Pengertian Kepemilikan
Kepemilikan (al-milk) berasal dari bahasa
Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Al-milk
merupakan bentuk masdar yang berarti
kepemilikan atau penguasaan
terhadap sesuatu harta. Kepemilikan atau al-milk biasa juga disebut
dengan hak milik atau milik saja. Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk)
sebagai ”kekhususan seseorang
terhadap harta yang diakui syari’ah,
sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta tersebut,
baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”. Seseorang yang memiliki
mobil dapat memanfaatkan mobil tersebut dan dapat pula menjual, menyewakan atau
meminjamkannya. Menjual, menyewakan atau meinjamkan disebut sebagai aktivitas tasharruf.
Jika seseorang dapat memanfaatkan dan mentasharufkan
suatu harta, disebut sebagai al-milk al-tam (milik sempurna), sedangkan
apabila seseorang hanya bisa memanfaatkan, tetapi tidak bisa menjualnya disebut
hak al-milik an-naqish (milik tak sempurna), seperti orang yang menyewa
sebuah mobil atau rumah. Demikian pula pemilik sebuah rumah yang menyewakan
rumahnya kepada orang lain, dia memang memiliki (menguasai) rumah tersebut,
tetapi dia tidak bisa memanfaatkan dan tidak bisa menjualnya saat itu. Hak
milik yang melekat pada pemilik rumah dalam kasus ijarah ini disebut hak
milik naqish.
Hak Milik terhadap suatu barang menimbulkan
konsekuensi hukum bagi pemiliknya, yaitu pemiliknya memiliki kekuasaan terhadap
barang tersebut untuk mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang
lain yang dapat menghalanginya. Misalnya Usman memiliki sepeda motor. Ini
berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Usman. Dia bebas
untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya
dalam menikmati sepeda motornya.
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف
ابتداء الا لمانع شرعي
Hak milik ialah
suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta
tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan
syar’iy.
Muhammad Abu
Zahro mendefinisikannya sebagai berikut[2] :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من
التصرف فيه ابتداء
Hak milik ialah
suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta
tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali
ada halangan syar’iy.
Mustafa Ahmad Syalabi dalam buku Al-Madkhal fi
al-Ta’rif bi al-Fiqh al-Islamy wa Qawa’id al-Milkiyyah wal ’Uqud fihi[3], memberikan definisi yang sama dengan
dengan kedua ulama di atas. Demikian pula Mustafa Ahmad Zarqa dalam buku Al-Madkhal
al-Fiqh al’Am[4], menggunakan rumusan definisi yang secara
substansi sama persis dengan para ulama lain.
Dari berbagai definisi ulama tentang definisi
al-milk di atas walaupun dengan redaksi (ungkapan) yang sedikit berbeda tetapi memiliki inti pengertian yang sama,
yaitu hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang/harta) di mana orang
lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk
memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami
bahwa dengan adanya kepemilikan (al-milk)
tersebut, pemilik harta bebas untuk melakukan tasharruf atau bertindak
hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, waqaf, menyewakan dan
meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syari’ah.
Halangan syariah antara lain seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau
masih terlalu kecil sehingga belum bisa melakukan kontrak atau paham
memanfaatkan barang. Termasuk halangan syariah ialah orang yang pailit,
sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat melakukan tasharruf
(tindakan hukum) terhadap miliknya sendiri
Secara operasional, definisi hak milik di atas
dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu
barang atau harta melalui cara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka
terjadilah hak milik pada orang tersebut sehingga tercipta suatu hubungan
khusus (ikhtishash) antara barang tersebut dengan orang yang
memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang
(harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya
sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'ah
tadi.
Dampak hukum syara’ dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang
lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya
untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan izin, baik secara lisan
ataupun tertulis (surat kuasa), atau apa saja yang serupa dengan itu seperti
via email atau melalui SMS.
Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik
boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras
atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan (menggunakan) dan mentasharrufkan
barang-barang "miliknya", mereka terhalang oleh hambatan syara' yang
timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Cara transaksinya (tasharrufnya)
dilakukan oleh walinya, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa
untuk mewakili).
