ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Tuesday, March 13, 2012

AL-HAJR (PENGAMPUAN)


AL-HAJR
(PENGAMPUAN)


  1. Pengertian
Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Istilah hukum perdata berarti pengampuan. Al-Hajr dalam fikih Islam ditemui dalam pembahasan tindakan kecakapan melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Al-Hajr maksudnya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Berkenaan dengan al-Hajr para ulama membuat definisi. Ulama mazhab Hanafi membuat definisi:
a.       Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak secara hukum terhadap hartanya.  Apabila seseorang yang berstatus dibawah pengampuan melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, seperti jual-beli atau hibah, maka tindakannya tidak sah.
b.      Larangan khusus yang berhubungan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu pula.
Berdasarkan definisi kedua ini, apabila orang yang berada dalam pengampuan melakukan suatu tindakan yang bersifat ucapan atau pernyataan, maka akad yang dilakukannya itu tidak sah, kecuali ia mendapat izin dari walinya (pengampunya). Selama yang bersangkutan masih berstatus pengampuan, segala kegiatan atau tindakan yang berakibat merugikan harta benda, maka kegiatan itu harus diambil dari hartanya, dan jika tidak punya harta, diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, walaupun bagaimana hukuman fisik tidak boleh dilakukan kepada orang yang berada dalam pengampuan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan:
Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga dia dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya atau melakukan suatu tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya”
Mereka berpendapat, bahwa penentuan seseorang benar dibawah pengampuan didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang melakukan tindakan hukum diluar batas kemampuannya adalah anak kecil, orang gila, orang dungu, dan orang jatuh pailit. Mereka semua dilarang melakukan tindakan secara hukum seperti jual-beli atau pemindahan hak milik lainnya. Apabila melakukan hal itu, maka tindakannya tidak berlaku dengan sendirinya. Namun, sebagai akibat dari tindakan hukum yang mereka lakukan, mereka harus mendapat izin dari walinya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya adalah orang sakit yang diduga keras penyakitnya tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu berakhir dengan kematian.
Segala bentuk jual-beli dari orang seperti ini tidak dilarang. Tindakan pemindahan hak secara sukarela seperti hibah, wasiat dan sedekah hanya dibolehkan sampai sepertiga hartanya. Selebihnya tidak dapat dibenarkan.
Ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali mendefinisikan al-Hajr dengan:
“Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila dan orang dungu, atau muncul dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya melebihi harga pasar”
Sementara dalam Buku Fiqh Muamalah yang ditulis Nasrun Haroen (2000) menjelaskan mengenai Al Hajr atau Pengampuan, sebagai berikut :
Secara etimologi, al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara ‘alaihi hajran, artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam al-Qur’an, kata al-Hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.
Secara terminologi, dijumpai beberapa definisi al-Hajr yang dikemukakan para ulama fiqh. Akan tetapi, pada dasarnya, definisi-definisi itu secara substansial adalah sama. Di kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua definisi, yaitu:
Pertama,
Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak hukum terhadap hartanya.
Apabila seseorang yang berstatus di bawah pengampuan melakukan tindakan hukum dalam bentuk perkataan yang berakibat kepada hartanya, seperti jual beli atau hibah, maka tindakannya itu tidak dapat dilaksanakan, serta segala akibat akad itu tidak berlaku, karena akadnya sendiri tidak sah.
Kedua,
Larangan khusus yang berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan hukum tertentu pula.
Apabila orang yang dalam pengampuan melakukan suatu tindakan hukum yang bersifat ucapan atau pernyataan, transaksi yang ia lakukan itu tidak sah, kecuali bila ia mendapatkan izin dari walinya (yang mengampunya). Apabila orang yang dalam status pengampuan melakukan suatu tindakan mengakibatkan kerugian harta benda, maka kerugian harta benda, maka kerugian itu harus diganti dengan hartanya, jika ia punya harta, atau diminta kepada wali yang mengampunya. Namun, hukuman yang bersifat fisik tidak boleh dikenakan kepada orang-orang yang berada dalam pengampuan itu.
Ulama Malikiyah mendefinisikan al-Hajr dengan:
Status hukum yang diberikan syara’ kepada seseorang sehingga ia dilarang melakukan tindakan hukum diluar batas kemampuannya, atau melakukan seuatu tindakan pemindahan hak milik melebihi sepertiga hartanya.
Mereka berpendapat bahwa penentuan seseorang berada di bawah pengampuannya didasarkan kepada ketentuan syara’. Orang yang dilarang melakukan tindakan hukum di luar batas kemampuannya, menurut mereka, adalah anak kecil, orang dungu, orang yang jatuh pailit, dan sebagainya. Mereka semua dilarang melakukan tindakan hukum seperti jual-beli, atau melakukan perpindahan hak milik lainnya. Apabila mereka melakukan suatu tindakan hukum. Maka akibat dari tindakan hukum itu tidak berlaku dengan sendirinya, sebagaimana yang berlaku bagi orang yang tidak dalam pengampuan, tetapi akibat hukum tindakan mereka harus mendapat izin dari wali pengampunya. Sedangkan orang yang dilarang memindahtangankan hak miliknya melebihi sepertiga hartanya, adalah orang sakit yang diduga keras tidak akan sembuh lagi, sehingga penyakitnya itu membawa kepada kematiannya (mardh al-maut). Segala bentuk transaksi jual beli orang seperti ini tidak dilarang. Berkenaan dengan tindakan pemindahan hak milik secara sukarela, seperti hibah, wasiat, dan sedekah, hanya diberlakukan dan diperbolehkan sampai sepertiga hartanya.Lebih dari itu tidka dibenarkan.
Kemudian, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, mendefinisikan al-Hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu datangnya dari syara’ seperti larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak kecil, orang gila, orang dungu, maupun muncul dari hakim, seperti larangan bagi seseorang pedagang untuk menjual barangnya.

  1. Dasar hukum al-Hajr
Ulama fiqh menyatakan, bahwa yang menjadikan dasar hukum untuk menetapkan status seseorang dibawah pengampuan adalah firman Allah:

"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya268, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
Selanjutnya Allah SWT berfirman:

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."
Juga firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Disamping ayat-ayat di atas, disebutkan juga dalam hadist Rasulullah SAW:
Dari Ka’ab bin Malik: Sesungguhnya Nabi SAW telah menahan harta Mu’az dan beliau jual hata itu untuk membayar hutangnya” (HR. Daru-Quthni)
Dalam suatu riwayat juga dijelaskan bahwa, Usman bin Affan pernah didalam pengampuan Rasulullah, karena sikap mubazir yang dilakukan oleh Usman.  Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama menyatakan, bahwa al-Hajr dapat terjadi karena seseorang kurang akal, dungu, gila, dan masih kecil karena tindakannya merugikan diri sendiri seperti orang boros (mubazir) dan orang bodoh atau merugikan orang lain, seperti orang jatuh pailit dan sakit berat.
Adapun landasan hukum al-Hajr dalam sunnah Rasulullah adalah dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasul SAW pernah menjadikan Mu’az terlilit utang. Rasulullah SAW lalu menjual harta Mu’az untuk melunasi hutangnya. Demikian pula Rasulullah SAW pernah menjadikan Usman ibn Affan dalam pengampuannya, karena sikap mubazir yang dilakukan Usman (HR al-Baihaqi, ad-Daruqothru, dan al-Hakim dari Ka’ab ibn Malik).
Berdasarkan ayat dan hadis diatas para ulama menyatakan bahwa al-Hajr itu boleh karena seseorang kurang akal, seperti anak kecil dan orang gila, atau karena tindakannya merugikan dirinya sendiri, seperti orang mubazir dan orang bodoh, atau merugikan orang lain, seperti orang yang jatuh pailit dan mardh al-maut.

