ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Monday, December 5, 2011

QARDH


QARDH DAN APLIKASINYA DI LEMBAGA KEUANGAN ISLAM



Pendahuluan
Qardh
Qardh adalah Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
Qardh yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalanadalah riba.
Qardh adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqh,  qard
dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Atau dapat digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan social. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah memperbolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. 
Qardh-ul Hasan Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) untuk tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai
pinjaman.
Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang meminjamkan yang mewajibkan peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan, namun tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian.
Rukun Qardh;
* Peminjam (Muqtaridh)
* Pemberi Pinjaman (Muqridh)
* Dana (Qardh)
* Ijab qabul (Sighat)
Landasan syariah Qardh:
Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa : Nabi SAW berkata : "Tidaklah seorang muslim yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sadaqah" (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Dari Anas berkata, berkata Rasulullah SAW : "Aku melihat pada waktu malam di isra'kan, pada pintu surga tertulis : Sedeqah dibalas 10 kali lipat dan qard 18 kali. Aku bertanya: Wahai Jibril Mengapa Qard lebih utama dari sadaqah ? ia menjawab : Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan". (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Ijma': Kaum Muslimin telah sepakat akan bolehnya qard ini.
Lembaga Keuangan Islam
Lembaga Keuangan Syariah sebagai bagian dari Sistem Ekonomi Syariah, dalam
menjalankan bisnis dan usahanya tidak terlepas dari saringan Syariah. Oleh
karena itu, Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/ asusila, perjudian,peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan
syi’ar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah harus
terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional
lembaga tersebut. Dalam operasionalnya, Lembaga Keuangan Syariah berada dalam koridor-koridor prinsip-prinsip:
1.      Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak;
2.      Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna
dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling
bersinergi untuk memperoleh keuntungan;
3.      Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara
terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi
dananya;
4.      Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam
masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak mengenal bunga, baik dalam
menghimpun tabungan investasi masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha
yang membutuhkannya. Menurut Dr. M. Umer Chapra , penghapusan bunga akan
menghilangkan sumber ketidakadilan antara penyedia dana dan pengusaha. Keuntungan
total pada modal akan dibagi di antara kedua pihak menurut keadilan. Pihak penyedia
dana tidak akan dijamin dengan laju keuntungan di depan meskipun bisnis itu ternyata
tidak menguntungkan.
Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1.      Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga KeuanganSyariah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;
2.      Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;
3.       Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit oriented, tetapi
juga falah oriented, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;
4.      Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip
kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan
pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial;
5.      Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak
menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.

Pembahasan

FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 19/DSN-MUI/IV/2001
Tentang
AL-QARDH
Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh
1.      Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.      Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3.      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5.      Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.       memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b.      menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya. 
Kedua: Sanksi
1.      Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengem-balikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2.      Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa --dan tidak terbatas pada-- penjualan barang jaminan.
3.      Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh  
Ketiga: Sumber Dana
    Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
  1. Bagian modal LKS;
  2. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
  3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Keempat :
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
1.      Sebagai pinjaman talang haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
2.      Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan
3.      Sebagai pinjaman bagi pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan skema jual beli, ijarah atau bagi hasil.
4.      Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
5.      Bank syariah disamping memberikan pinjaman qardh, juga dapat menyalurkan pinjaman dalam bentuk qardhul hasan. Qardhul hasan adalah pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaianya maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Pelaporan qardhul hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana qardhul hasan karena dana tersebut bukan aset bank yang bersangkutan.
6.      Sumber dana qardhul hasan berasal dari eksternal dan internal. Sumber dana eksternal meliputi dana qardh yang diterima bank syariah dari pihak lain (misalnya dari sumbangan, infak, shadaqah dan sebagainya), dana yang disediakan oleh para pemilik bank syariah dan hasil pendapatan non halal. Sumber dana internal meliputi qardhul hasan
Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.