3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah enam
macam yaitu:
(1) Ihraz al-Mubahat,
Ihraz al-mubahat ialah cara kepemilikan melalui penguasaan harta
yang mubahat (dibolehkan) yang belum dimiliki seseorang atau Badan
Hukum. Yang dimaksud dengan
harta yang diperbolehkan di sini adalah
barang-barang, kekayaan atau asset yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak
ada larangan syara' untuk dimiliki, seperti mengambil
kayu di hutan belantara yang belum dimiliki seseorang, mengambil ikan di tengah
lautan, mengambil air dari sumbernya, rumput dari padangnya, menghidupkan
tanah yang mati yang belum dimiliki orang lain, berburu hewan di hutan, dan
sebagainya. Dalam ihraz al-mubahat terdapat pengertian bahwa penguasaan
seseorang terhadap harta mubahat, merupakan milik awal tanpa didahului oleh
milik sebebelumnya. Halini berbeda
dengan kepemilikan karena jual beli, sebagaimana yang akan dijelaskan
nanti. Jadi dalam ihraz al-mubahat seseorang menjadi memiliki suatu harta tanpa
memberikan harta miliknya sebagai imbalan (tukaran) dengan harta yang lain yang
ingin dimilkinya.
(2) Melalui transaksi (kontrak / akad),
Hak milik juga dapat diperleh
melalui akad, seperti jual beli, hibah, hadiah, waqf, sedeqah. Hak milik bisa
diperoleh dengan melakukan transaksi jual beli. Perbedaan transaksi jual beli
dengan ihraz al-mubahat ialah dalam transaski seseorang telah memiliki terlebih dahulu
suatu harta, baru kemudian ia pergunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta
lain yang ingin ia miliki. Dalam jual
beli misalnya, seseorang terlebih dahulu memiliki uang atau barang, kemudian ia
membeli sebuah kenderaan, maka kenderaan itu menjadi hak milikinya, karena
adanya pertukaran (jual beli). Kepemilikan yang melekat pada hak orang tersebut
disebabkan karena adanya jual beli. Seseorang juga menjadi pemilik suatu harta,
jika ada orang lain memberikan hibah atau hadiah kepadanya atau juga mewaqafkan
kepadanya secara khusus.
(3) Melalui khalafiyah (penggantian)
Khalafiyah memiliki dua bentuk,
pertama, warisan, dan kedua, kafalah (tadhmin). Seseorang bisa menjadi pemilik
suatu harta berdasarkan warisan yang diterimanya dari keluarga (muwarrisnya) yang meninggal. Ahli
waris menggantikan posisi kepemilikan orang yang diwarisinya, misalnya ayahnya
atau ibunya dan sebagainya. Karena itu, para ulama menyebut sebab kepemilikian
ini dengan khlafiyah, karena adanya unsur penggantian padanya. Selain warisan,
khalafiyah juga mencakup kafalah (penjaminan) dan ta’widh (ganti rugi). Dalam
kafalah atau tadhmin terjadi penggantian posisi kepemlipkan dari p[emilik yang
lama kepada pemilik yang baru. Misalnya, Seseorang mengkafalah untuk membayar
hutang si A kepada si B. Ketika Seseorang itu telah membayar (karena kafalah),
baka bayaran sejumlah harta itu menjadi milik si B. Dengan demikian Si B
menjadi pemilik harta tersebut. Pemilik yang baru tersebut secara syariah
diakui untuk memiliki karta karena adanya kafalah. Demikian pula pada kasusu
ta’qwidh di mana dimisalkan seseorang (Si A) menganiaya orang lain misalkan si
B , maka si A harus membayar ganti rugi kepada si B. Dengan adanya ganti rugi
tersebut, maka si B menjadi pemilik harta karena adanya ta’widh. Kafalah dan ta’qwifh
merupakan khalafiyah, karena terjadi peraklhian (penggantian) hak milik dari
pemilik pertama kepada pemilik baru. Peralihan kempelimikan ini bukan karena
jual beli, sehingga membedakannnya dengan akad (transaksi) pada nomor dua di
atas.
4. Tawallud
Min Mamluk (Sesuatru yang lahir/muncul
dari harta yang dimiliki)
Maksudnya ialah suatu harta yang berasal dari suatu harta
yang telah dimiliki, separti anak kambing yang lahir dari seekor kambing yang
telah dimiliki, buah dari kebun yang dimiliki, bagi hasil dari tabungan
investasi. Hasil dari saham di perusahaan.
5,
Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat
6.
Harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
apapun
–Hubungan
pribadi (hibah atau hadiah)
–Tebusan
(diyat) dari qishash kepada ahli waris yang memaafkan si pembunuh
–Mendapatkan
mahar melalui akad nikah
–Luqathah
(barang temuan)
–Santunan
yang diberikan kepada khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya
(melaksanakan tugas pemerintahan).