  1. Hikmah al-Hajr
Apabila seseorang dinyatakan dibawah pengampuan wali atau hakim, tidaklah berarti hak asasinya dibatasi dan pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Tetapi pengampuan itu diberlakukan syara’ untuk menunjukan, bahwa syara’ itu benar-benar memperdulikan orang-orang seperti itu, terutama soal muamalah, syara’ menginginkan agar tidak ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain. Dengan demikian, apabila ada anak kecil, orang gila, dungu dan pemboros, distatuskan dibawah pengampuan, maka hal itu semata-mata untuk menjaga kemaslahatan diri orang yang bersangkutan, agar segala kegiatan muamalah yang mereka lakukan tidak sampai ditipu orang. Demikian juga halnya orang yang jatuh pailit dan orang sakit berat, tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik, agar orang lain tidak dirugikan yang masih berhak atas hartanya. Khusus bagi orang yang sakit keras dikhawatirkan, bahwa pemindahan hak kepada orang lain akan merugikan ahli waris, sedangkan masa depan anak cucu harus diperhatikan sebagaimana firman Allah An-Nisa:9



"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."

  1. Macam-macam al-Hajr
Dilihat dari segi tujuannya, ulam fiqh membagi al-Hajr kepada dua bentuk:
1)      Untuk kemaslahatan orang yang berada dibawah pengampuan, seperti anak kecil, orang gila, orang dungu, dan pemboros.
2)      Untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang pailit (debitor pailit) dan orang yang sedang dalam keadaan sakit parah (mardh al-maut).
  1. Penyebab al-Hajr
Penyebab al-Hajr itu ada yang disepakati oleh para ulama fiqh dan ada pula yang diperselisihkan.  Penyebab yang disepakati oleh ulama fiqh adalah seperti pengampuan terhadap anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap bertindak secara hukum.  Penyebab yang diperselisihkan adalah pengampuan terhadap orang dungu dan orang berhutang. Pengampuan terhadap mereka bukan karena tidak cakap melakukan tindakan hukum, tetapi bertujuan untuk menghindarkan orang lain dari kemudharatan, sebagai akibat dari tindakan mereka dan mencegah terjadi mudharat pada diri mereka sendiri (orang dungu)

  1. Akibat hukum al-Hajr
Sebagai akibat dari orang yang telah ditetapkan dibawah pengampuan wali atau hakim, adalah:
  i.      Al-Hajr terhadap anak kecil.
Dalam membahas tindakan anak kecil, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki membedakan anak yang belum mumayyiz (belum memcapai umur tujuh tahun) dengan anak yang sudah mumayyiz (berumur tujuh tahun keatas).
Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki perbedaan ini sangat penting, karena Rasulullah sendiri dalam sabdanya mengatakan:
“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat, ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkannya, ketika berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah diantara mereka itu dari tempat tidurnya” (HR. Ahmad Abu Daud dan al-Hakim)
Dengan demikian ulama Mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan, bahwa anak yang sudah berumur sepuluh tahun termasuk mumayyiz dan dalam hukum-hukum tertentu mereka telah dituntut untuk melakukannya. Tindakan hukum anak kecil itu ada yang berupa perbuatan dan ada pula yang berupa perkataan.
Ulama fiqh menyatakan, bahwa tindakan anak kecil yang berupa perbuatan seperti merusak barang milik orang lain, maka statusnya sebagai anak yang berada dibawah pengampuan tidak berlaku, karena pengampuan berlaku pada perkataan dan bukan pada perbuatan. Setiap kerugian yang diakibatkan tindakannya itu berupa perkataan atau pernyataan, jika anak itu belum mumayyiz, maka perbuatan dan perkataannya itu dianggap batal, baik tindakannya itu menguntungkan maupun merugikan dirinya, karena dinilai belum cakap melakukan tindakan secara hukum.  Apabila anak itu telah mumayyiz, maka menurut ulama Mazhab Hanafi dan Maliki perlu dibedakan antara tindakan yang menguntungkan dan merugikan dirinya.
Apabila tindakan itu menguntungkan seperti menerima sedekah, hadiah, wasiat dan hibah, maka tindakannya dianggap sah, tanpa persetujuan dari walinya. Namun, apabila tindakannya itu merugikan dirinya seperti memberi pinjaman kepada orang lain, maka tindakannya itu dianggap tidak sah, walaupun ada persetujuan dari walinya.
Ulama Mazhab Hanafi mengecualikan hukum tindakan anak mumayyiz yang merugikan tersebut. Menurut mereka apabila wali mengizinkan, maka tindakannya itu dianggap sah.
Apabila tindakan anak mumayyiz antara merugikan dan menguntungkan bagi dirnya seperti jual beli, dan sewa menyewa, maka ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa tindakannya itu sah, apabila mendapat persetujuan walinya. Namun, menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, tindakan anak kecil (yang bersifat spekulatif), baik sudah mumayyiaz (yang tidak bersifat spekulatif=untung-untungan) dapat dibenarkan apabila mendapat persetujuan dari walinya.
Akibat lain anak kecil yang berada dibawah pengawasan wali, bahwa harta anak kecil itu tidak boleh diserahkan kepada mereka, karena firman Allah yang disebutkan dalam Surat An-Nisa: 6 yang telah disebutkan terdahulu.
Menurut ulama fiqh, harta anak kecil itu baru boleh diserahkan kepada mereka setelah anak itu baligh (dewasa) dan cerdas. Hal ini tentu dapat diamati oleh wali, apakah sudah pantas diserahkan atau belum. Sebab, adakalanya belum tentu cerdas atau mampu memelihara dan mengembangkan hartanya.
Menurut ulama Mazhab Syafi’i, yang menjadi ukuran adalah ketrampilan dan kemampuannya terhadap agama. Apakah anak itu sudah baligh dan cerdas, maka status anak itu dibawah pengampuan sudah hilang dengan sendirinya, tanpa ada penetapan dari hakim, karena penetapan mereka dibawah pengampuan juga bukan pengampuan dari hakim. Namun, menurut satu riwayat dari Mazhab Syafi’i, perlu ada penetapan dari hakim, yaitu pencabutan al-Hajr. Dengan demikian, peranan wali dalam hal ini sangat penting, termasuk mengenai persoalan hak anak itu. Segala tindakan yang berhubungan dengan harta anak itu, harus didasarkan atas kemaslahatan anak itu sendiri.
Apabila wali anak itu orang kaya (berada), dia tidak boleh mengambil nafkahnya dari harta anak itu. Sekiranya tidak punya maka dapat mengambil sekedarnya untuk menutupi keperluan sehari-hari. Menurut ulama fiqh, ayat ini menjelaskan bahwa penyerahan harta kepada anak kecil itu apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu cukup umur (baligh) dan cerdas. Sebelum kedua syarat itu terpenuhi, maka wali tidak boleh menyerahkan harta anak itu padanya. Untuk menyatakan anak itu telah baligh atau belum, para ulama fiqh mengatakan boleh dilihat dari beberapa indikasi, seperti segi umur atau dari segi tanda-tanda biologisnya,  seperti mimpi, haid, hamil. Sedangkan untuk menilai anak itu apakah ia sudah cerdas atau belum, menurut jumhur ulama, harus senantiasa diuji dalam membelanjakan hartanya. Apabila ia telah terampil mengelola harta sendiri, dalam artian tidak merugikan dirinya lagi, maka ia dianggap cerdas. Akan tetapi, menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi ukuran itu adalah keterampilan dalam mengelola harta dan komitmennya terhadap agamanya. Apabila ternyata anak itu telah baligh dan cerdas, sesuai dengan kriteria baligh dan cerdas yang dikemukakan para ulama diatas, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa status dibawah pengampuannya hilang dengan sendirinya,tanpa harus ditetapkan hakim; karena penetapan mereka dibawah pengampuan bukan melalui ketetapan hakim, maka pencabutan al-Hajr bagi mereka pun tidak perlu melalui ketetapan hakim. Akan tetapi, satu riwayat dari ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa perlu adanya ketetapan hakim. Apabila anak itu belum memenuhi kedua syarat diatas, maka wali anak itu tidak boleh menyerahkan harata itu kepada anak itu dan yang bertindak sebagai pengelola dan pemelihara harta itu adalah walinya, dan pengelolaan terhadap harta itu harus senantiasa bertitik tolak pada kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, bila wali itu orang miskin, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa wali boleh mengambil nafkahnya dari harta anak itu, sesuai dengan keperluan sehari-hari.

