ALLAHU GHAYATUNA, MUHAMMAD QUDWATUNA, AL QUR’AN DUSTURUNA, AL JIHAD SABILUNA, ALMAUTU FI SABILILLAH ASMA AMANINA

Saturday, December 10, 2011

Pegadaian Syariah


IMPLEMENTASI AKAD RAHN (GADAI SYARIAH)
DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


1.      PENGERTIAN AR-RAHN
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana – yarhanu - rahnan; bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un]. Secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga berarti al-habs (penahanan).[1] Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasar 1150, disebutkan bahwa :
      Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu ‘barang bergerak’, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut, dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan”

Gadai secara umum diartikan dengan kegiatan menjaminkan ‘barang berharga’ kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai[2].
Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. Berfirman :
     وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَة
Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah [2]: 283).

Aisyah ra. Menuturkan :
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ»
Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Anas ra. juga pernah menuturkan :
«وَلَقَدْ رَهَنَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْذَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا ِلأَهْلِهِ»
Sesungguhnya Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau. (HR al-Bukhari).
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi saw. melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi sedang mukim[3].
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)  No. 25/DSN-MUI/III/2002  yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002 oleh ketua dan sekretaris DSN tentang Rahn, menentukan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai barang jaminan hutang dalambentuk Rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
1.      Penerima gadai (Murtahin) mempunyai hak untuk menahan barang jaminan (Marhun bih) sampai semua utang  nasabah (Rahin) dilunasi.
2.      Barang jaminan (Marhun bih) dan manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (Rahin).
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai pada dasarnya menjadi kewajiban nasabah, namun dapat dilakukan juga oleh penerima gadai, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap  menjadi kewajiban nasabah.
4.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan barang gadai
5a. apabila jatuh tempo, pihak pegadaian harus memperingatkan nasabahnya untuk segera melunasi hutangnya
5.b. apabila nasabah tetap tidak melunasi hutangnya, maka barang gadai dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai dengan syariah
5.c. hasil penjulan barang gadai tersebut digunakan untuk melunasi hutangnya nasabah, yakni melunasi biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjulan
5.d. kelebihan hasil penjulan barag gadai tersebut menjadi milik nasabah dan kekuarangannya menjadi kewajiban nasbah pula
6.      Jika terjadi perselisihan antar kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Indonesia, setelah tercapai kesepakatan musyarakah.

2.      SYARAT DAN RUKUN AR-RAHN
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu: (1) shighat (ijab dan qabul), (2) al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin), dan (3) al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn tersebut sah[4].
3.      PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA RAHN DAN GADAI

Mencari persamaan dan perbedaan antara rahn dan gadai adalah sebagai berikut :
Persamaannya adalah :
1.      Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2.      Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3.      Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4.      Biaya barang yang digadaiikan ditanggung oleh pemberi gadai.
5.      Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan perbedaanya adalah :
1.      Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntung, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang ditetapkan.
  1. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata positif penjaminan dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat udara disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
3.      Di Indonesia penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan dibedakan menjadi gadai dan fidusia. Gadai, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang yang dijadikan jaminan tetap pada pemberi gadai (penggadai). Sedangkan fidusia, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang yang digadaikan, seperti diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan[5].

4.      APLIKASI AKAD RAHN DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis, yaitu  akad rahn dijadikan produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan kedua akad rahn sebagai produk utama, dalam bentuk gadai.
4.1. Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.
Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.
Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul saw. bersabda:
«لاَ يُغْلَقُ الرَّهُنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غَنَمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ»
Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini—yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan.
Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3 meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram.
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn[6].
4.2. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Perbedaan Pegadauan Syariah dengan Pegadaian Konvensional
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Variabel biaya pegadaian konvensional meliputi :
1.      Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.
2.      Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai berikut :
a.       Pinjaman kurang dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b.      Pinjaman lebih dari Rp 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar 1%.
Variabel biaya pegadaian syariah meliputi :
  1. Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai berikut :
Rp 20.000,- sampai dengan Rp 150.000,-                  = Rp   1.000,-
Rp 155.000,- sampai dengan Rp 500.000,-                = Rp   3.000,-
Rp 505.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-             = Rp   5.000,-
Rp 1.050.000,- sampai dengan Rp 10.000.000,-        = Rp 15.000,-
Rp 10.050.000,- dan seterusnya                                 = Rp 25.000,-
  1. Biaya jasa simpanan yang dihitung sebagai berikut :
Biaya Jasa Simpanan dihitung per 10 hari, dirumuskan dengan :
Nilai Barang    x Tarif
Rp 10.000,-

Tarif yang dikenakan adalah :
Emas                           = Rp 90,-
Barang Elektronik       = Rp 95,-
Motor                          = Rp 100,-

Jika kita bandingkan pembebanan variabel biaya-biaya tersebut, maka kita dapat perbedaan yang cukup signifikan. Misalnya barang jaminan berupa emas 22 karat seberat 60 gram dengan niai taksiran Rp 5.600.000,-. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

Pegadaian Syariah
Pegadaian konvensional
Besar Pinjaman
90% x Rp 5,6 juta = Rp 5,04 juta
89% x Rp 5,6 juta = Rp 4,98 juta
Biaya Administrasi
Rp 15.000,-
1% x Rp 4,98 juta = Rp 49.800,-


Biaya
Per 10 hari :
Rp 5,6 juta x 90 = Rp 10.000,-
Rp 10.000,-
Per 15 hari :
1,25% x Rp 4,98 juta = Rp 62.250,-
Biaya selama 4 bulan :
Rp 50.400,- x 12 = Rp 604.800,-
Biaya selama 4 bulan :
1,25% x 8 x Rp 4,98 juta = Rp 498.000,-
Total Biaya
Rp 619.800,-
Rp 547.800,-
Sumber : Gadai Syariah, Abdul Ghofur Ansori, hal. 120.

Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan pegadaian konvensional :

No.
Pegadaian Syariah
Pegadaian Konvensional
1.
Biaya Administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
Biaya Administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
2.
Jasa simpanan berdasarkan nilai taksiran.
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
3.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat.
4.
Uang pinjaman 90% dari nilai taksiran.
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran, Golongan B, C, dan D : 86% – 88% dari nilai taksiran.
5.
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta X taksiran.
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase X uang pinjaman.
6.
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
7.
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang).
8.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh pemilik barang, maka diserahkan kepada lembaga ZIS.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil oleh pemilik barang, maka menjadi milik pegadaian.

Operasional Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh pinjaman dari gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn, dengan waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari berbagai segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional. 
Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam operasionalnya menggunakan metode Fee Based Income. Sesuai dengan konsep rahn, pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah, yaitu :
a.       Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman (qardh) yang diterimanya. Pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagaian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian syariah menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b.      Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
a.       Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b.      Marhun Bih (Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
c.       Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
d.      Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e.       Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanaan, dan biaya pengelolaan dan administrasi

5.      PRODUK PERBANKAN SYARIAH: GADAI EMAS SYARIAH

Gadai emas syariah adalah penggadaian atau penyerahan hak penguasa secara fisik atas harta/barang berharga (berupa emas) dari nasabah (arraahin) kepada bank (al-Murtahin) untuk dikelola dengan prinsip ar-Rahnu yaitu sebagai jaminan (al-Marhun) atas peminjam/utang (al-Murhumbih) yang diberikan kepada nasabah/peminjaman tersebut.
Ar-Rahnu merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada anak sebagai jaminan sebagian atau seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Transaksi tersebut diatas merupakan kombinasi/penggabungan dari beberapa transaksi atau akad yang merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan meliputi:
a)      pemberian pinjaman dengan menggunakan transaksi/akad Qardh.
b)      Penitipan barang jaminan berdasarkan transaksi/akad rahn.
c)      Penetapan sewa tempat khasanah (tempat penyimpanan barang) atas penitipan tersebut melalui transaksi/akad ijarah.
  
Syarat Gadai :
a)      Para pihak yang terlibat harus cakap bertindak hukum (mukallaf) berdasarkan lafal ijab dan kabul (sigah) yang jelas,
b)      Harta yang dijadikan agunan (al-Marhun) mempunyai nilai jual yang baik sehingga dapat mencukupi untuk pelunasan kembali pinjaman/utang milik sah nasabah (arrahin) atau tidak terkait dengan orang lain, dapat dimanfaatkan jelas dan tertentu (bukan barang haram, sesuai kriterian syariah, utuh tidak tersebar di beberapa tempat) serta dapat diserhakan baik materialnya (fisik) maupun manfaatnya,
c)      Utang (al-Marhunbih) merupakan hak yang wajib dikembangkan kepada bank (al-Murtahin) yang jelas dan tertentu (baik jumlah maupun rencana pengembaliannya.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
            Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fugaha dan Ahmad. Jumhur fugaha berpendapat bahwa mrtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengijinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga jika dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda: ”Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”
            Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, bahwa jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya: Rasul bersabda: ”Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
            Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan, bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

Risiko Kerusakan Marhun
            Bila marhun hilang di bawah pengawasan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian mutahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, maka bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
            Menurut hanafi, bahwa murtahin yang memegang marhun menanggung risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak.
            Perbedaan duan pendapat tersebut ialah menurut Hanafi bahwa murtahin harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya, baik marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi’iyah bahwa murtahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.

Penyelesaian Gadai
            Untuk menjaga agar tidak pihak yang dirugikan, maka dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai diucapkan; ”apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentuakan, maka marhun menjadi miliki murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan bahwa pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin; sebaliknya ada kemungkinan juga bahwa harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
            Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadi itu sah tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri  atau yang lain tetapi harga yang umunya berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut, hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada marhun, Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, marhun masih menanggung pembayaran kekurangnnya.
Riba dan Gadai
            Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. Bila rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu tang telah ditentukan, kemudian rahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan gharga marhun kep[ada rahin mada di sini juga telah berlaku riba.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Agustianto. Modul Kuliah Fiqh Mumalat. Program Magister Bisnis dan Keuangan Islam Semester 2. Universitas Paramadia Jakarta.
2.      Abdul Ghofur Ansori. Gadai Syariah di Indonesia : Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Gadjah Mada University Press. 2006.
3.      Suhendi, Hendi, Drs. M.Msi. Fiqh Muamalah. Rajawali Press. 2002.
4.      Karim, Adiwarman. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan. Rajawali Press. 2006.
5.      Tulisan Yahya Abdurrahman dan Hafidz Abdurrahman, Rahn (Agunan) dalam Perspektif Hukum Islam. www.alwafi’@hizbuttahririndonesia.com
6.      Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)  No. 25/DSN-MUI/III/2002  yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002.




  





[1] Lihat: Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’, IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar al-Ma’rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398.
[2] Lihat Modul Kuliah Fiqh Muamalat , Sub Bab Gadai Syariah, M. Agustianto.
[3] QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ( Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.

[4] Fiqh Muamalah. Drs. Hendi Suhendi, hal. 107.
[5] Gadai Syariah di Indonesia : Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Abdul Ghofur Ansori. Hal. 102.
[6] Tulisan Yahya Abdurrahman dan Hafidz Abdurrahman, Rahn (Agunan) dalam Perspektif Hukum Islam.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...