ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Tuesday, January 17, 2012

FIQH MUAMALAH UNTUK BANK SENTRAL


FORMULASI FIQH MUAMALAH SEBAGAI INSTRUMEN PENGENDALIAN MONETER BAGI BANK SENTRAL 

Oleh : Agustianto

Perkembangan industri perbankan  syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank umum syariah masih tunggal, yakni  hanya Bank Muamalat dengan beberapa kantor cabang, capem dan kantor kas, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611 (data Mei 2006). Dalam mengembangkan produk-produk perbankan tersebut, telah dirancang dan dirumuskan bermacam skim-skim syariah yang berasal dar fiqh muamalah, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, ba’ salam, bai istisna’, ijarah, ijarah muntahiyah bit tamlik, qaradh, kafalah, hawalah, wakalah, rahn dan sebagainya. Dewan Syariah Nasional (DSN) juga telah mengeluarkan 54 fatwa yang pada umumnya berkaitan dengan produk-produk bank syariah. Konsep-konsep fiqh mumalah tersebut juga telah dipositivasasi oleh Bank Indonesia melalui PBI (Peraturan Bank Indoensia)

Sebagaimana perbankan syariah, Bank Sentral, dalam hal ini  Bank Indonesia juga membutuhkan formulasi fiqh muamalah yang aktual, relevan dan maslahah untuk menjalankan fungsi-fungsinya sebagai bank sentral. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki banyak peran,  di antaranya adalah melakukan pengendalian moneter
Pengendalian moneter secara konvensional dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas Bank Indonesia (FasBI) dan fasilitas SBI Repo. Sementara itu, pada perbankan syariah dilaksanakan dengan menggunakan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Pesatnya perbankan syariah, menuntut adanya pengelolaan likuiditas melalui pasar uang antar bank secara syariah. Pasar uang ini akan berdampak kepada kondisi moneter secara keseluruhan.  Bank Indonesia harus mengantisipasi hal ini dalam melakukan pengendalian moneter. Dalam konteks ini, istilah ekonomi keuangan dan perbankan untuk pengendalian ini dilakukan  melalui Operasi Pakar Terbuka. Pengembangan instrumen operasi pasar termuka merupakan salah satu faktor pendukung pengembangan perbankan syariah melalui ketersedian alternatif instrumen yang memadai dalam rangka optimalisasi pengelolaan likuiditas perbankan syariah.
Operasi Pakar Terbuka (OPT)
OPT adalah kegiatan yang dilakukan atas inisiatif bank sentral dengan counterparts-nya dalam rangka menyediakan atau menyerap likuiditas di pasar uang. Bank sentral biasanya menyediakan likuiditas bagi pasar keuangan dengan melakukan pembelian surat berharga (biasanya surat utang pemerintah), baik secara putus (outright) atau secara repurchase agreement (Repo). Sementara untuk melakukan penyerapan, bank sentral dapat menerbitkan (surat berharga bank sentral) atau menjual surat berharga. Penjualan surat berharga tersebut dilakukan dalam bentuk reverse repo. Mekanisme ini biasanya digunakan di negara-negara yang pasar uangnya sudah cukup maju.
Al-Quran dengan tegas menyatakan bahwa membuat ukurean harua adil dan lurus. Ayat ini menutrut Umar Chpara mengindikasikan bahwa Islam meniscayalkan akan stabiulitas mata uang. Para ulama sepakat, bahwa mata uang harus stabil. Ukuran kurs anbta mata uang seharusnya juga stabil, agar mudah melakukan lkegiuatan usaha dan melakukan prdiskis bisnis nbagi masyarakat. Para inetelktal ekonomi kIslam kontremporer juga sepaskat akan pentingnya stabilitas nilai tukar  dan perlunya mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan instrumen moneter yang tepat 
Selanjutnya dengan megutip pendabfgab Al-Ghazali, parfa ahli ekonomi islam juga sepakat bahwa uang bukan sebagai komoditi, sebagaimana terdapat dalam kaedah fiqh ekonomi
النقود ليست سلعة
 “Uang bukan komoditas”,
النقود ألة التبادل المالي
Uang adalah alat tukar (medium of exchange)

