ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Sunday, December 4, 2011

RIBA DALAM ISLAM


 RIBA DALAM ISLAM

Pengertian  Riba
Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an,  menjelaskan definisi riba sebagai berikut :

والربا في اللغة هوالزيادة والمراد به في الآية كل زيادة لم يقابلها عوض


“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”



Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau  penyeimbang  yaitu transaksi bisnis atau  komersial  yang melegitimasi adanya penambahan tersebut  Seperti transaksi jual-beli,  atau bagi hasil proyek.

Badruddin Al Ayni pengarang Umdatul Qari, Syarah Shahih Al Bukhari:

الأصل فيه (الربا) الزيادة – وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع



“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”

Imam  Sarakhsi dari mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai berikut:

الربا هو الفضل الخالي عن العوض المشروط في البيع 

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”[1]

[1] Al Mabsut, Vol XII, hal 109



Sementara itu Qatadah menyatakan :

أن الربا الجاهلية ان يبيع الرجل البيع الى اجل مسى فإذا حل الأجل ولم يكن عند صاحبه قضاء زاد واخر عنه


“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah telah jatuh tempo dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan
Larangan bunga (riba) merupakan salah satu  pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam  telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics,[1] menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh empat  alasan;
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa  sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam masyarakat.
Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara. Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas yang membahayakan.
Bahaya Riba bagi Perekonomian
Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari secara empiris, bahwa bunga mengandung mudharat, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis, karena itu, tidak mengherankan jika banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi ini disebabkan oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan bahwa sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan berbangsa. Negara-negara penghutang dijerat hutang yang besar 30 % di antaranya adalah hutang bunga. Itu bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bungan atas bunga. Inilah yang disebut dengan bunga yang berlipat ganda.

Ekonom ternama, Lord Keyness, menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan yang merupakan sumber produksi. Penyimpangan nasabah di bank akan berjalan terus menerus, meski suku bunga turun sampai titik nol. 

Dalam memberikan tanggapan terhadap dampak bunga, ekonom kenamaan W.C. Mitchel dengan tepat sekali menuturkan bahwa bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis. Pendapat senada di ungkapkan oleh Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sistem ekonomi yang melanda Indonesia saat ini, katanya, merupakan pengaruh global, kerena dunia dikuassi oleh sistem ekonomi ribawi, ciptaan kapitalis. Di mana negara kaya menghisap darah negara-negara miskin dengan pinjaman bunga.

Ekonomi global akan mempengaruhi setiap negara, sehingga krisis yang dihadapi bangsa Indonesia tidak akan pernah selesai bila diatasi sendiri. Sistem ekonomi riba menurutnya faktor utama ketimpangan ekonomi antara Barat dan negara-negara berkembang. Antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Sistem iu memungkinkan terjadinya pemondahan kekayaan dalam sekejap dari negara-negara berkembang kepada negara-negara kapitalis.

Akibat sampingan yang amat terasa adalah terjadinya penumpukan asset dalam jumlah besar dan dikuasai segelintir masyarakat. Sedangkan mayoritas rakyat tidak mendapat sumber kehidupan. Dalam sistem ekonomi riba, terjadi pengalihan kekayaan secara mudah. Akibatnya orang menjadi materialis secara rakus dan serakah.

Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang diperoleh si pemilik modal bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya. Adalah tidak adil, bila seorang kapitalis (pemilik modal), meraup bunga dari modalnya, tanpa menanggung resiko sedikitpun dalam sebuah usaha.

Dalam kenyataannya, pemilik uang tak peduli apakah sipeminjam atau pengolah modal, untung atau rugi, yang penting baginya adalah bunga sekian persen harus diterimanya.

Pada pinjaman sistem bunga, tak terdapat kebersamaan dan kemitraan sebagaimana dlam sistem mudharabah. Pada sistem bunga, keuntungan yang didapat dengan mengeksploitir orang lain yang pada dasarnya lebih lemah daripadanya. Praktek semacam ini merugikan pengusaha kecil sebaliknya menambah kekayaan bagi orang-orang kuat tanpa menanggung resiko apapun. Akhirnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dalam perekonomian bebas bunga, pemecahan dan pengurangan penderitaan orang banyak dapat direalisir secara adil.