ii.      Al-Hajr terhadap orang gila.
Para ulama fiqh membedakan orang gila yang sifatnya permanen (tidak sembuh-sembuh) dan orang gila yang sewaktu-waktu saja kambuh, pada satu saat dia gila dan pada saat lain dia sembuh.
Orang gila dalam bentuk pertama disamakan dengan orang yang tidak berakal sama sekali. Dengan demikian, tindakan mereka secara hukum sama dengan anak kecil yang belum mumayyiz. Semua tindakannya dianggap tidak sah.
Orang gila dalam bentuk kedua, harus dilihat lebih dahulu keadaannya. Apabila ia bertindak secara hukum pada saat dia gila (kambuh), maka tindakannya itu tidak sah, seperti bersedekah, menghibahkan harta atau mewakafkannya. Tetapi apabila ia bertindak pada saat sehat (tidak gila), maka tindakannya dianggap sah, karena dia benar-benar dalam keadaan sadar.

iii.      Al-Hajr terhadap orang bodoh/dungu
Ulama fiqh menyatakan  bahwa termasuk kedalam kelompok orang bodoh/ dungu adalah orang yang menghambur-hamburkan uangnya (boros) untuk hal-hal yang dilarang oleh agama seperti membeli minuman keras, berjudi, dan untuk kepentingan berdagang, tetapi tidak mengerti seluk-beluk dagang itu, sehingga sering ditipu orang. Tindakan yang amat bodoh/dungu adalah menghabiskan harta untuk pemuas nafsu seksual.
Apabila ditemukan orang seperti ini, maka menurut pendapat ulama, kepada orang itu dikenakan al-Hajr melalui ketetapan hakim. Seluruh tindakan yang dapat merugikan dirinya dianggap batal, seperti berwakaf, bersedekah, dan hibah. Berkenaan dengan nafkah dan talak, untuk menetapkan sah atau tindakan, sangat bergantung kepada penetapan hakim, apakah membawa maslahat pada dirinya atau mudharat.

Dikalangan ulama Mazhab Hanafi terjadi perbedaan pendapat.
Imam Abu Hanifah mengatakan, bahwa apabila orang yang bodoh itu telah baligh dan berakal (berakal tetapi boros dan memperturutkan hawa nafsu), maka tindakan hukumnya dianggap sah, kendatipun tindakannya itu merugikan dirinya sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa: 6 yang telah disebutkan di atas.
Ulama Mazhab Hanafi lainnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, bahwa orang yang bodoh atau dungu berada dibawah pengampuan berdasarkan ketetapan hakim untuk kemaslahatan mereka sendiri. Mereka beralasan kepada firman Allah yang disebutkan dalam surat An-Nisa: 5 yang telah disebutkan di atas.

iv.      Al-Hajr terhadap orang yag sakit kritis (mardh al-maut)
Orang yang sakit kritis yang diduga keras penyakitnya akan membawa kematiannya, sesuai dengan pendapat dokter, maka para ulama menyatakan, bahwa orang itu dapat ditetapkan berada dibawah pengampuan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak ahli warisnya. Sebab, ada saja orang yang menyerahkan hartanya kepada orang lain pada saat kritis, tanpa memperhatikan ahli waris yang ditinggalkan.
Bahkan Mazhab Maliki mengatakan, bahwa orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, orang yang berada dibawah pertempuran dan wanita hamil sembilan bulan, disamakan dengan orang yang sakit kritis. Hal ini berarti bahwa mereka tidak dibenarkan bertindak secara hukum, karena berada dalam pengampuan.
Tindakan hukum yang dianggap tidak sah, adalah pemindahan hak milik tanpa ganti rugi, seperti wakaf, wasiat (melebihi sepertiga hartanya), hibah dan sedekah.
Andaikata orang yang sakit kritis itu telah mengadakan tindakan-tindakan secara hukum pemindahan hak milik kepada pihak lain dan ternyata kemudian dia sembuh maka tindakannya itu dianggap sah menurut hukum.

v.      al-Hajr terhadap orang pailit
Ulama fiqh menyatakan, bahwa seseorang yang dinyatakan pailit, apabila ia terlilit hutang sedangkan harta bendanya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh hutangnya.  Ulama fiqh berbeda pendapat, apakah kepada orang itu dikenakan al-Hajr atau tidak?
Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa orang yang pailit tidak dikenakan al-Hajr, karena merendahkan status mereka sebagai manusia bebas dan mengekang hak asasi mereka. Menurut Abu Hanifah, mudharat yang dialami orang itu lebih berat dari mudharat yang dialami kreditor. Oleh sebab itu, bahwa seluruh tindakan orang pailit, baik yang brsifat pemindahan hak dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi dianggap sah.
Hak hakim satu-satunya adalah memerintahkan untuk memprioritaskan pembayaran hutang-hutangnya pada orang lain. Bila dia enggan membayar hutangnya, maka dia dapat dipenjarakan (hukuman badan), sampai ia melunasi hutang-hutangnya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Jumhur ulama berpendapat bahwa orang pailit (debitor pailit) dapat dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan. Dengan demikian dia tidak dibenarkan bertindak secara hukum yang bersifat pemindahan hak milik (hartanya). Sebagai alasan mereka adalah tindakan Rasulullah terhadap Mu’az bin Jabal yang dililit hutang.  Jumhur ulama berpendapat bahwa status seseorang yang pailit berada dibawah pengampuan adalah berdasarkan penetapan hakim. Dengan demikian, apabila dia mengadakan tindakan hukum sebelum ada penetapan dari hakim (pengadilan), maka tindakannya itu dianggap sah.
Menurut ulama Mazhab Maliki seseorang yang pailit baru dikenakan status hukumnya dibawah pengampuan, setelah ada pengaduan dari kreditor dan kemudian mendapat penetapan dari hakim. Hakim dalam persoalan ini mempuanyai wewenang untuk memenjarakan orang tersebut dan menjual hartanya untuk pembayaran hutangnya.
Setelah seseorang dinyatakan pailit dan berada dibawah pengampuan, maka akibatnya:
1)      Ia dilarang melakukan tindakan hukum terhadap hartanya, kecuali untuk keperluan hidupnya.
2)      Ia boleh dipenjarakan untuk menjaga keselamatan dirinya, karena ada kemungkinan di luar penjara, jiwanya terancam. Untuk memenjarakan orang pailit harus memenuhi ketentuan:
a.       Hutangnya itu bersifat mendesak untuk dibayar.
b.      Ia mampu membayar hutang, tapi enggan membayarnya.
c.       Para kreditor menuntut kepada pengadilan (hakim) untuk memenjarakannya.
3)      Hartanya dijual untuk membayar hutang-hutangnya
4)      Harta orang lain yang masih ada ditangannya harus dikembalikan kepada pemiliknya
5)      Sekiranya dia tidak dipenjarakan, maka dia harus diawasi secara terus menerus (Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani). Sedangkan menurut Jumhur ulama tidak perlu ia diawasi secara terus menerus, karena akan menghambat geraknya untuk mencari rezeki guna melunasi hutangnya (perhatikan kembali surat al-Baqarah: 280)
  1. Cekal al-Hajr
Ulama fiqh berpendapat, bahwa disamping orang-orang yang telah disebutkan di atas dikenakan status hukum dibawah pengampuan (cekal) bagi orang-orang yang mengganggu dan merugikan masyarakat banyak seperti:
1)      Dokter yang tidak memenuhi rujukan baku dalam memberikan obat, diagnosis terhadap pasien keliru dan sebagainya.
2)      Mufti yang sering mengeluarkan fatwa yang sesat dan membingungkan umat.
3)      Arsitek bangunan yang sering meleset dalam membuat perencanaan dan perhitungan
4)      Para pejabat yang menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan merugikan masyarakat banyak.
Menurut Mazhab Hanafi penentuan penetapan status pengampuan terhadap mereka ini tidak bersifat permanen. Bergantung kepada kesadaran orang yang bersangkutan, cepat berubah atau tidak.