Dalam konsep ekonomi Islam, nilai uang tidak mengalami pertambahan (ziyadah) seiring perubahan waktu.  Karena itu, pemilik uang yang ingin menghasilkan return dari uang yang dimilikinya, harus menginvestasikan uangnya itersebut  ke sektor riil yang produktif. Hal ini disebabkan karena Islam melarang interest rate dalam perekonomian. kebijakan moneter dalam konteks ekonomi Islam mestinya didasarkan pada stock of money (kuantitas) daripada suku bunga.  Bank sentral dalam kebijakan moneternya seharusnya mampu menghasilkan pertumbuhan money supply yang cukup untuk membiayai pertumbuhan output jangka menengah dan panjang dalam kerangka kestabilan harga.
Karena Islam melarang instrumen bunga, maka instrumen pengendalian moneter yang digunakan adalah profit-loss sharing (PLS). Berbicara tentang PLS, berarti meniscayakan adanya usaha riil produktif yang dilakukan untuk mencari laba. Sedangkan bank sentral lazimnya tidak berorientasi mencari laba. Oleh karena itu, dengan diterapkannya sistem syariah dalam segala aktivitas bank sentral, mau tidak mau, bank sentral  tersebut harus  menyiapkan segala suatu yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan moneter untuk bank syariah termasuk menciptakan instrumennya. Penciptaan instrumen syariah untuk pengendalian moneter yang berbeda dengan bank sentral pada umumnya, sebenarnya tidak menjadi persoalan. Hal ini sama saja ketika bank syariah melakukan jual beli dalam menjalankan bisnisnya. Ini juga sebenarnya berbeda dengan sistem perbankan pada ummnya yang menjadikan bank sebagai lembaga intermediasi saja, bukan lembaga yang dapat menjalankan bisnisnya dengan jual beli. Jadi seandainya bank sentral memiliki usaha produktif yang riil, maka hal itu harus dilakukan, guna menjaga kepatuhan kepada syuriah.
Konsep fiqh muamalah yang dapat dijadikan instriumen untuk pengendalian moneter bagi bank sentral antara lain, 1. Wadiah, 2. Musyarakah, 3. Mudharabah, 4. Ar-Rahn, 5. Al-Ijarah




1.Wadiah
Konsep  wadiah adalah menitipkan sesuatu kepada orang lain yang dipercayai. Titipan tersebut dapat dikelola untuk menghasilkan oleh yang dititipi namun dapat juga tidak. Oleh karena sifatnya titipan maka pihak yang dititipi tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbal hasil. Penerapan instrumen pengendalian moneter berbasis syariah yang menggunakan prinsip wadiah digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Malaysia berupa Wadiah Interbank Acceptance (WIA). Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a.       SWBI
Instrumen ini digunakan untuk menyerap likuiditas dan terutama diperuntukkan untuk perbankan syariah. Metode penyerapan dilakukan dengan membuka window setiap hari kerja jam 10.00 s.d. 14.00 WIB. Instrumen tersedia dalam jangka waktu 7, 14, dan 28 hari dan tidak dapat dicairkan sebelum jatuh waktu. Bank Indonesia dapat memberi imbalan atas titipan ini ada dasar prinsip sukarela.
b.      WIA
Sebagaimana SWBI, instrumen ini bersifat menyerap likuiditas yang diperuntukan khusus bagi bank syariah. Karakteristik utama instrumen ini adalah tidak dapat dicairkan sebelum jatuh tempo dan tidak menjanjikan imbalan.  Dalam hal Bank Negara Malaysia memberikan imbalan, maka imbalan tersebut diberikan dalam bentuk hibah.   Besarnya imbalan untuk sessi pagi didasarkan pada Pasar Uang antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), sementara untuk sessi sore mengacu pada kebijakan Bank Negara Malaysia (lebih kecil dari sessi pagi).
Target lelang Wadiah Interbank Acceptance didasarkan pada perkiraan likuiditas di perbankan syariah.  Dalam hal penawaran lebih besar dari target maka pemenang lelang ditentukan berdasarkan proporsi tertentu dari jumlah titipan.  Window dibuka sesuai kebutuhan yakni sessi pagi dengan metode auction untuk tenor 1 minggu sampai dengan 3 bulan dan sessi sore melalui agen untuk tenor overnight (O/N).  Setelmen untuk sessi pagi diselesaikan pada pukul 13.00, sedangkan untuk sessi sore diselesaikan pada pukul 18.00 waktu setempat.  Pengumuman imbalan untuk sessi pagi dilaksanakan pada maturity date, sedangkan untuk sessi sore dilakukan pada saat diterbitkan.