Kerangka pemikiran tersebut sejalan dengan pandangan para filosuf yang menyatakan bahwa harta tidak melahirkan harta, uang tidak menelorkan uang. Harta baru dapat berkembang dengan cara bekerja dan usaha jerih payah untuk kedua belah pihak dan kemaslahatan  masyarakat, sehingga terealisir kehidupan bersama yang adil antara harta dan kerja.

Pada dasarnya, keperluan akan pinjaman, timbul karena kebutuhan ekonomi, utamanya kaum miskin. Hanya suatu masyarakat kaya yang bisa memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin. Karena itu, dikenakannya bunga dalam bentuk apa saja pada pinjaman, adalah suatu pengingkaran terhadap prinsip universal persaudaraan manusia yang harus saling menolong. Jadi, riba merupakan penghisapan dari kebutuhan sesama saudara. Bunga telah merontokkan fitrah dasar manusia untuk saling bantu dan mengasihi.

Dengan demikian, bunga menghancurkan dasar-dasar kehidupan manusia yang fundamental, yaitu saling membantu dan menolong. Bunga juga menjadikan manusia hanya mementingkan diri sendiri. Semua orang dalam masyarakat seperti itu, mempunyai kecenderungan untuk bergumul dalam segala sesuatu yang semata-mata didasarkan oleh materi/uang.

Selanjutnya, bunga secara signifikan memicu inflasi. Untuk  membayar utang, peminjam harus menaikkan harga bunga yang harus dibayarkan. Dan untuk membayar utang tersebut sering terjadi pemangkasan upah buruh.

Kemudian, harus diketahui bahwa dalam ekonomi Islam, perdagangan menjadi salah satu faktor utama dalam proses pembangunan. Dinamikanya dapat melalui kerjasama dan partisipasi. Sedangkan konsep bunga adalah konsep yang menguntungkan satu pihak dan pemilik modal cenderung mementingkan diri sendiri. Maka dari sudut pandang ekonomi dan etika, bunga sesungguhnya meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan, tidak saling membantu, egois dan individualistis yang pada akhirnya mencegah peningkatan sumberdaya ekonomi.
Dengan demikian, suku bunga pinjaman dapat menghalangi terciptanya tata perekonomia dunia yang baik dan adil. Dalam ekonomi riba, tidak terwujud rasa kebersamaan, karena pemilik modal dalam sistem bunga hanya mementingkan diri sendiri, tidak perduli pada resiko yang dialami peminjam, apakah untung atau rugi. Yang penting bunga harus diserahkan dalam jumlah tertentu.
Riba juga dapat menyebabkan kehancuran dan kepapaan. Banyak orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir miskin. Sebaliknya, pihak yang mempunyai modal, bisa memiliki harta orang lain dengan cara mudah, tapi batil.
Uang Bukan Sebagai Komoditas
Selanjutanya, bunga mutlak menjadikan uang sebagai komoditas. Sedangkan Islam menegaskan fungsi uang adalah sebagai alat tukar (medium of change). Ekonomi kapitalisme adalah sebuah sistem yang menjadikan uang sebagai komoditas, dimana uang diperjualbelikan dan menjadi alat spekulasi. Hal ini sangat rawan terhadap peningkatan nilai mata uang dollar yang pada gilirannya menimbulkan bencana di banyak negara. Proses penurunan nilai mata uang lokal (seperti rupiah) terjadi sangat singkat yang selanjutnya menghancurkan ekonomi suatu negara dan tentunya memiskinkan rakyat banyak. Jadi kesimpulannya, bunga terbukti membuat krisis dan memiskinkan.