  1. BERAKHIRNYA STATUS PENGAMPUAN
Apabila anak kecil sudah baligh dan berakal, orang bodoh/dungu sudah cerdas dan sadar, pemboros sudah mulai hemat dan tidak lagi melanggar agama, orang gila menjadi sembuh dan orang yang sakit kritis meninggal atau sembuh kembali, maka berakhirlah masa pengampuan.  Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hukum pengampuan setelah dia lunasi hutang-hutangnya.
Hendaknya diingat, bahwa apabila al-Hajr (pengampuan) ditentukan berdasarkan penetapan hakim, maka pencabutannya juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum. Apabila pengampuan itu berada dibawah kekuasaan wali, maka walilah yang dapat mempertimbangkannya.
Selanjutnya mengenai pencekalan yang disebutkan di atas seperti dokter dan seterusnya, pencabutannya juga harus berdasarkan penetapan dari hakim dengan berbagai pertimbangan yang tentu saja tidak sama antara satu orang dengan orang lainnya.
  1. Akibat hukum bagi debitor pailit dan dibawah pengampuan
Apabila seseorang telah dinyatakan pailit oleh hakim dan statusnya dibawah pengampuan, maka berakibat antara lain:
  1. Sisa harta debitor pailit menjadi hak para kreditor
  2. Debitor yang telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dikenakan tahanan sementara. Dalam keadaan demikian, kreditor boleh mengawasi tindak tanduk debitor secara terus nenerus (ulama Mazhab Hanafi). Namun tidak boleh dilarang untuk mencari rizki dan mengadakan perjalanan selama berada dalam pengawasan.

Menurut ulama Mazhab Maliki,Syafi’i dan Mazhab Hambali apabila hakim berpendapat, bahwa debitor dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka kreditor tidak boleh menuntutnya dan mengawasinya terus menerus.  Dia harus diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia berkelapangan untuk melunasi hutangnya, sebagaimana firman Allah:
"
Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."
           
Kemudian menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar hutang kepada kreditor, maka debitor dibebaskan, sejalan dengan kehendak surat Al-Baqoroh:280 di atas.  Menurut ulama Mazhab Hanafi, hakim boleh menahan sementara debitor pailit, bila memenuhi empat syarat:
1.      Waktu pembayaran hutangnya telah jatuh tempo.
2.      Diketahui bahwa debitor pailit mampu membayar hutangnya, tetapi tidak dilakukannya.
3.      Debitor pailit bukan ayah atau ibu dari kreditor.
4.      Kreditor mengajukan tuntutan kepada hakim, agar debitor dikenakan penahan sementara.

Menurut Mazhab Maliki, hakim boleh melakukan penahanan dengan syarat:
1.      Keadaan keluarga debitor tidak diketahui secara pasti.
2.      Kreditor mencurigai tindak-tanduk debitor, bahwa dia tidak pailit, tetapi dia menyatakan tidak punya harta (uang).
3.      Debitor ternyata memeiliki hartalain yang dapat membayar hutangnya, tetapi enggan membayarnya.
4.      Hakim terlebih dahulu memaksa debitor menjual hartanya untuk membayar hutangnya. Apabila tidak mau juga, hakim boleh boleh memenjarakan debitor itu.

Apabila ternyata memang tidak mempunyai harta, maka dia dibebaskan dari tahanan sementara.  Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, apabila debitor mempunyai harta, maka hakim dapat memaksanya untuik menjual barangnya untuk melunasi hutangnya itu. Apabila  debitor yang enggan melakukannya, sedangkan tuntutan dari kreditor tetap diminta, maka hakim boleh menahannya, sampai dia bersedia menyelesaikan hutangnya.

  1. Akibat hukum selanjutnya adalah, apabila ternyata hutang debitor pailit barang seperti hewan ternak, kendaraan, dan peralatan rumah tangga, dan barang-barang tersebut masih ada, apakah pemilik barang (kreditor) boleh mengambil barang itu sebagai pembayaran hutangnya?

Menurut Mazhab Hanafi, bahwa kreditor tidak boleh mengambil barang-barang tersebut, karena status barang tersebut menjadi milik bersama para kreditor dan harus dibagi bersama sesuai dengan presentasi piutangnya. Hal ini berarti, apabila kreditornya hanya satu orang saja, tentu dapat mengambilnya, seperti mengambil kembali kendaraan atau perabotan rumah tangga.
Menurut Jumhur ulama apabila salah seorang kreditor melihat barangnya yang dipiutangkan masih ada ditangan debitor pailit, maka dia dapat mengambilnya. Namun, masih terjadi juga perbedaan pendapat. Ulama Mazhab Syafi’i mengemukakan syarat-syarat pengambilan itu:
1.      Waktu pembayaran sudah jatuh tempo
2.      Debitor enggan membayar hutangnya
3.      Barang yang menjadi hutang masih ada ditangan debitor

Mazhab Hanbali mengemukakan syarat-syarat:
1.      Barang masih ada di tangan debitor dalam keadaan tidak rusak dan tidak berkurang
2.      Tidak terjadi perubahan pada barang (hewan ternak sudah besar, penambahan alat-alat pada kendaraan).
3.      Kreditor belum menerima harga barang sedikit pun.
4.      Barang itu tidak tersangkut dengan pihak lain, seperti barang itu digadaikan atau dihibahkan kepada orang lain.
5.      Debitor pailit dan kreditor masih hidup

Menurut Mazhab Maliki, syarat pengambilan barang itu adalah:
1.      Barang itu masih tetap seperti semula tanpa penambahan dan pengurangan
2.      Dapat diambil sebagai pembayaran hutang
3.      Diantara kreditor yang tidak membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih lengkap, karena kalaupun kreditor lainnya telah membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih lengkap di tangan debitor pailit, maka pemilik barang tidak boleh mengambil barangnya dengan pihak lain.