Dalam prakteknya pada poin pertaman jasa yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) untuk menalangi pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) kurang tepat bila digunakan istilah al-Qardh (meminjamkan), karena dalam Islam, pinjam meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial. Artinya bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas jasa pokok pinjamannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam Lembaga Keuangan Syari'ah pinjaman tidak disebut kredit, tapi pembiayaan (financing).
Dalam kasus ini, bila nasabah datang Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dan ingin meminjam uang untuk keperluan naik haji karena biaya yang tersedia tidak cukup, maka ia harus melakukan akad ijarah (sewa) dan bukan akad qardh (meminjam). Karena jika LKS memberikan pinjaman kepada nasabah atas nama akad qardh untuk membantu menalangi pembiayaan haji, maka LKS tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
Sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, LKS tentu tidak mungkin melakukannya. Karena itu, akad yang harus dilakukan di awal adalah akad ijarah (sewa), di mana LKS dapat mengambil keuntungan dari harga sewa atau harga produk yang disewakan tersebut. Akad seperti inilah yang diperbolehkan dalam Islam.

Kemudian poin kedua penerbitan kartu kredit syariah.
FATWA
DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 54/DSN-MUI/X/2006
Tentang
SYARIAH CARD

Pertama:Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1.      Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
2.      Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
3.      Membership Fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
4.      Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
5.      Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
6.      Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
7.      Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Kedua : Hukum
Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan Akad

Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah:
a.       Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
b.      Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
c.       Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.

Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
a.       Tidak menimbulkan riba.
b.      Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
c.       Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
d.      Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
e.       Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah

Kelima : Ketentuan Fee
a.       Iuran keanggotaan (membership fee). Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
b.      Merchant fee. Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
c.       Fee penarikan uang tunai Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
d.      Fee Kafalah. Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
e.       Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
a.       Ta’widh
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
b.      Denda keterlambatan (late charge). Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Ketujuh : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
 Aplikasinya Dirham Card  yang diluncurkan oleh Bank Danamon berdasarkan Fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Surat Bank Indonesia No. 9/183/DPbS/2007.
Sasaran Pengguna: Sasaran utama penggunanya adalah nasabah Muslim, dan juga Non Muslim, yang sudah memiliki kartu kredit konvensional agar dapat dilihat track record histori pembayarannya. Diharapkan dengan adanya penelusuran ini pengguna Dirham Card adalah konsumen yang benar-benar terbukti baik dalam melakukan kewajiban pembayaran.
Persamaan:
Baik dirham card maupun kartu kredit konvensional memiliki persamaan pada hal:
  • Iuran tahunan
  • Pagu limit berdasarkan jenis kartu, yaitu kartu hijau, kartu emas, dan kartu platinum
  • Menggunakan jasa layanan penyedia kartu global (MasterCard)
  • Dapat digunakan untuk kegiatan dasar, yaitu pembayaran secara kredit di merchant penyedia kartu global tersebut dan pembayaran tagihan bulanan, seperti listrik, air, dan telepon
Perbedaan:
Kartu kredit konvensional mengutamakan adanya bunga sebesar 2-4% per bulan sebagai bentuk pengambilan keuntungan terhadap pelunasan tagihan yang dicicil. Nilai ini berbentuk bunga berbunga, sehingga dalam 1 tahun saja, bunganya saja bisa mendekati nilai transaksi awal. Dirham Card di lain pihak, mengklaim adanya skema unik berdasarkan sistem syariah yaitu akad ijarah, kafalah, dan qardh. Akad ijarah adalah biaya keanggotaan ( iuran tahunan), kafalah adalah penjaminan transaksi, sedangkan qardh adalah pemberian pinjaman untuk pengambilan tunai. Secara umum skemanya seharusnya tidak jauh beda dengan kartu kredit konvensional, tapi untuk mendukung 3 jenis skema di atas, dirham card menggunakan sejumlah aturan pendukung karena tidak menggunakan bunga. Menurut Kontan, ada 3 hal yang diharapkan dapat meredam kemungkinan terjebak pada bunga/riba:
1.      Goodwill investment. Pengguna wajib menyetor goodwill investment sebesar 10% dari limit. Ini bertujuan supaya penggunaan kartu kredit tidak semena-mena
2.      Pembukaan rekening. Pengguna wajib membuka rekening di Bank Danamon Syariah sebesar minimum IDR 500 ribu.
3.      Pengenaan Denda. Ada 2 jenis denda yang akan dikenakan bila pengguna dirham card terlambat melunasi hutangnya. Denda pertama adalah ta’widh, sebagai biaya penagihan bank, sebesar 17 ribu per bulan. Denda kedua adalah sebesar 3% dari tagihan. Jumlah itu bukan bunga karena merupakan qardhul hasan yang akan disumbangkan ke BAZIS dan bukan hak bank.
L/C Impor Syariah
Islam melarang adanya bunga, untuk menghindari ketidakadilan dan bunga yang berlebihan, maka bank syariah telah memberikan solusi yang dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme L/C itu dengan menggunakan skema transaksi yang islami, seperti musyarakah, mudharabah ataupun murabahah.
Hal ini dikuatkan lagi oleh fatwa yang ditetapkan Dewan Syariah Nasional no. 34, bahwa L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad Wakalah  bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah dan Hawalah.
Dalam transaksi akad wakalah bil ujrah, bank hanya memperoleh pendapatan berupa fee saja atas jasa yang telah diberikan, yaitu untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor, karena disini importir memiliki dana sendiri. Besarnya ujrah disepakati diawal perjanjian secara pasti dalam bentuk nominal bukan prosentase untuk menghindari adanya riba. Demikian pula untuk transaksi L/C yang menggunakan akad Qardh (pinjaman)
Untuk transaksi akad murabahah, bank bertindak sebagai pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi, namun pengurusan dokumen serta pembayaran dilakukan oleh bank. Setelah barang diterima dan menjadi milik bank, maka bank menjual kembali barang tersebut kepada importir dengan pembayaran tunai atau cicilan. Dalam hal ini, untuk keuntungan bank maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang. Transaksi dengan akad salam/isthisna juga serupa prosesnya dengan akad murabahah, yaitu bank hanya sebagai perwakilan dari pihak importir.
Sedangkan untuk transaksi mudharabah juga demikian, dalam transaksi ini bank melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran kepada eksportir,  namun bank juga bertindak sebagai shohibul mal yang menyerahkan modal sebesar harga barang kepada importir. Selanjutnya bank memperoleh untung dari ujrah yang telah disepakati.
Dalam transaksi akad musyarakah, pihak bank dan importir sama-sama menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang. Setelah pengiriman barang terjadi dan pembayaran belum dilakukan, maka selanjutnya importir dapat memberikan ujrah atau merubah akad tersebut menjadi akad qardh. Dalam akad musyarakah ini, importir juga dapat memberikan ujrah kepada bank, kemudian hutang importir kepada eksportir dialihkan menjadi hutang bank dan bank membayarnya senilai barang yang diimpor.
Dari transaksi-transaksi diatas, bank syariah mengharapkan kemungkinan adanya bunga yang dapat diminimalisir dengan diarahkan pada transaksi yang sama-sama menguntungkan.  Hal ini terjadi karena transaksi dari akad-akad tersebut bersifat gamblang dan transparan dalam pelaksanaannya.
Beberapa kelemahan fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah pertama untuk akad-akad yang digunakan, bahwasanya akad musyarakah dengan alternatif no. 2 seharusnya tidak meggunakan akad hawalah tetapi akad Qardh. Merujuk pada definisi hawalah[1][15], maka penggunaan akad hawalah kurang tepat. Pada alternatif  ke 2 tersebut, importir mengalihkan hutangnya kepada bank untuk dibayarkan kepada eksportir. Padahal sebelumnya disebutkan (pada point a) bahwa importir tidak memiliki dana pada bank. Jadi secara logika, bagaimana bisa importir mengalihkan hutangnya kepada bank, sedangkan importir tidak mempunyai dana pada bank tersebut, kecuali jika dalam fatwa disebutkan dengan jelas akad hawalah model apa yang digunakan. Namun, jika pada alternatif ke 2 yang digunakan adalah akad Qardh (pinjaman), maka akan menjadi sesuai dengan ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, yang kedua dalam fatwa tersebut tidak dijelaskan secara komperehensif dan lengkap tentang adanya pembatalan L/C, seharusnya DSN mencantumkan tentang pembatalan. Ini untuk menghindari adanya asumsi bahwa DSN bekerja setengah-setengah dan hanya mementingkan dalil-dalil saja, yang ketiga jika ditelaah kembali, akan terlihat bahwa dari banyaknya akad yang ditawarkan sebenarnya hanya akad Wakalah bil Ujrah saja yang paling tepat dan dapat mewakili proses L/C, sedangkan untuk akad-akad yang lain kurang tepat jika dilaksanakan, karena tujuan dikeluarkannya L/C adalah untuk mempermudah proses jual beli secara cepat dan tepat, bukan tepat namun dengan proses yang berlarut-larut (misalnya, jika menggunakan akad Qordh),    yang  keempat terkait dengan point no.3 yaitu dengan adanya berbagai alternatif akad yang dijustifikasi oleh DSN, secara tidak langsung dapat membuka peluang untuk praktek bunga. Misalnya pada akad al-Qardh (pinjaman), selain bank mendapatkan fee dari pengurusan dokumen, bank juga mendapatkan hasil dari pinjaman. Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa pembayaran hutang dengan cicilan akan lebih berat jika dibandingkan dengan pembayaran secara lansung ( jika pada bank konvensional umumnya  akan dikenakan bunga pada setiap bulannya). Bagaimanapun juga bank syariah sebagai lembaga bisnis, mempunyai kemungkinan untuk memberlakukan bunga namun dalam konteks yang berbeda, dan yang kelima Himpunan Dewan Syariah tidak menyebutkan secara jelas praktek manakah dari L/C yang dikeluarkan oleh bank konvensional yang menyimpang atau tidak sesuai dengan aturan syariah.  
Secara keseluruhan, fatwa DSN No. 34 tentang L/C Impor Syariah ini untuk sementara waktu dapat dikatakan mampu menghandle permasalahan L/C, namun tidak menutup kemungkinan jika sewaktu-waktu fatwa ini berubah karena adanya permasalahan L/C yang lebih kompleks lagi.