Dari uraian diatas jelas bahwa bunga telah menghalangi dimanfaatkannya uang secara maksimal dan proporsional. Tanpa aktif berinvestasi dalam produksi dan perdagangan, para pemilik uang yang meminjamkan uang, telah tumbuh menjadi golongan kapitalis. Bahkan dengan kekuatan bunga mereka menyita atau membangun sarana-sarana produksi seluas-luasnya. Bunga memang menjadi kata kunci pertumbuhan dan penguatan golongan kapitalis. Bangkitnya kapitalis memang merupakan akses utama sistem bunga, maka masyarakat biasa dan terlebih yang miskin, harus tergantung hidupnya di bawah belas kasihan kaum kapitalis. Karena itu, tidak ada kata yang bisa menjadi kesimpulan, kecuali ”Bunga mutlak harus kita tinggalkan. Hijrah ke sistem syari’ah mutlak kita lakukan

Dampak Bunga terhadap Ekonomi Indonesia           

              Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs  uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis  menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis  kurs mata uang di lima negara terdepresiasi  35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis moneter.  Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya  berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan  orang, yang kekurangan modal, terpaksa direkap (disuntik modal)  oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.
Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
 Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).
Data-data di bawah ini menginformasikan jumlah BLBI yang diberikan pemerintah kepada bank-bank konvensional dan besar bunga yang mereka terima dari negara pada September 2002.(Hilmi, SE, Mei 2002)
BANK PENANGGUK REKAP DARI UANG
RAKYAT/APBN (September 2002) – dlm Trilyun Rp
Kondisi Sesungguhnya
Sumbangan bunga obligasi APBN : 10 %
Laba/Rugi di Neraca
Jumlah Obligasi
Nama Bank
No.
RUGI
15,55
2,
155,5
Mandiri
1
RUGI
5,47
2,1
54,7
BNI
2
RUGI
5,36
2,192
53,6
BCA
3
RUGI
2,84
1,5
28,4
BRI
4
RUGI
2,33
0,030
23,3
BII
5
RUGI
2,00
0,725
20,0
DANAMON
6
RUGI
1,24
0,25
14,2
BTN
7
RUGI
1,16
---
11,6
Permata
8
RUGI
0,67
0,099
6,7
Niaga
9
RUGI
0,57
0,141
5,7
Lippo
10

37,375
9,857
373,7



 
Bunga obligasi yang diberikan kepada bank-bank konvensional tersebut sebesar 10 % pada September 2002. Jika jumlah obligasi mencapai Rp 400 Triliun, maka kewajiban pemerintah membayar bunga obligasi sebesar Rp 40 triliun dalam setahun. Pada masa-masa sebelumnya, yakni pasca krisis 1998, bunga obligasi ini sebesar 17 %. Semakin suku bunga, maka semakin besar beban negara membayar bunganya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sumbangan bunga obligasi yang diberikan pemerintah pada tahun 2001 sebesar Rp 61,2 Triliyun. Dana yang sangat besar ini menjadi beban APBN. Padahal dana APBN tersebut seharusnya diutamakan untuk kesejehteraan ekayat yang masih masih dilanda kemsikinan dan kebodohan, tetapi karena ini meneraplkanm sistemn ekoomi ribawi (kapitalisme),maka terpelsa keprtingan rakayat dikorbankan demi membantu bank-bank raksasa. Inilah ironi dan keanehan atau ketidakwarasan sistem ekonomi ribawi.,
Kondisi dana APBN yang dikuras riba berlanjut terus setiap tahun sampai   sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68 Trilyun.

Membayar Bunga SBI
            Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.[2]
            Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 %[3]. Bayangkan, pada saat itu dana  bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI  sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas  menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI  mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara dalam jumlah yang besar. 

Beban APBN
       Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa  pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
       Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila  pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri  sebesar Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu  membayar  hutang  tersebut  Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini

Pada tahun 2004, Indonesia  menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.
      
Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan  harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.       
Pajak juga dinaikkan, tetapi  banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.
           
Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan  kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering diungkapkan oleh pakar-pakar  dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.
            Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
            “Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika (abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
            Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis. Adalah logis kalau dalam  setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
            Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
            Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE, biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.
           
Melihat realitas di       atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.

Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah jelas-jelas membawa petaka,  masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.