  1. Pencabutan Status di bawah Pengampuan Orang Pailit

Kaidah usul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan ‘illat-nya. Apabila ada ‘illat-nya maka hukum berlaku, dan apabila ‘illat-nya hilang, maka hukum itu tidak berlaku. Persoalan orang yang dinyatakan jatuh pailit akan berada dalam status di bawah pengampuan, apabila hartanya yang ada telah dibagikan kepada pemberi piutang oleh hakim, apakah statusnya sebagai orang yang di bawah pengampuan hapus dengan sendirinya? Dalam menjawab persoalan ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Jumhur ulama, termasuk sebagian ulama Syafi’iah dan Hanabilah, mengemukakan bahwa apabila harta orang yang jatuh pailit dibagi-bagikan kepada para pemberi piutang sesuai dengan perbandingannya, sekalipun tidak lunas, maka status dibawah pengampuannya dinyatakan dihapus, karena sebab yang menjadikan ia berada di bawah pengampuan telah hilang. Mereka menganalogikan orang yang berada dibawah pengampuan karena pailit dengan orang yang berada di bawah pengampuan karena gila.
Dalam hal orang gila yang telah sembuh dari penyakitnya, statusnya sebagai orang yang berada dibawah pengampuan, gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan oleh keputusan hakim. Demikian juga dengan orang yang jatuh pailit. Hal ini sejalan dengan kaedah usul fiqh yang menyatakan:
Hukum itu beredar sesuai dengan ‘illat (penyebab)-nya, apabila ada ‘illatnya ada hukumnya, dan apabila ‘illatnya sudah hilang, keadaannya kembali seperti semula.
Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa status orang pailit sebagai orang yang berada dibawah perngampuan tidak hapus, kecuali dengan keputusan hakim, karena penetapannya sebagai orang berstatus di bawah pengampuan didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan hakim.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’, tokoh fiqh kotemporer asal Syria, ketetapan hakim dalam menentukan seseorang berada di bawah pengampuan mestilah punya syarat, sehingga apabila syarat itu terpenuhi oleh orang yang dinyatakan pailit ini, maka secara otomatis statusnya bebas dari pengampuan, tanpa harus melalui ketetapan hakim terlebih dahulu. Misalnya, dalam surat ketetapan itu disebutkan “apabila utang-utang yang bersangkutan ia bayar, maka ia bebas dari status di bawah pengampuan”. Namun, berita tentang kebebasan statusnya ini perlu disebarluaskan agar masyarakat mengetahuinya, dan tidak merugikan dirinya dalam melakukan transaksi ekonomi. 
Menurut Hukum Pribadi dan Keluarga, dari advokat-rgsmitra.com, yang dimaksud dengan pengampuan adalah :
Seorang pengampu disebut kurator. Hakim yang mengangkat kurator boleh seseorang yang dipercaya/keluarga. Orang yang dibawah pengampu disebut kurandus. Pengampu diatur dalam peraturan tentang pengampu (curatele). Seseorang memerlukan pengampu karena: sakit ingatan/gila; lemah karena sakit; pemboros. Tidak sanggup mengurus kepentingannya sebagaimana mestinya. Bertingkah laku yang mengganggu keamanan masyarakat (pemabuk). Pengampuan hanya dapat diadakan oleh hakim. Keputusan hakim mengenai pengampu mulai berlaku mulai hari keputusan diucapkan, jadi dengan tidak mengindahkan akan kemungkinan adanya banding dan berlangsung terus selama hidup kurandus, sepanjang pengampuan itu tidak dihentikan. Kedudukan pengampu dan pengampu pengawas adalah boleh dikatakan sama dengan kedudukan wali dan wali pengawas untuk seseorang yang belum dewasa. Akibat pengampu terhadap kekuasaan orang tua dan perwalian ialah orang yang ditempatkan dibawah pengampuan berada di dalam ketidak mungkianan melakukan kekuasaan orang tua, sehingga kekuasaan orang tua itu  hanay dilakukan orang tua lainnya. Seorang pengampu tidaklah berwenang untuk mengadakan tuntutan perceraian untuk kurandus yang ditempatkan di bawah pengampuan karena sakit jiwa, oleh karena itu yang menentukan segala sesuatunya keyakinana dan perasaan pribadi, sedangkan ia (pengampu) hanyalah harus memperoleh  keyakinan tentang kebenaran tuntutan yang diajukan itu. Kecuali suatu ketentuan khusus untuk orang yang gemar minuman keras diberikan dalam.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Buku pertama

Bab XVII: PENGAMPUAN

433. Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan (KUHPerd. 456 dst, 460, 462, 895, 1006. 1330)

434. Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh paran keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Dalam satu hal, suami dan istri dapat minta pengampuan bagi istri atau suaminya. Barangsiapa, karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan diri sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi diri sendiri. (KUHPerd. 114, 290 dst, 445; IR. 229 dsb.)

435. Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap tidak dimintakan pengampuan oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka jawatan kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan dapat diminta oleh jawatan kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai istri atau suami; juga yang tidak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di Indonesia.

436. Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri yang berada dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan (KUHPerd, 17 dst.)

437. Peristiwa-peristiwa yang menunjukan keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam surat permintaan, dengan bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. (KUHPerd. 440, 456 dst, 1909, 1914)

438. Bila pengadilan negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu perngampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda. (KUHPerd. 290, 333 dst, 453; IR. 230.)

439. Pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan; bila orang ini tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan kejaksaan (KUHPerd. 445.). Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal lebih dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat.  Dari pemeriksaan ini, yang tidak usah dihadiri jawatan kejaksaan, harus disertai berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri (KUHPerd. 445, 1023). Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah. (KUHPerd. 441, 443, 445)

440. Bila pengadilan negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah kelarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat permintaan itu tanpa tata-cara lebih lanjut; dalam hal yang sebaliknya, pengadilan negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas. (KUHPerd. 437, 445)

441. Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam pasal 439, bila ada alasan, pengadilan negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya. (KUHPerd. 445 dst, 449: IR 231)

442. Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam siding terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan jaksa (KUHPerd. 445)

443. Bila dimohonkan banding, maka hakim banding, sekiranya ada alasan, dapat mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang yang dimintakan pengampuan. (KUHPerd, 439; IR 236)

444. Semua penetapan dan putusan yang memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang ditetapkan dalam penetapan atau putusan itu, harus diberitahukan oleh pihak yang memintakan pengampuan kepada pihak lawannya dan diumumkan dengan menempatkannya dalam berita Negara; semuanya atas ancaman hukuman membayar segala biaya, kerugian dan bunga sekitarnya ada alasan untuk itu. (Ov.105; KUHPerd. 445 dst, 461)

445. Bila pengampuan diminta sehubungan dengan alinea keempat pasal 434, pengadilan negeri mendengar para keluarga sedarah atau keluarga semenda dan, sendiri atau dengan wakilnya, si suami atau si istrinya yang meminta, sekiranya ini berada di Indonesia; juga harus dilakukan ketentuan-ketentuan dalam pasal 438 alinea kesatu dan kedua, 440, 41, dan 442. Dalam hal demikian, jawatan kejaksaan harus menyelenggarakan pengumuman mengenai keputusan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 444.

446. Pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak percata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang ditempatkan dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan diawah pengampuan karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat (KUHPerd. 88, 441, 444, 449, 895, 1330, 1446, 1813; Rv. 248-2?)

447. Semua tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan berdasarkan keadaan dungu, gila, dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan ini telah ada saat tindakan-tindakan itu dilakukan (KUHPerd. 61-3?, 88, 1330-2?)

448. Setelah seseorang meninggal dunia, amak segala tindak perdata yang telah dilakukannya kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas dirinya telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia, kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit-penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang disanggah itu. (KUHPerd. 446, 895, 1320-1?)