2. Musyarakah
Struktur musharakah ini sebenarnya analog dengan bentuk joint venture, di mana ada beberapa pihak yang sepakat bekerjasama dan masing-masing pihak memberikan kontribusi (dana, keahlian, aset, dan lain-lain) yang akan digunakan dalam kerjasama tersebut. Dalam kesepakatan tersebut masing-masing pihak juga setuju baik mengenai pembagian keuntungan maupun risiko dari kerjasama tersebut.
Untuk mengaplikasikan prinsip ini,  pemerintah/bank sentral suatu negara dapat melakukan kesepakatan melakukan kerjasama dengan investor dimana investor berperan sebagai pihak yang memberikan kontribusi dana. Atas kerjasama tersebut pemerintah menerbitkan sertifikat atas kontribusi dana tersebut dan memberikan return berdasarkan prinsip bagi hasil. Dana tersebut dapat digunakan pemerintah untuk investasi pada perusahaan-perusahaan publik atau kegiatan pemerintah lainnya yang memberikan hasil yang kemudian return ditentukan berdasarkan bagi hasil yang disepakati. Sementara untuk bank sentral, return didasarkan penghasilan dari aktiva produktif bank sentral yang dapat diidentifikasi secara jelas misal fee dari kegiatan sistem pembayaran, operasi valas, maupun dari fasilitas pembiayaan yang diberikan bank sentral.
Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal sebagai Government Musharakah Certificate (GMC) dan Central Bank Musharakah Certificate (CMC).
Karakteristik MC ini adalah sebagai berikut:
-          Berbasis ekuitas, karena berdasarkan investasi pada kegiatan produktif;
-          Sertifikat ini dapat diperjualbelikan dengan harga dapat lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari nilai nominalnya tergantung ekspektasi atas kinerja perusahaan publik yang dijadikan tempat investasi;
-          Tidak ada jaminan atas nilai nominal investasi maupun laba atau rugi. Semuanya benar-benar didasarkan pada hasil aktual kinerja investasi.

Mengingat karakteristik MC yang dapat diperjualbelikan di pasar sekunder memungkinkan Bank of Sudan menggunakannya untuk instrumen pengendalian moneter. CMC dapat langsung digunakan dan berfungsi sebagai instrumen moneter, sedangkan untuk GMC baru dapat digunakan sebagai instrumen setelah sebagian dari GMC yang diterbitkan pemerintah ditransfer ke Bank of Sudan terlebih dahulu.

3. Mudharabah
Prinsip Mudharabah adalah kerjasama dengan pembagian atas keuntungan (profit sharing agreement) antara orang/pihak yang memiliki dana (shahibul mal/surplus unit) dan orang/pihak yang akan mengelola dana (mudharib/deficit unit). Pembagian keuntungan maupun risiko antara kedua pihak tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian. Struktur ini mirip dengan investment fund dimana dana dikumpulkan (pool) dan dikelola oleh seorang manajer. Jangka waktu struktur ini bisa jangka pendek, jangka menengah, maupun  jangka panjang.
            Instrumen keuangan yang digunakan sebagai instrumen pengendalian moneter berbasis syariah yang menerapkan prinsip Mudharabah antara lain adalah:
a. National Participation Paper (NPP)
Instrumen ini dipergunakan di Republik Iran. Walaupun tidak secara langsung menyebut menggunakan prinsip Mudharabah, namun secara mekanisme instrumen ini menggunakan prinsip tersebut. Karakteristik dari NPP ini adalah surat berharga pemerintah yang diterbitkan untuk menghimpun dana yang digunakan untuk proyek pemerintah tanpa secara spesifik menunjuk pada suatu proyek tertentu. Adapun returnnya dapat merujuk pada pertumbuhan GDP, rate of return proyek swasta ataupun indeks lain yang mewakili. Surat berharga ini dapat diperjualbelikan sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian moneter.

b. Mudharabah Money Market Operations
Instrumen ini bersifat menambah likuiditas bank syariah (ekspansif).  Karakteristik utama instrumen ini adalah sebagai funding facility dari Bank Negara Malaysia kepada bank syariah dengan prinsip bagi hasil (profit sharing).  Jangka waktu instrumen ini bervariasi dari overnight (O/N) sampai dengan 7 hari.   Besarnya nisbah bagi hasil ditentukan oleh Bank Negara Malaysia berdasarkan gross profit before distribution investment 1 year dari bank penerima dana.

4. Al Ijarah
Prinsip Al-Ijarah ini biasa dikenal sebagai leasing adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Namun demikian prinsip akad Al Ijarah ini bisa diperluas dengan ditambahkannya opsi pemindahan kepemilikan yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit tamlik yaitu akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan kepada penyewa.[1] Akad ini biasanya digunakan untuk pembiayaan pembelian mesin, kendaraan, dan peralatan.
Penerbitan surat berharga atas transaksi yang menggunakan prinsip yang kemudian dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian moneter adalah:

a. Sukuk Al Ijarah
Surat berharga ini diterbitkan untuk menghimpun dana yang digunakan untuk proyek pemerintah yang dilakukan melalui bentuk sekuritisasi aset atas aset berwujud pemerintah misal gedung, jalan tol, lapang terbang, dan lain-lain. Sukuk dapat diperdagangkan di pasar sekunder sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pengendalian moneter. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain. Surat berharga yang berbasis Sukuk Al Ijarah di Malaysia adalah:

