharabah dapat kita lihat misalnya pada operasional PT Asuransi Takaful umum sebagai berikut.
  1. Akad mudharabah
-    Dengan akad mudharabah berarti surplus underwriting dari hasil operasi perusahaan dibagi diantara operator dengan peserta atau partisipan.
-    Dasar perhitungan mudharabah dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang surplus underwriting yang diperoleh.
  1. Ketentuan mudharabah
-    Perhitungan mudharabah harus didasarkan kepada kinerja yang sebenarnya dari Takaful fund (perusahaan asuransi tersebut)
-    Pembayaran mudharabah tidak di offset langsung dengan premi renewel kecuali atas permintaan peserta
-    Mudharabah tidak dibayarkan di muka
  1. Persyaratan pembayaran mudharabah
-    Polis telah jatuh tempo
-    Premi (takaful kontribusi) telah dibayar penuh
-    Tidak ada pembayaran klaim selama periode covered.
  1. Formula perhitungan mudharabah
-    Periode takaful
-    Takaful kontribusi
-    Tanggal pembayaran
-    Rate mudharabah
  1. Tata cara perhitungan mudharabah
-    Besarnya mudharabah yang dihitung diperoleh dengan cara rata-rata tertimbang dari surplus underwriting.
-    Rasio mudharabah diperoleh dengan membagi rata-rata tertimbang mudharabah yang akan dibagikan dengan premi bruto rata-rata dan dibulatkan ke atas.
  1. Tata cara pembayaran mudharabah
-    Cadangan mudharabah dibagikan kepada peserta yang selesai pertanggungannya dengan menggunakan rate atas premi yang disetor peserta.
-    Peserta yang menerima mudharabah adalah peserta yang tidak mendapatkan manfaat klaim.
-    Peserta yang melakukan keterlambatan pelunasan diberikan mudharabah secara proposional.
-    Peserta yang telah jatuh tempo polisnya dikirimi surat konfirmasi untuk penentuan pembayaran mudharabahnya.
-    Pengiriman surat konfirmasi mudharabah bersamaan dengan pengiriman surat konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer care.
-    Konfirmasi mudharabah dari nasabah segera diserahkan ke divisi keuangan untuk segera dibayarkan.
  1. Sistem pembayaran mudharabah
-    Transfer melalui bank
-    Cek atas nama tertanggung
-    Cash (tunai)
-    Transfer ke rekening koperasi peserta
-    Disumbangkan ke lembaga zakat
Contoh 1: Perhitungan mudharabah (General Insurance)
ü  Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü  Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü  Tanggal pembayaran 01/01/02
ü  Rate Mudharabah 10%
ü  Mudharabah : 10% x 3.000.000 = 300.000

Contoh 2:
ü  Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü  Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü  Tanggal pembayaran 01/02/02
ü  Rate Mudharabah 10%
ü  Mudharabah : 10% x 335/365 x 3.000.000 = 275.000
Contoh 3:
ü  Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü  Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü  Rate Mudharabah 10%
ü  Tanggal pembayaran :
-    01/02/02 Rp. 1.500.000
-    01/06/02 Rp. 1.500.000
ü  Mudharabah :
-          10% x 335 x 1.500.000 = 137.671
-          10% x 214/265 x 1500.000 = 87.945

H. Pembatalan Mudharabah
            Akad mudharabah dinyatakan batal (berakhir), apabila:
·         Masing-masing pihak menyatakan, bahwa akad tersebut batal, atau pekerja dilarang bertindak untuk menjalankan modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya. Hendaknya diingat sebagimana telah disinggung terdahulu, bahwa kurang etis apabila pembatalan itu datangnya dari sepihak.
·         Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Menurut jumhur ulama jika pemilik modal meninggal dunia, maka akad tersebut batal, karena akad mudharabah sama dengan akad wakalah (perwakilan) yang gugur disebabkan wafat orang yang mewakilkan. Disamping itu, akad mudharabah tidak dapat diwariskan (jumhur ulama). Namun, Mazhab ulama Maliki berpendapat, bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akadnya tidak batal dan dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena menurut mereka akad mudharabah dapat diwariskan. Pada umumnya dalam masyarakat pada saat in, pendapat Mazhab Maliki dipergunakan orang.
·         Salah seorang yang berakad gila, karena orang gila tidak dapat bertindak atas nama hukum.
·         Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam). Menurut Imam Abu hanifah akad mudharabah menjadi batal, karena kemurtadan itu.
Berdasarkan pendapat ini berarti tidak dibenarkan mengadakan akad mudharabah dengan non muslim.
·         Modal telah habis terlebih dahulu, sebelum dikelola oleh pekerja. Umapamanya, setelah dibuat perjanjian akad, modal tidak jadi diserahkan, apakah karena dibelanjakan, dicuri orang atau sebab-sebab lainnya.

III. PENUTUP
            Mudharabah merupakan aktivitas bisnis yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dalam Mudharabah terjadi kerjasama antara pemodal (shahibul al-maal) dengan pekerja (mudharib) dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi hasilkan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Mudharabah ini digunakan sebagai salah satu instrumen pengganti instrumen bunga/riba. Sesuai dengan perkembangan zaman, mudharabah dimodifikasi dengan mengikutkan peran lembaga intermediasi, seperti halnya perbankan, asuransi dan lembaga keungan syariah lainnya.


Daftar Pustaka

Chapra, M Umer (2000): Ekonomi Moneter, Jakarta, Gema Insani
Hasan, M Ali (2003): Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalat), Jakarta, RajaGrafindo Persada
Karim, Adiwarman (2004): Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, Edisi Dua, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Sabiq (1987): Fikih Sunnah 12, Bandung, Alma’arif
Siddiqi, M Nejatullah (1996): Kemitraan dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa.
Sula, Muhammad Syakir (2004): Asuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta, Gema Insani


No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...