Kesimpulan dan Penutup
1.      Seorang muslim boleh menunaikan ibadah haji dengan bantuan pembiayaan penalangan haji oleh LKS, dengan syarat ia memiliki kesanggupan untuk melunasinya dalam waktu yang telah disepakati (sebelum pemberangkatan haji).Pihak LKS diperbolehkan menyewakan jasanya (berupa peminjaman uang) kepada nasabah dan mengambil uang ganti sewa dengan syarat tidak didasarkan pada besarnya jumlah talangan yang diberikan.
2.      Tiga hal yang harus diperhatikan atas terbitnya syariah card: pertama lakukan penyusunan anggaran belanja sebelum memutuskan untuk menggunakan kartu kredit, yang kedua jangan gunakan kartu kredit untuk membeli atau belanja sesuatu yang tidak perlu, dan yang terakhir jangan sampai melakukan transaksi kartu kredit padahal tidak memiliki uang tunai yang tersimpan dalam saldo tabungan.
3.      Perdagangan internasional saat ini melibatkan jasa bank sebagai perantara, yaitu dengan dikeluarkannya L/C yang termasuk dalam pembiyaan bank. Adanya perantara bank yang hanya menguntungkan salah satu pihak saja dengan adanya sistem bunga telah dapat diaplikasikan dalam transaksi islami tanpa bunga berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Ketentuan tentang hal ini terdapat dalam fatwa Dewan Syariah Nasional No. 34 tentang L/C Impor Syariah. Dalam  fatwa DSN tersebut juga terdapat beberapa kelemahan, yang mana kelemahan tersebut hanya terdapat dalam masalah teknis saja yaitu hanya pada akad. Kelemahan-kelemahan tersebut  dapat dijadikan oleh himpunan dewan syariah  sebagai bahan pertimbangan untuk fatwa-fatwa selanjutnya, karena bukan tidak mungkin transaksi L/C akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Secara umum, Fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut untuk sementara waktu dapat menjadi solusi ‘netral’ dan menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam perdagangan dengan fasilitas L/C ini. Hal ini dapat menjadi salah satu nilai lebih bagi Lembaga Keuangan Syariah atau LKS. Dalam pelaksanaan fatwa ini, Dewan Syariah Nasional melakukan pengarahan dan pengawasan baik secara aktif maupun pasif sebagai bentuk keinginan kuat untuk benar-benar melaksanakan prinsip syariah.


Daftar Pustaka
1.      Muhammad. Manajemen Bank Syariah. Edisi Revisi, Februari 2005. Yogyakarta.
2.      Muhammad. Pengantar Akuntansi Syariah. Revisi, 2005. Jakarta.
3.      Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Cetakan 4, Mei 2006. Jakarta.
6.      http://www.mui.or.id












2 comments:

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...