Ijma’ Ulama tentang Keharaman Bunga Bank
Adalah keliru besar, jika ada orang yang mengatakan bahwa ulama saat ini berbeda pendapat tentang hukum bunga bank. Telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli ekonomi Islam dan ulama berkaliber dunia tentang ijma’nya para ulama tentang  keharaman bunga bank, di antaranya oleh Prof. Dr.M.Umer Chapra, Prof. M.Akram Khan, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof.Dr,Ali Ash-Shobuni. dll.    Tulisan ini ingin mengetengahkan pembahasan tentang telah terjadinya ijma’ seluruh ulama se-dunia mengenai keharaman bunga (interest), baik bunga bank, asuransi, pegadaian, koperasi, obligasi dan seluruh institusi yang menerapkan sistem bunga.
Pengertian Ijma’
            Para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijma’ yaitu, kesepakatan semua ulama  mujtahid dari ummat Islam pada suatu masa  setelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu hukum syara’. Demikian Rumusan Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh Defenisi dari berbagai literatur yang lain juga memberikan pengertian yang sama dengan Abdul Wahhab Khallaf..
Para ulama menetapkan bahwa ulama yang melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah ulama tersebut memahami persoalan (masalah) yang diijtihadi. Syarat ini sangat masuk akal, sebab, bagaimana mungkin seorang ulama berijtihad tentang suatu masalah, sementara ia tidak mengetahui masalah yang diijthadi. Seorang ulama yang berijtihad tentang bunga bank, haruslah mengerti ilmu ekonomi makro, misalnya kaitan (dampak ) bunga terhadap investasi, produksi, unemployment, inflasi, kaitan bunga dengan spekulasi dan volatilitas  mata uang di suatu negara, dsb. Dia juga harus mengerti teori-teori tentang bunga dan tentunya mengerti konsep okonomi Islam tentang fungsi uang. Pendeknya ia  faham tentang ilmu moneter bahkan semakin baik jika ia mengetahui sejarah krisis moneter dan perbankan di berbagai belahan dunia sepanjang sejarah khususnya 150-200  tahun terakhir. Ulama yang mau berijtihad dalam ekonomi tidak cukup hanya tahu dan hafal Al-quran dan hadits, tanpa mengetahui ilmu-ilmu ilmiah tentang ekonomi dan praktik empiris di lapangan.