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a)
Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu
barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena
ucapan seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua
persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan
tersebut sah secara syar'i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke
tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum
saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih
dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau
tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda
Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat
macam yaitu :
a) kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b) kepemilikan karena berburu atau memancing
c) rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan
belantara yang tidak ada pemiliknya.
d) kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha
terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak
kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah
kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut
madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya
atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas
tanah.
2. Jenis-jenis Kepemilikan
Kemilikan absolut (mutlak dan kepemilikan
relatif (nisbi)
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep
Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada
sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat
dan bukan mutlak atau absolut. Pemilik mutlak atau absolut hanya Allah. Sesuai
firman Allah Swt.
Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan
bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang
sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala
sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya
dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada
hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan"
atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah
SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh
setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus
yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi
kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya
sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada
aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap
umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan
untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Milik Tam dan Milik Naqish
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan
menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis).
Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam
kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan
susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya.
Kepemilikan sempurna adalah
kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan
Milk naqish (kepemilikan tak sempurna)
adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja.
Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang
berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa,
pinjam-meminjam dan lain-lain. Kutipan ini bersumber: Tazkiaonline. Oleh :
Ikhwan Abidin Basri, MA
KONSEP DASAR BERUSAHA
A. BERUSAHA HANYA UNTUK MENGAMBIL YANG HALAL DAN BAIK
Pertama-tama, Islam mengajarkan agar dalam berusaha hanya mengambil yang
halal dan baik (thoyib) karena dalam Allah SWT telah memerintahkan kepada
seluruh manusia –jadi bukan hanya untuk orang yang beriman dan muslim saja-
untuk hanya mengambil segala sesuatu yang halal dan baik (thoyib). Dan untuk
tidak mengikuti langkah-langkah syaitan –dengan mengambil yang tidak halal dan
tidak baik.
”Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (al-Baqarah:
168)
Oleh karena itu dalam berusaha, Islam mengharuskan manusia untuk hanya
mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari
cara perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau
penggunaannya. Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini.
Padahal bagi umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda
Rasulullaah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan
diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari
perkara syubhat, ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan
kehormatannya. Dan orang yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti terjerumus
ke dalam perkara haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat
terlarang, maka kemungkinan besar gembalaannya akan masuk ke tempat terlarang
tadi. Ingat! Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia
baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh
tubuh, tidak lain ia adalah hati” (HR. Muslim)
Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih diragukan
maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri, bila
hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya
segala sesuatu yang tidak halal –termasuk yang syubhat – tidak boleh menjadi
obyek usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.
B. HALAL CARA PEROLEHAN : MELALUI PERNIAGAAN YANG BERLAKU SECARA RIDHO SAMA
RIDHO.
Allah SWT telah memerintahkan kepada orang yang beriman agar hanya
memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya dengan jalan perniagaan (baik
perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. )
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
secara ridho sama ridho di antara kamu”. ( An Nisaa ayat 29) Jalan perniagaan
itu sendiri mungkin sudah cukup jelas, namun untuk lebih menjelaskan kaidah
‘berlaku secara ridho sama ridho –bukan sekedar suka sama suka- dapat dikaji
hadits berikut ini:
Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani Adiy Al Anshariy untuk
memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma yang
paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah semua kurma
Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Nabi Utusan
Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar (sebagai
bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu, tetapi
tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu belilah
kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.( HR. Ahmad)
Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga
dalam setiap perniagaan harus secara adil yaitu melalui penilaian (valuasi)
oleh masyarakat atau melalui mekanisme pasar. Tentunya selama pasar berjalan
dengan wajar sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai.
Dan untuk memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan
prasarana alat tukar nilai yang disebut sebagai uang.
Salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa “Uang bagaikan
cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna.”
Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek (perniagaan)
melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan bagaikan cermin
yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek (perniagaan) secara
jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari
logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu dan berat) yang
tertentu. Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak (perlu) menerbitkan uang
sendiri selama uang itu mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang
terkait. Dan sebagai alat tukar nilai, uang diperlukan untuk memperlancar
perniagaan, artinya peran uang sejalan dengan pemakaian uang itu dalam
perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai dalam perniagaan maka
masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami hambatan.
C. HALAL CARA PEROLEHAN : BERLAKU ADIL DAN MENGHINDARI KERAGUAN
Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil
tanpa memandang bulu –termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang
yang adil akan lebih dekat dengan takwa.