449. Bila keputusan tentang pengampuan telah mendapatkan kekuatan hukum yang pasti, maka oleh pengadilan negerti diangkat seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada balai harta peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada balai harta peninggalan, (KUHPerd. 418) (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421) Dalam hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus sementara, yang wajib mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas pengurusannya kepada pengampu; bila ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu, maka perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus di harus dilakukan kepada pengampu pengawas (KUHPerd. 359 dst, 377 dst, 379 dst, 441, 446; Rv. 580-8; Wak. 60)

450. Dicabut dengan S. 1927-31 jis. 390, 421.

451. (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis 390, 421) Kecuali jika alasan-alasan penting menghendaki pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau istri harus diangkat menjadi pengampu bagi istri atau suaminya, tanpa mewajibkan si istri mendapatkan persetujuan atau kuasa apapun juga untuk menerima pengangkatan itu. (KUHPerd. 103, 300, 349, 359, 377 dst, 379-3?, 380, 418)

452. Orang yang ditempatkan dibawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang akrena keborosan ditempatkan dibawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38 dan pasal 151 berlaku terhadapnya (s.d.u. dg. S. 1927-31 jis 390, 421) Ketentuan undang-undang tentang perwalian atas anak yabng belum dewasa, yang tercantum dalam pasal 331 sampai dengan 344, pasal-pasal 362, 367, 369 samapi dengan 388, 391 dan berikutnya dalam bagian 11, 12, dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap pengampuan (Ov. 23; KUHPerd. 63, 330, 458, 539, 1006, 1046, 1149-7?, 1330 dst, 1446, 1454, 1813; Rv. 336; KUHP. 35, 37, 524)

453. (s.d.u. dg. S. 1927-32 jis 390, 421) Bila seseorang yang ditempatkan dibawah pengampuan mempunyai anak-anak belum dewasa serta menjalankan kekuasaan orang tua sedangkan istri atau suaminya telah dibebaskan atau diberhentikan dari kekuasaan orang tua atau berdasarkan pasal 246 tidak diperintahkan menjalankan kekuasaan orang tua, seperti juga jika ornag yang dibawah pengampuan itu menjadi wali atas anak-anaknya yang sah, maka demi hukum pengampu adalah wali atas anak-anak belum dewasa itu sampai pengampuannya diberhentikan, atau sampai istri atau suaminya memperoleh perwalian itu karena penetapan yang dimaksud dalam pasal 206 dan pasal 230, atau mendapatkan kekuasaan orangtua berdasarkan pasal 246a, atau dipulihkan dalam kekuasaan orang tua atau perwalian (KUHPerd. 300, 345, 353, 458)

454. Penghasilan orang yang ditempatkan dibawah pengampuan karena keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus dihunakan khusus untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan (KUHPerd. 388, 391, 451)

455. Dicabut dg. S. 1897-53

456. (s.d.u. dg. S. 1897-53) Terhadap orang-orang yang tidak dapat dibiarkan mengurus diri sendiri dan membahayakan keamanan orang lain karena kelakuannya terlanjur buruk dan terus menerus buruk, harus dilakukan tindakan seperti diatur dalam Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia (RO. 134; KUHPerd. 455, 457; IR. 234)

457. Dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, para kepala daerah setempat, menjelang pengesahan pengadilan negeri, berkuasa memerintahkan penahanan sementara orang-orang yang dimaksud dalam pasal-pasal yang lalu. Mereka wajib untuk bertindak dengan cermat, dan selambat-lambatnya dalam empat hari atau, dalam hal tempat kedudukan pengadilan negeri yang bersangkutan ada di pulau lain, dengan kapal yang pertama, mereka harus menyampaikan surat-surat itu dengan tuntutannya kepada pengadilan negeri segera setelah menerima surat-surat itu. Bila pengadilan negeri tidak menemukan alasan-alasan guna menguatkan penahanan, maka dengan putusan harus diperintahkan supaya orang yang ditahan itu segera dikeluarkan dari tahanan. Putusan ini harus segera dilaksanakan oleh kepala daerah yang bersangkutan segera setelah diterimanya, dan hal itu harus diberitahukan kepada kejaksaan dengan cara seperti yang ditentukan dalam alinea kedua pasal ini (KUHPerd. 462)

458. Seorang anak yang belum dewasa yang ada dibawah pengampuan tidak dapat melakukan perkawinan, pula tidak dapat mengadakan perjanjian-perjanjian, selain dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 38 dan pasal 151 (KUHPerd. 453)

459. Tidak seorangpun, kecuali suami-istri dan keluarga sedarah dalam garis keatas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya; setelah waktu itu lewat, pengampu boleh minta dibebaskan dan permintaan ini harus dikabulkan (KUHPerd. 290 dst, 376 dst)

460. Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang’ tetapi pembebasan dari pengampuan ini tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan arena iu orang yang ditempatkan dibawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan penampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (KUHPerd. 88, 433 dst, IR 232)

461. Pembebasan diri pengampuan harus idumumkan dengan cara yang diatur dalam pasal 444.

Ketentuan penutup

462. Seorang anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila, atau mata gelap, tidak boleh ditempatkan dibawah pengampuan, tetapi tetap berada dibawah pengampuan, tetapi tetap berada dibawah pengawasan ayahnya, ibunya, atau walinya (KUHPerd. 299, 330, 383, 433). Alinea kedua dan ketiga dicabut berdasarkan S. 1897-53).

 
Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN mengenai pengampuan, yaitu :

Pasal 32
(1) Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan;
c. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta Peninggalannya;
d. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
 
(2)Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan     meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
 
(3)Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
(4) Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 59
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Pasal 32
Ayat (1)Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan dalam pembubaran, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
 
Ayat (2) Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya menurut kewajaran dan kepatutan tidak mungkin dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atau secara renteng.
 
Ayat (3) Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
 
Ayat (4)Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan 
kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cheque, dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus.

Ahmad Taufan Damanik,  menjelaskan tentang Partisipasi Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak dan dikaitkan dengan pengampuan sebagai berikut :

Definisi Anak Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Pasal 1,KHA).

Menghargai Pendapat Anak
•  Negara peserta harus menjamin anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri, bahwa mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan anak
•  Untuk tujuan ini, anak secara khusus akan diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administrative ang mempengaruhi anak, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dengan cara yang sesuai dengan hukum acara nasional (Pasal 12, KHA)

I. Prinsip Partisipasi Anak dalam Konvensi Hak Anak
Merujuk kepada petunjuk pembuatan Pelaporan Negara Peserta yang dikeluarkan Komite Hak Anak (Guideline for Periodic Report), dijelaskan bahwa jaminan terhadap penghargaan pandangan anak harus dipastikan ke dalam tindakan legislasi, judisial, administratif dan bentuk-bentuk tindakan lainnya. Dengan begitu, jaminan untuk dihargai pendapatnya adalah Hak Anak yang mengikat seluruh negara peserta Konvensi.Anak. Dalam konteks hak partisipasi ini, anak adalah Subject of Rights dan An Active Participant .
Penjelasan lain di dalam Guideline for Periodic Report memperlihatkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang berproses menuju kematangan (tentu saja belum memiliki consent yang penuh) dan karena itu secara hukum berada di bawah pengampuan orang dewasa. Meski pun begitu, sejalan dengan proses menuju kematangan (development to maturity) dan mempertimbangkan prinsip ‘the best interest of the child', partisipasi terhadap anak sudah harus dijalankan dan dikembangkan. Namun, prinsip partisipasi disesuaikan dengan proses pertumbuhan dan derajat kematangan yang dimiliki berdasarkan usia dan dunia “childhood” masing-masing anak. Dengan begitu, partisipasi dikembangkan sebagai bentuk konsultasi dengan dunia anak atau ‘respect to the view of the child”.
Satu kata yang tercantum di dalam pasal 12 yakni “…freely” bermakna bahwa partisipasi anak di dalam rangka menyampaikan pandangan mereka harus dipastikan tanpa adanya tekanan atau batasan bagi hak kemerdekaan tersebut.
Selanjutnya, Komite Hak Anak juga menjelaskan bahwa makna sub-klausa (dalam pasal 12 ayat 1) yakni “…in all matters affecting the child” adalah bahwa penghargaan kepada pandangan anak harus diberikan kepada semua hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan mengenai dirinya, baik yang dicantumkan dalam konvensi mau pun yang tidak tercantum.
Ekspresi pandangan anak tentu saja dapat dilakukan secara langsung oleh anak mau pun yang mewakili anak. Representasi anak dapat berupa perorangan seperti orang tua dan pengasuh mau pun organisasi yang berwenang mengatasnamakan anak, misalnya NGO. Dalam berbagai kasus, Ombudsman untuk anak-anak bisa saja didirikan untuk tujuan representasi tersebut.
Pasal 12 ini juga menjamin dan memasukkan prinsip partisipasi anak ke dalam legislasi dan aspek legal dimana penghargaan terhadap pandangan anak harus dipastikan berlangsung di dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kehidupannya.