Ijma’ dan Istiqra      
Penetapan telah terjadinya ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank bukan kesimpulan yang bersifat gampangan, tetapi setelah melakukan istiqra (penelitian) yang mendalam dan panjang terhadap pendapat semua pakar ekonomi Islam sejak tahun 1970-an hingga saat ini.
            Ulama (pakar) yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank bukan sembarang ulama dan bukan satu dua orang. Mereka adalah para ulama yang ahli ilmu ekonomi dan syariah. Ulama yang telah sepakat (ijma’) tentang keharamn bunga bank adalah para ulama yang pakar ilmu ekonomi Islam. dan  yang umumnya mereka sarjana ekonomi Barat. Kapasitas mereka sebagai ilmuwan ekonomi Islam tidak diragukan sedikitpun, karena latar belakang keilmuwan mereka sejak awal adalah ilmu ekonomi konvensional, tetapi mereka memahami syari’ah dan ekonomi Islam secara mendalam. Jumlah mereka sangat banyak. Menurut Yusuf Qardhawi mencapai 300 orang. Hasil karya intelektual  mereka tentang ekonomi Islam  yang telah dipublikasikan, sejak tahun 1960-an sampai sekarang,  lebih dari 2000-an buah  dalam bentuk buku dan tulisan di juornal-juornal ilmiah. Sekedar menyebut sebagian nama-nama mereka antara lain, 1. Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy,2.  Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan,MA, 3.Prof.Dr.M.Umer Chapra, 4. Prof.Dr.Masudul Alam Khudary, 5. Prof.Dr. Monzer Kahf, 6. Prof.Dr. M.Akram Khan, 7. Prof.Dr.Kursyid Ahmad, 8.Prof.Dr.Dhiauddin Ahmad, 9. Prof.Dr. Muhammad Muslehuddin, 10.Prof.Dr. Afzalur Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar  Iqbal Quraisy, 12. Prof.Dr.Hasanuz Zaman, 13. Prof. Dr.M.Sudin Haroen, 14. M.Fahim Khan,.15. Prof.Dr.Volker Ninhaus, 16. Dr.Mustaq Ahmad. 17. Dr.Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar, 20. Syed Nawab haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad Sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26. Abdul Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr.Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan, 31.Prof.Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof.Dr.Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr.Syahadat Husein 35.Dr.Badruddin (Oman)  36. Dr.Mabid Ali Al-Jarhi, 37. Prof.Dr.Anas Zarqa, 38. Dr.Muhammad Uzei, 40. Dr.F.R Faridi, 41. Dr.Mahmud Abu Su’ud. 42.  Dr.Ijaz Shafi Ghilani, 43. Dr.Sahabuddin Zain, 44. Mukhtar M.Metwally, 45. Dr.Hasan Abu Rukba, 46. Muhammad Hameedullah, 47. B.S Sharraf 48. Dr. Zubair Hasan, 49. Skharur Rafi Khan, 50. Prof. Dr. Mahmud Ahmad.
            Masih banyak lagi pakar ekonomi Islam lainnya.-.yang tidak  dipaparkan di sini. Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga  telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
            Karena kesepakatan para pakar ekonomi Islam itulah, maka Prof.Dr.M.Umer Chapra mengatakan bahwa mereka ijma’ tentang keharaman bunga bank.            Chapra adalah ahli ekonomi Islam paling terkemuka saat ini dan sangat produktif menulis tema-tema ekonomi Islam. Karena itu ia mendapat Award Faisal dari kerajaan  Saudi Arabia, lantaran  karya-karyanya yang spektakuler di bidang ekonomi Islam.
            Menurut M.Umer Chapra,  ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali  konferensi, muktamar, simposium dan seminar,  para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi itu yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,( 2000).
            Jadi, dalam penelitian Umer Chapra, tak sartu pun ulama yang ditemuinya membolehkan bunga bank. Dalam merespon pernyataan Umer Chapra tersebut,  kita tentu bertanya. Bukankah ada ulama yang membolehkan bunga.? Nah, dalam pandangan Umer Chapra,  kalaupun ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya Ahmad Khan (India) pada abad 19. Tokoh itu dinilainya tidak berkapasitas sebagai ahli ekonomi. Dan tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu ekonomi, khususnya ilmu moneter. Sedangkan untuk memustuskan suatu hukum, haruslah orang itu ahli di bidang hukum yang diputuskannya itu. Demikian pula misalnya Ahmad Hasan dari Indonesia, dia bukanlah seorang ekonom yang faham tentang ilmu moneter dan ekonomi makro atau ekonomi pembangunan. Jadi dalam kerangka pemikiran Umer Chapra, segelintir tokoh-tokoh itu, sama sekali tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu moneter dan oleh karena itu pendapat mereka tidak mu’tabar (diakui).