“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” ( Al Ma’idah :
8 )
Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan dimana
berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan. Dalam perniagaan,
persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu dan ukuran
(takaran maupun timbangan). “..Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil..” ( Al Anam : 152) “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan
neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”
( Ar Rahman : 7,8,9 )
Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu berlaku tidak adil akan
membuat seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan,
Islam melarang untuk menipu –bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat
menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Kondisi ini dapat
terjadi karena adanya gangguan pada mekanisme pasar atau karena adanya
informasi penting mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak
(tadlis). Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran,
misalnya akibat adanya penimbunan (ikhtikar) atau akibat penyalahgunaan posisi
penawaran –misalnya dalam kondisi monopoli. Atau dapat berupa gangguan dalam
permintaan, misalnya dengan menciptakan permintaan palsu (najasy) seolah-olah
adanya peningkatan permintaan sehingga mendorong kenaikan harga.
Informasi yang tersamar atau tidak lengkap adalah berbeda dengan ketidak
adaan informasi. Karena pada informasi yang tersamar atau tidak lengkap,
seseorang dapat dengan mudah tertipu. Sedangkan dalam hal ketidak adaan
informasi, maka bila pihak tersebut ingin tetap melaksanakan transaksi maka hal
tersebut tergolong tindakan spekulasi. Contoh yang diajarkan Rasulullah SAW
adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala sesuatu yang
berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang menipu. Wahai
manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu tertipu
kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena)
seorang penipu (al gharuur). ( Q.S. Al Faatir : 5) “Janganlah kalian membeli
ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah gharar”. (HR Ahmad) Dan
dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya semua ikatan yang telah
disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus dilaksanakan secara
ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.
“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (. Al Ma’idah : 1) “Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu..” ( Q.S. An Nahl: 91)
D. HALAL CARA PENGGUNAAN : SALING TOLONG MENOLONG DAN MENGHINDARI RESIKO
YANG BERLEBIHAN.
Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi,
atas nama Allah SWT, manusia diwajibkan untuk memanfaatkan sumber daya (alam,
harta, dsb) yang telah dititipkan Allah kepadanya untuk sebesar-besar
kemaslahatan manusia. Untuk itu manusia harus bekerjasama, saling tolong
menolong karena manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan.
Dimana sebagian diantaranya diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain,
dengan tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih
baik.
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (/Q.S. Az
Zukhruf :32)
Dan atas sumber daya (alam, harta, dsb) yang dititipkan oleh Allah SWT
kepadanya, manusia dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi kemampuan yang
wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut mempunyai
probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilita untuk membawa
kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka tindakan
usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan
sehingga harus dihindari.
Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa keduanya lebih besar dari manfaat
keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (keluarkan),
maka katakanlah yang lebih dari keperluan, demikianlah Allah menerangkan
kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir. (Q.S. Al Baqarah:219) br>
Pengambilan resiko yang melebihi kemampuan untuk menanggulangi adalah tidak
sama dengan menghadapi ketidak pastian. Karena pada dasarnya tidak ada seorang
manusiapun yang dapat dengan pasti mengetahui apa yang akan terjadi, sehingga
semua aspek kehidupan di dunia ini pada dasarnya adalah ketidak pastian bagi
manusia. Namun kemampuan yang dikembangkan manusia dapat membantu manusia dalam
menghadapi ketidak pastian tersebut dengan memperkirakan kemungkinan terjadinya
hal-hal yang merugikan, tentunya dalam batas-batas kemampuan manusia. Sehingga
secara umum dapat dikatakan manusia dapat berusaha untuk menghindari
pengambilan resiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk menanggulanginya.
Oleh : Iwan P. Pontjowinoto
[1]
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.37
[2]
Muhammad Abu Zahroh, Al-Milkiyyah wa Nazhariyatul al’Aqd fi al-Syari’ah
al-Islamiyyah, Mesir dar al-Fikri al-‘Araby, 1962, hlm. 15.
[3] Mustafa Ahmad Syalabi, Al-Madkhal fi
al-Ta’rif bi al-Fiqh al-Islamy wa Qawa’id al-Milkiyyah wal ’Uqud fih,Darul
Ta’rif, Mesir, 1960, Jilid II, hlm. 16.
[4] Mustafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al’Am, Beirut,
Darul Fikri, Jilid I, 1968, hlm. 240
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...