II. Hak atas Partisipasi dalam kaitannya dengan Hak Sipil dan Politik atau Kemerdekaan Berekpresi
1.      Anak mempunyai hak untuk secara bebas menyatakan pendapat; hak ini akan mencakup kebebasan yang terlepas dari pembatasan untuk meminta, menerima, dan memberi informasi dan gagasan dalam segala jenis, baik secara lisan, tertulis, atau cetakan, dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihan anak yang bersangkutan.
2.      Penggunaan hak ini dapat disertai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan ini hanya dapat ditetapkan oleh undang-undang dan yang diperlukan :
(a) Untuk menghormati hak-hak atau repotasi orang lain;
(b)Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, kesehatan umum dasn moral (Pasal 13,KHA)

Pasal 13 Konvensi Hak Anak di atas menjamin kemerdekaan berpendapat dalam pengertian yang umum sebagaimana Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Secara prinsip anak-anak dipandang sama dengan manusia dewasa lainnya. Dengan demikian, anak juga merupakan subject dan an active participant yang dijamin hak-haknya untuk merdeka dalam berekspresi, mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan idea, tanpa batasan, baik oral mau pun tertulis.
Dengan memasukkan satu dimensi kemerdekaan dari DUHAM dan ICCPR tersebut di atas, maka tidak ada tempat bagi otoritas tradisional orang tua atau orang dewasa untuk menghilangkan atau tidak menghargai pandangan anak (lihat: ….seek, receive and impart information and ideas of all kinds”).
Jaminan atas hak kemerdekaan dan kebebasan ini juga diperkuat oleh pasal 14 menyangkut ”Kemerdekaan berfikir, kesadaran dan agama”; pasal 15 tentang ”Kemerdekaan untuk berkumpul dan berorganisasi”; serta pasal 16 tentang ”Kemerdekaan atas privasi”. Ketiga pasal ini juga merupakan turunan dari DUHAM dan Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik. Namun, kembali dengan pemikiran bahwa anak-anak belum memiliki consent yang cukup, masih dalam pengampuan orang dewasa/orang tua, serta masih dalam proses perkembangan, maka bimbingan orang tua/orang dewasa (Parental Direction) tetap dibutuhkan. Pandangan dan pilihan anak atas agama, misalnya disesuaikan dengan usia dan kematangan mereka.

III. Implikasi Juridis dan Sosiologis
Seluruh dimensi kemerdekaan, kebebasan dan partisipasi di atas pada akhirnya berimplikasi kepada penyediaan ruang seluas-luasnya bagi anak untuk berekspresi. Paling pokok ruang ekspresi itu diharapkan tersedia di dalam: kehidupan keluarga, kehidupan sekolah, peradilan anak dan remaja, kehidupan di lembaga pengasuhan, prosedur pencarian suaka dan kehidupan legal dan sosial lainnya.
Komite Hak Anak menekankan pihak-pihak yang dianggap paling perlu memperhatikan prinsip “respect to the view of the child”, yakni: para hakim secara umum, hakim peradilan keluarga, hakim untuk peradilan anak/remaja, polisi, petugas penjara, para guru, pekerja kesehatan, kalangan profesional lain, termasuk NGO dan badan-badan hak asasi mau pun pembangunan sosial. Untuk itu, perbaikan kurikukulum sekolah hukum, kesehatan, keperawatan, sekolah kependidikan, sekolah pekerja sosial, psikologi dan sosiologi harus dilakukan, sehingga aparat dna petugas di bidang-bidang yang disebutkan tadi benar-benar memahami dan mampu mengkomodasi kebebasan berekspresi anak.
Bersamaan dengan itu, pembentukan opini publik, konsultasi, assesment dan berbagai tindakan lainnya perlu dilakukan untuk membantu menyusun suatu ketetapan, kebijakan dan aspek judisial di dalam negara peserta Konvensi. Seluruh program promosi Hak Partisipasi Anak merupakan salah satu kewajiban Negara Peserta. Karena pasal 12 justru merupakan salah satu prinsip dasar Konvensi Hak Anak, maka kewajiban ini harus dipastikan dalam hampir seluruh penerapan pasal-pasal KHA.
Akhirnya, ada berbagai strategi yang mungkin dipakai untuk Pengimplementasian Hak Partisipasi Anak, yakni:
1.      Anak harus diberikan informasi yang cukup dan perlu mengenai pilihan-pilihan dan mengenai konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari pilihan-pilihan tersebut
2.      Melakukan monitoring mengenai Implementasi dan Derajat Pengimplementasian Hak Partisipasi Anak
3.      Menghindari Diskriminasi dalam setiap praktek Partisipasi
4.      Tidak tergantung kepada sumber daya atau dana yang tersedia
5.      Pendidikan, pelatihan serta promosi mengenai hak partisipasi
6.      Memasukkan issu ini ke dalam tata pemerintahan dan pengambilan keputusan
7.      Mentransformasi budaya dan perilaku
8.      Menyusun dan menjalankan prosedur komplain terhadap penyalahgunaan hak partisipasi anak
9.      Memulai implementasi di dalam lingkungan keluarga, lembaga pengasuhan, sekolah (demokratisasi keluarga dan sekolah)
10.  Membuat media-media pengembangan partisipasi anak