            Selain Prof.Dr M.Umer Chapra, ahli ekonomi Islam yang mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank adalah Prof.Dr.M.Akram Khan, seorang pakar ekonomi terkemuka dari Pakistan. Sebagai seorang ekonom muslim, beliau melakukan penelitian terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. 
            Sebagaimana Umer Chapra, Prof.Dr..M. Akram juga mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank. Dia  mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.
            Selain pernyataan ahli ekonomi, tokoh ulama yang banyak menekuni ekonomi Islam, yakni Yusuf Qardhawi,   juga tak menemukan ada ahli ekonomi Islam yang menghalalkan bunga bank. Meskipun latar belakang keilmuannya bukan sarjana ekonomi seperti tokoh di atas, tetapi Yusuf Qardhawi adalah ulama yang banyak menggeluti dan menulis masalah ekonomi. Kapasitas keilmuamnya tidak diragukan.
            Beliau  juga mengatakan bahwa ulama telah ijma’ tentang keharaman bunga bank dalam bukunya Fawaid al-Bunuk  Hiya ar-Riba Haram (Bunga Bank adalah Haram).  Menurut Prof.Dr.Dr.Yusuf Qardhawi, sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank  (Mereka terdiri dari ahli fikih ahli ekonomi dan keuangan dunia). Tak seorang pun yang membantahnya. Kata Yuduf Qardhawi, ”Saya benar-benar menyaksikan, bahwa para ahli ekonomi Islam, Justru lebih bersemangat dari ahli fikih sendiri” (2000, hlm.83)
            Selain itu kata Yusuf Qardhawi, ”Telah lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian, muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi Islam yang mengharamkan bunga bank dalam segala bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa diragukan sedikitpun. Sedangkan riba adalah haram”.(hlm. 83).
            Selanjutnya Qardhawi menuturkan, barangkali keputusan yang dikeluarkan tiga lembaga ilmiah internasional yang sangat kondang dan kredible, telah cukup dijadikan stardart.
  1. Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI)
  2. Lembaga Fikih (Majma’ Al-fiqihi) Rabithah Alam Islami,
  3. Pusat Riset Islam (Insitutue of Islamic Research )Al-Azhar Mesir
Selain itu perlu ditambahkan juga bahwa seluruh pusat Riset Ekonomi Islam di dunia yang tersebar di berbagai negara juga sepakat tentang keharaman bunga bank.
            Pernyataan mereka bahwa ulama ijma’ tentang keharaman bunga bank, setelah mereka melakukan penelitian yang mendalam tentang pendapat ratusan ahli (pemikir) dan setelah meneliti ribuan buku-buku tentang ekonomi Islam. Ulama sekaliber Yusuf Qardhawi tentu tidak mudah mengatakan suatu masalah telah ijma, kecuali setelah melakukan menelahan yang dalam tentang itu. Demikian pula Umar Chapra dan M.Akram Khan.
            Pernyataan Yusuf Qardhawi yang mengatakan ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank dikutip dan dikuatkan lagi oleh  Prof. Dr Ali Ash-Shobuni (ulama terkemuka  dari Mesir) dalam buku Jarimah ar-Riba, Ali Ash-shobuni adalah ahli hukum syari’ah dan Tafsir Ahkam. Ia mengatakan bahwa  para ahli ekonomi Islam telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan  itu terjadi berkali-kali di forum ulama Internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini. Menurutnya, tahun 1976 telah dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam se-dunia di Mekkah yang dihadiri 300 ulama dan pakar keuangan Islam. Tak seorang pun di antara pakar ekonomi Islam itu menolak kaharaman bunga bank. Bahkan sebelum tahun 1976, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI yang berasal dari 44 negara sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut.
Harus diakui, adanya segelintir kecil ”ulama” fikih yang meragukan keharaman bunga bank, tidak bisa menggugurkann ijma’ ulama, kata Yusuf Qardhawi.(hlm.84-85) Segelintir  ulama fikih itu (intelektual muslim)  tak faham tentang ilmu moneter dan teori teori ekonomi modern, khususnya ekonomi makro. Kapasitas keilmuan mereka tentang moneter dan interest tidak memadai. Mereka malah ada yang tidak mengerti kalau masalah riba termasuk ekonomi makro, apalagi effect riba terhadap inflasi, terhadap investasi, produksi dan tenaga kerja/employment.