- Bank Negara Negotiable Notes
BNNN diterbitkan dengan prinsip Sukuk Al Ijarah. Bank Negara Malaysia menjual asset yang dimiliki melalui lelang.  Pemenang lelang membayar tunai secara discount, dan menjual kembali asset tersebut at par (100%) secara kredit.  Berdasarkan transaksi tersebut, Bank Negara Malaysia menerbitkan Bank Negara Negotiable Notes dengan sistem lelang yang diikuti hanya oleh bank syariah.   Perdagangan instrumen ini di pasar sekunder dapat dilakukan antar bank syariah atau antara bank syariah dan bank konvensional.
Dalam penggunaan sebagai instrumen pengendalian moneter, instrumen ini digunakan untuk menyerap likuiditas jangka pendek di perbankan syariah.  Adapun mekanisme pelaksanan pengendalian moneternya menggunakan prinsip Bai al Inah (sell and purchase),  diperdagangkan di pasar sekunder dengan prinsip Bai ad Dayn (debt trading) dan dapat direpokan ke bank sentral.   Penerbitan instrumen ini dilakukan dengan cara sekuritisasi asset dengan tenor 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan  1 tahun.  
- Government Investment Issues
Pemerintah Malaysia menerbitkan Government Investment Issues melalui Bank Sentral berdasarkan kebutuhan kas Pemerintah dan likuiditas perbankan. Harga ditentukan berdasarkan expected dividen yang diumumkan oleh Bank Negara Malaysia secara regular.  Peserta lelang di pasar perdana hanya diperuntukan bagi bank syariah.  Perdagangan di pasar sekunder dapat dilakukan antar bank syariah atau antara bank syariah dan bank konvensional. 
Instrumen ini bersifat menyerap likuiditas perbankan syariah.   Surat berharga ini diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia yang pada saat diterbitkan menggunakan prinsip Bai al Inah (sell and purchase).  Surat berharga ini memiliki tenor 2 sampai dengan 5 tahun dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan prinsip Bai ad Dayn (debt trading).  Di samping itu Government Investment Issues dapat direpokan ke Bank Sentral, baik oleh bank syariah maupun oleh bank konvensional.


5.      Ar Rahn
Jenis transaksi dengan prinsip Ar-Rahn digunakan di Malaysia sebagai instrumen pengelolaan moneter dan dikenal sebagai Ar Rahnu Agreement.

- Ar Rahnu Agreement
Instrumen ini bersifat menambah likuiditas bank syariah (ekspansif).   Karakteristik utama instrumen ini adalah sebagai funding facility dari Bank Negara Malaysia kepada bank syariah dengan jaminan surat berharga.   Jangka waktu instrumen bervariasi mulai overnight (O/N) sampai dengan 1 (satu) tahun.  Imbalan ditentukan oleh bank penerima dana dan merupakan hibah (gift).  Apabila bank syariah tidak mampu membayar, maka Bank Negara Malaysia akan menjual surat berharga yang dijaminkan.  Kelebihan penjualan surat berharga dari pokok pinjaman maka Bank Negara Malaysia akan mengembalikan kelebihan tersebut.

Bai al Inah Transaction

Instrumen ini muncul setelah Bank Negara Malaysia menjual asset yang dimiliki kepada bank syariah secara forward  dengan harga nominal plus profit rate.  Pada saat yang sama, bank syariah menjual kembali asset tersebut secara tunai kepada Bank Negara Malaysia pada harga at par (100%).  Pada saat jatuh tempo, bank  syariah akan membayar ke Bank Negara Malaysia sebesar 100% plus profit rate.  
Instrumen ini bersifat menambah likuiditas perbankan syariah.  Karakteristik utama instrumen ini adalah sebagai funding facility dari Bank Sentral kepada bank syariah dengan menggunakan prinsip Bai al Inah (penjualan dan pembelian kembali asset Bank Negara Malaysia).  Fasilitas ini memiliki tenor overnight (O/N) sampai dengan 7 (tujuh) hari. 
Ini jangan dilakukan secara ba’i al-‘inah, karena ba’ al-inah dilarang dalam Islam.
Penutup                                                         
Untuk implementasi instrumen pengendalian moneter berdasarkan syariah, perlu dilakukan revisi atas PBI Tentang Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Revisi ini dilakukan  karena akan diterapkannya instrumen baru selain instrumen yang ada selama ini (sertifikat IMA). Tujuannya adalah agar bank syariah mendapatkan alternatif instrumen pendanaan dan pembiayaan yang lebih beragam sehingga aktifitas transaksi PUAS yang selama ini relatif kurang aktif dapat menjadi lebih aktif.  Dengan semakin lengkapnya instrumen di pasar uang syariah diharapkan akan semakin mendorong terciptanya sistem keuangan syariah yang semakin maju dan berkembang di masa depan.








No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...