  1. Kasus-kasus Pengampuan di Indonesia
Ø  Al Hajr terhadap Anak-anak
R Valentina Sagala Aktivis Feminis, Direktur Eksekutif Institut Perempuan, Bandung. Anggota Tim Substansi Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan. Mengatakan :Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap pekerja rumah tangga (PRT) yang dilakukan suami penyanyi tenar Imaniar, beberapa lama setelah kasus dicium media massa sang PRT menghilang. Sulit membayangkan keamanan korban jika saat pelaporan puluhan kamera menyorot ke arahnya dan dalam hitungan menit tersiar ke seluruh penjuru Nusantara.
Perempuan dan anak sebagai saksi (termasuk pelapor) rentan mengalami ancaman atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporannya. Tahun 2002, misalnya, gerakan perempuan mencatat perempuan korban pelecehan seksual di tempat kerja di Yogyakarta, setelah melapor ke kepolisian jadi tersangka kasus penggelapan uang perusahaan.  Perempuan dan anak juga butuh perlindungan ketika terkait dengan saksi dan rentan ancaman. Oleh karenanya, perlindungan saksi juga harus mencakup orang yang memiliki hubungan darah dengan saksi dalam garis lurus ke atas dan ke bawah sampai derajat ketiga atau garis menyamping sampai derajat ketiga; pihak yang mempunyai hubungan perkawinan atau yang sudah tidak mempunyai hubungan perkawinan lagi; orang yang menjadi tanggungan saksi (dalam garis lurus ke atas dan atau ke bawah sampai derajat ketiga, atau garis menyamping sampai derajat ketiga); orang dalam pengampuan atau perwalian saksi; dan orang yang memiliki hubungan emosional dekat dengan saksi.
Hingga kini pengaturan perlindungan saksi masih terpisah-pisah sesuai persoalan. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya, mengatur perlindungan saksi korban. Namun, perlindungan ini masih terbatas pada lingkup rumah tangga dan saksi korban.  Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum cukup memberi perlindungan terhadap saksi jika dibandingkan terhadap tersangka atau terdakwa. KUHAP lebih melihat saksi sebagai bagian dari alat bukti dan belum mengatur saksi (terutama korban) sebagai subyek yang perlu dilindungi dan dipulihkan hak-haknya.
Di sinilah mendesaknya substansi UU Perlindungan Saksi bagi perempuan dan anak. Saksi perempuan dan anak, dalam kaitannya dengan kekerasan, membutuhkan dan berhak atas perlakuan khusus yang menjamin rasa aman, nyaman, dan bebas memberi keterangan dalam tiap proses hukum. Oleh karena itu, UU Perlindungan Saksi yang segera dilahirkan semestinya menjamin: pertama, hak-hak khusus bagi saksi perempuan korban kekerasan dan anak yang sesuai dengan kondisinya berhak atas kemudahan dalam bersaksi, antara lain mendapat ruangan khusus dan didampingi pendamping hukum, medis, dan psiko-sosial selama pemberian keterangan di seluruh proses hukum.
Saksi korban kekerasan seksual atau yang mendapat ancaman berhak atas perahasiaan identitas, mendapat identitas baru, dan relokasi. Saksi yang tidak dapat hadir ke persidangan karena berada di luar daerah/negeri atau karena berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog pendamping menyatakan proses peradilan akan membuat korban trauma kembali atau membuat kondisi psikologisnya makin parah dapat memberikan keterangan di bawah sumpah secara tertulis atau dengan menggunakan media video di tempat saksi berdomisili.  Ia juga berhak diperiksa tertutup dan sepihak atau menggunakan sarana khusus lain. Kesaksian dengan cara ini disamakan nilainya dengan kesaksian di muka persidangan.
Kedua, perlindungan khusus bagi saksi dalam kasus trafiking serta kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia yang melibatkan pelaku WNA. Ketiga, saksi korban berhak atas pemulihan, kompensasi, ganti kerugian, dan rehabilitasi. Serta keempat, pemerintah wajib membiayai perlindungan saksi dari APBN, mendirikan Lembaga Perlindungan Saksi, dan menjamin agar perempuan yang memiliki keahlian berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak terlibat aktif di dalamnya. (Kompas, 10 September 2005)

Ø  Al Hajr terhadap orang yang sakit kritis
SEORANG ahli hukum mengatakan, jika saja konsep kesinambungan dipakai oleh Kejaksaan Agung, maka kasus Soeharto itu tidak harus berlarut-larut dan berkutat di tingkat pemeriksaan. Sebab, tanggal 22 Maret 1999 melalui surat bernomor R-088/A/Fpk.1/3/1999 (mantan) Jaksa Agung AM Ghalib telah memberi laporan kepada Presiden (waktu itu) BJ Habibie tentang hasil penyelidikan Kejaksaan Agung terhadap Soeharto.
Kesimpulan dari surat tersebut menyebutkan, Soeharto patut dipersalahkan telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang dimilikinya untuk keuntungan yayasan yang dipimpinnya, atau perusahaan yang memperoleh dana dari yayasan. Selain telah membuat kerugian keuangan negara demi keuntungan PT Timor Putra Nasional.
Pernyataan tim dokter bahwa kualitas pembicaraan Soeharto tidak dapat dijamin sepenuhnya sesuai dengan apa yang diinginkan, sebenarnya bisa saja menjadi pintu masuk secara yuridis. Sesuai hukum yang berlaku, pernyataan Soeharto yang tak bisa dipertanggungjawabkan lagi bisa dikategorikan sebagai onbekwaam (ketidakmampuan) dan perlu diletakkan di bawah pengampuan. Itu harus melalui penetapan pengadilan."Namun, tentunya, pihak keluarga tak menginginkan demikian," kata Assegaf.
Alternatif lain adalah persidangan in-absentia atau sidang tanpa kehadiran terdakwa. Memang sesuai kelaziman yang ada, sidang in absentia hanya bisa diterapkan jika tersangkanya melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya, bukan untuk mereka yang sakit. Dalam konteks itu, mungkin Mahkamah Agung bisa mengeluarkan fatwa yang isinya memperluas definisi in-absentia, bukan hanya terhadap tersangka yang melarikan diri, tetapi juga terhadap mereka yang sakit terus-menerus. (Kompas, 25 April 2000)
Sementara menurut Wimar Witoelar, Berpaling pada anggota Komisi Hukum Nasional Frans Hendra Winarta, ia menegaskan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah mengkhianati Ketetapan MPR tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Persidangan hanya dapat dihentikan apabila terdakwa meninggal dunia, dalam pengampuan dan karena sakit ingatan (gila). Majelis hakim seharusnya memperhatikan aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam Tap MPR, "Untuk pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, termasuk mantan presiden Soeharto." (Asal-usul Kompas, Minggu, 1 Oktober 2000)

Ø  Al Hajr terhadap perusahaan yang pailit
Kasus Bank Lippo bermula dari terjadinya perbedaan laporan keuangan kuartal III, antara yang dipublikasikan di media massa dengan yang dilaporkan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ). Dalam laporan yang dipublikasikan pada 28 November 2002 disebutkan total aktiva perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp 98 miliar. Sedangkan dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 triliun dan rugi bersih (yang belum diaudit) menjadi Rp 1,3 triliun.
Menurut manajemen Bank Lippo, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai aset yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun pada laporan ke BEJ.
Akibatnya keseluruhan neraca dan akun-akun berbeda signifikan, termasuk penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen. Jelas dengan kondisi terakhir ini, bank ini sepantasnya masuk dalam bank dalam pengawasan khusus (BDPK) atau masuk dalam surveillance unit. Namun, Bank Lippo kok tenang-tenang saja? Inilah pertanyaan yang wajar muncul. Padahal, Bank Lippo merupakan bank rekap yang masih ada dalam pengampuan BPPN.

DAFTAR PUSTAKA
Advokat-rgsmitra.com, Hukum Badan Pribadi dan Keluarga, http://www.geocities.com/pengacara_rgs/hukum_pribadi_dan_keluarga_xxv_xi_mm... akses tanggal 6 September 2007

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku Pertama : Orang,
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalat, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
Susidarto,  Urgensi Pengawasan Bank Proaktif, Belajar dari Kasus Bank Lippo, Harian Umum Suara Merdeka, Senin, 10 Maret 2003
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1994 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Wimar Witolar, Tugas Tim Dokter Belum Final, Asal-Usul, Kompas, Minggu 1 Oktober 2000
Skh. Kompas, Berawal dan Berakhir dari Titik Start, Selasa, 25 April, 2000
R Valentina Sagala Aktivis Feminis, Direktur Eksekutif Institut Perempuan, Bandung. Anggota Tim Substansi Jaringan Kerja Prolegnas Pro-Perempuan., Mendesaknya Substansi UU Perlindungan Saksi, Skh. Kompas, Sabtu, 10 September 2005

Ahmad Taufan Damanik, Partisipasi Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, KKSP Right Education and Information centre, Jakarta, 2007



 





No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...