Demikian pula segelintir ahli fikih tak memahami bagimana dampak riba terhadap spekuluasi dan volatilitas keuangan suatu negara yang mengakibatkan instabilitas ekonomi dan krisis ekonomi yang dahsyat. Mereka juga belum bisa merumuskan konsep profit and loss sharing secara aplikatif di lembaga keuangan, lengkap dengan ilmu akuntansi dan manajemen keuangannya.  Kedangkalan ilmu mereka tentang moneter, ekonomi makro, dll, disebabkan karena  mereka bukan berasal dari disiplin ilmu ekonomi dan tak menekuni kajian ekonomi Islam. Maka wajar jika pengetahuan mereka tentang ekonomi moneter sangat terbatas. Kalau tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Adanya segelintir ustaz  yang membolehkan bunga bank karena kedangkalan ilmunya tentang ekonomi moneter. Mereka ini tidak dipandang oleh Prof.Dr. M.Akram dan Umer Chapra sebagai ahli ekonomi, sebab disiplin keilmuan mereka dan kapasitas keilmuan mereka jauh dari ahli ekonomi Islam yang sesungguhnya.
            Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank. Perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank telah selesai  sekitar 30 tahun yang lalu. Kalau ada ummat Islam masih mempersoalkan hukum bunga bank, berarti ia terlambat 30 tahun dan tidak mengerti
            Kalau pun ada tokoh yang berkomentar tentang kebolehan bunga bank, pastilah mereka tak faham ilmu ekonomi moneter dan mereka bukan ahli  dalam ekonomi/moneter Islam, seperti,  Gusdur, Syafii Maarif atau Sri Mulyani. Gusdur dan Syafi’i Maarif pakar di bidang Islam tetapi tidak di bidang ekonomi. Sri Mulyani pakar di bidang ekonomi tapi tidak pakar di bidang syariah.  Pendapat mereka tidak representatif dijadikan rujukan dalam bidang ekonomi, karena mereka bukan ilmuwan bidang ekonomi Islam, sehingga wajar jika pendapat mereka tertolak dan tidak bisa menggugurkan ijma’ ulama yang ahli di bidangnya.
 Ahli ekonomi Islam sekaliber Prof. Dr Umer Chapra dan Prof Dr.M. Akram yang mengatakan ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank secara otomatis tidak memandang pendapat para tokoh-tokoh Indonesia itu sebagai pendapat yang muktabar (diakui). Ulama besar sekaliber Thantawi dari Mesir, tidak berkapasitas dalam ilmu ekonomi moneter, karena (maaf), karena latar belakang keilmuannya bukan ilmu ekonomi dan ia sendiri tidak mendalami ilmu ekonomi Islam. Maka jika para ahli ekonomi Islam membaca tulisan Thantawi, pasti mereka geli dan tertawa menelaahnya, karena kajiannya sangat dangkal dan jauh sekali dari teori ilmu ekonomi moneter. Di situ belum ada kajian dari perspektif ekonomi makro, seperti dampak bunga terhadap inflasi, terhadap investasi, dampak bunga produksi, unemployment, apalagi terhadap volatilitas financial di berbagai negara, peluang spekulasi yang merusak ekonomi dunia dan negara-negara bangsa, Juga belum ada kajian ilmiah dampak bunga terhadap ekspor. Dampak bunga terhadap kesenjangan pendapatan secara global, dampak bunga terhadap kemiskinan dan penderitaan rakyat, terhadap krisis yang melanda banyak negara yang telah meluluhlantakkan ekonomi banyak negara. Ratusan juta bahkan milyaran umat manusia menjadi korban yang mengerikan akibat dari bunga.
Ilmu ekonomi moneter, atau ilmu ekonomi makro dan juga ilmu perbankan belum didalami oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia, seperti Masdar F.Mas’udi, Quraisya Syihab, Azyumazdi Azra, karena mereka bukan sarjana ekonomi Islam dan bidang keilmuannya bukan islamic economics. Karena itu mereka tidak tepat jika berfatwa tentang bunga bank. 
Kalau kita mau berpikir logis dan ilmiah, kita harus menyerahkan persoalan hukum moneter kepada ahlinya. Analoginya, jika seluruh dokter spesialis kulit telah sepakat tentang jenis penyakit kulit seseorang, lalu ada segelintir dokter gigi membantahnya, maka sangat aneh bila orang mengikut pendapat dokter gigi yang tak ahli di bidang kulit. Pendapat dokter gigi itu tertolak, teorinya salah, sangat aneh dan  amat menyesatkan.


Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah informasi dan keyakinan yang kuat kepada pembaca bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank, karena ternyata seluruh ulama dunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Terakhir perlu ditegaskan bahwa pernyataan telah terciptanya ijma’ ini adalah pendapat para peneliti, ulama dan pakar ekonomi Islam internasional. Mereka adalah para ahli ekonomi Islam yang tak diragukan lagi validitas risetnya dalam bidang ini. Uraian dan argumentasi  detail yang ilmiah (melalui pendekatan ilmu ekonomi) tentang keharaman bunga bank tidak dijelaskan di artikel ringkas ini, karena membutuhkan kajian yang panjang dan lembaran yang banyak.



Dosa Riba Menurut Al-Quran dan Sunnah

Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi,  Prof. Muhammad Ali Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga bank.
Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah, “Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu, jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Menurut ayat ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi  dan ilmu moneter syari’ah). 
            Seorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak  mendalami ilmu moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter  dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.




Dosa Riba.
         Dalam Islam, riba termasuk dosa besar yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda,

اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن ؟  قال : الشرك بالله  والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و أكل الربا  وأكل مال اليتيم  والتولى يوم الزحف  و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)

Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).


            Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,

لعن  رسول الله  صلعم   أكل الربا ومؤكله وكاتبه  وشاهديه و قال : سواء(رواه  مسلم)                                                                   
 “Rasulullah melaknat dan mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya sama”.(H.R.Muslim)

            Selanjutnya, Abbdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة  وسبعون بابا  ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه  الحاكم)                                                                      

 “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).


اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة  ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر  و أكل الربا  وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه  الحاكم)

            Dalam hadits lain Nabi barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak  yatim dan keempat, durhaka kepada orang tuanya”.(H.R. Hakim).

            Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,

الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم  عند الله  من ثلاثة وثلاثين زينة يزنيها    فىالاسلام      (رواه الطبرانى
Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam islam”.(H.R. Darul Quthny)

ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم ( رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)
      
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu Dunya).

            Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى  والزنى  في قرية  فقد أحلوا بعذاب الله (رواه  الحاكم)

 “Apabila zina dan riba telah merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)

Amru bin Ash mendengar langsung Nabi mengatakan,

ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة  وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب ( رواه أحمد)

Bila riba merajalela pada suata bangsa, maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).

            Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,

اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي به  يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا  يتخبط (رواه الطبراني) 

 Jauhilah dosa-dosa yang tak terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang, maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba, barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).

ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة ( رواه ابن ماجة و الحاكم)

            Abdullah bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).

            Maksudnya, pemakan riba selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an,
Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati) sedeqah”. (Q.S. 2:276).

            Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas.
ليأتين  على الناس زمان لا يبقى منهم احد من الربا فمن لم يأكله  أصابه من غباره  (ابو داؤد)                   

            Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu Majah)

بين يدي الساعة  يظهر الربا و الزنا و الخمر (رواه الطبراني)

            Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”. (H.R.Thabrani).

 




[1] A. M. Sadeq. "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics, 1989, hlm 27-28
[2] Karena itu, Menteri Perdagangan dan Industri ketika itu, menulis surat kepada Bank Indonesia. Dia kesal melihat 60-70 % uang bank meninggalkan sektor riel, usaha kecil dan menengah. Uang itu menari bersenang-senang dalam alunan simponi ribawi dan terkadang nongkrong  berjudi di pasar Valas. Sebagiannya ber-riba ria di “pasar antar bank”. Dan yang paling happy adalah di SBI tadi.  Realitas yang amat buruk itu, tidak terjadi di bank-bank syari’ah. Hal ini terlihat dari FDR bank syariah yang saat ini mencapai 115 %. Ini artinya, bahwa seluruh dana pihak ketiga (berupa tabungan, deposito dan giro) disalurkan kepada ekonomi rakyat, malah diambil lagi dari modal perbankan itu sendiri sebesar 15 %. Sehingga bank syariah benar-benar berperan menumbuhkan sektor riel dan fungsi intemediasinya benar-benar terwujud..Kenyataan ini merupakan kebalikan total dari sebagian besar bank konvensional. Bank konvensional memiliki fungsi intermediasi yang masih  rendah.
[3] Apabila bunga SBI  sebesar Rp 17  % lebih,  sementara bunga yang harus dibayarkan kepada deposan atau penabung hanyalah berkisar 11-12 %. Maka dengan ongkang-ongkang saja lembaga perbankan konvensional meraup spread berupa bunga/riba, dalam jumlah besar, hampir mencapai 5-6 %. Jika sebuah bank konvensional menempatkan dana 100 triliun, maka spread yang diperolehnya setahun Rp 5 -6 triliun.
                

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...