KAFALAH DAN APLIKASINYA
DI LEMBAGA KEUANGAN ISLAM
PENDAHULUAN
Salah satu
produk perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk dengan
akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap nasabah
akan memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah) dari nasabah atas jasa yang
diberikan bank tersebut.
Bab ini akan memaparkan konsep kafalah
yang dimulai dari apa yang dimaksud dengan kafalah itu sendiri, bagaimana
rukun-rukunnya, bagaimana syarat-syaratnya, bagaimana akad-akadnya, apa
manfaatnya dan juga bagaimana dengan aplikasinya pada dunia perbankan dewasa
ini.
PENGERTIAN
Menurut
asal katanya (etimologi):
Secara etimologi berarti penjaminan.
Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan
za’amah. Menurut Al-Mawardi, ulama madzhab Syafi’i, semua istilah tersebut
memiliki arti yang sama, yaitu penjaminan. Namun, masing-masing memiliki
kekhasan tersendiri yaitu:
- Dhamin adalah umumnya digunakan untuk penjaminan
harta.
- Hamil adalah penjaminan dalam masalah diyat
(denda pembunuhan)
- Za’im adalah penjaminan dalam masalah harta yang
sangat besar
- Qabil adalah orang yang menerima(dipergunakan
untuk semua urusan tersebut)
Menurut
madzhab Hanafi dan Hanbali, kafalah berarti: Ad-Dham ‘menggabungkan’.
Menurut madzhab Syafi’i: kafalah
berarti Iltizam ‘komit’.
Menurut istilah (terminologi):
Menurut istilah kafalah berarti
akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak
lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran
suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).
Istilah kafalah dalam praktek perbankan
sekarang ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful
‘anhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara
teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada
nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati
antara nasabah dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan
memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu
dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.[1]
Menurut Syafi’i Antonio (1999),
kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Sedangkan menurut Bank
Indonesia (1999), kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu
pihak kepada pihak lain dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas
pembayaran kembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan.[2]
Menurut madzhab Hanafi, kafalah
berarti memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain
dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut
bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah
nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung
jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak
gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut
bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran
utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Perlu diperhatikan
bahwa dengan ikut berutangnya pihak penjamin, sedangkan kewajiban terutang
tidak gugur, tidak berarti nilai utang bertambah, dan pihak berpiutang
diuntungkan. Tidak demikian, karena ia hanya berhak menagih sesuai jumlah
utang, dari salah seorang diantara mereka.
Perlu juga diingat bahwa boleh saja
suatu utang ditanggung oleh lebih dari seorang, karena demikianlah ketentuan
syara’. Sebaliknya, tidaklah boleh sesuatu menjadi jaminan/nilai tukar dalam
dua transaksi atau lebih pada waktu yang bersamaan.
Ulama yang berpendapat ikut berutangnya
pihak penjamin berdalil (berargumentasi) dengan hal berikut:
§
Diperbolehkannya pihak yang berpiutang menghibahkan
piutangnya kepada penjamin, sedang hibah piutang tidak sah kecuali langsung
kepada terutang.
§
Diperbolehkan juga bagi yang berpiutang untuk
membeli sesuatu dari penjamin dan menjadikan piutangnya sebagai nilai tukar,
sementara jual-beli seperti ini tidak sah kecuali kalau si penjual adalah pihak
terutang itu sendiri.
Sedang ulama madzhab Hanafi (penjamin
tidak ikut berutang) berdalil sebagai berikut:
§
Meskipun syara’ membolehkan utang ditanggung
oleh dua orang atau lebih, tetapi baru bisa dikatakan utang apabila berlaku hak
tagih secara pasti. Sedangkan penjamin (kafil) pada asalnya bukan untuk
ditagih, hanya menjamin bahwa terutang akan melunasi utangnya pada saat jatuh
tempo.
§
Adapun sahnya hibah dan jual-beli tersebut
adalah suatu pengecualian agar pemilik bisa lebih leluasa mempergunakan haknya
secara sah.
§
Kafalah juga berlaku untuk jiwa, al-kafalah
bi al-nafsi. Dalam hal ini tidak bisa diberlakukan istilah utang. Kafalah
bi al-nafsi: menjadikan diri sebagai jaminan kehadiran terdakwa dalam suatu
perkara. Juga berlaku untuk kafalah benda selain uang.
Definisi
yang dikaitkan dengan kalimat “dalam hal suatu tuntutan umum” mencakup kafalah
bi al-nafsi dan benda selain uang (al-kafalah bi al-‘ain). Defini ini lebih
luas dari apa yang disebutkan oleh madzhab-madzhab lainnya yang hanya
membatasinya pada masalah uang utang piutang, dan untuk 2 masalah lainnya
mereka sepakat menyebutnya kafalah bi al-mutholabah, jaminan terpenuhinya
tuntutan/hak menuntut.
Penjelasan madzhab Hanafi tentang
definisi ini bisa diterima, dalam hal ini, bahwa definisi yang mereka tetapkan
lebih umum dari apa yang disepakati madzhab-madzhab lain. Akan tetapi pada
prakteknya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abidin, ulama-ulama fiqih
sepakat bahwa penjamin (kafil) manjadi berutang, karena utang boleh ditanggung
oleh dua orang, sebagaimana telah diterangkan. Jika dikatakan bahwa jaminan
(kafalah) tersebut hanya jaminan berlakunya hak menuntut tanpa memposisikan si
penjamin sebagai terutang, maka hal itu kurang tepat, karena andaikata kafil
(penjamin) meninggal dan utang belum dibayarkan, maka harus dikeluarkan dari
warisannya, sebagimana halnya utang, sedangkan tuntutan selain utang gugur
dengan meninggalnya pihak tertuntut.
Hal lain yang mnguatkan pendapat mereka
adalah bolehnya seseorang menjamin orang lain yang menjamin terutang dengan
uang yang dimiliki oleh penjamin pertama (yang menjamin terutang).
Efek yang ditimbulkan oleh perbedaan
pendapat ini adalah, jika seorang kafil (penjamin) bersumpah bahwa ia tidak
mempunyai utang, maka menurut madzhab Hanafi ia tidak berbohong, sedangkan
menurut madzhab Maliki, syafi’i dan Hambali ia telah bersumpah palsu.[3]
LANDASAN
HUKUM SYARIAH
Dasar hukum
kafalah dapat sipelajari dari Al-Qur’an, Al-Hadist dan Ijma. Dalam Al-Qur’an
terdapat pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu Al-Qur’an Surat Yusuf :
72 yang artinya:
“Penyeru-penyeru itu berseru,”Kami kehilangan
piala Raja, barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan
(seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S. Yusuf : 72).
Kata za’im
yang artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalah gharim, orang
yang bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata za’iim
berarti sama dengan kata kafiil.
Dalam Al-Qur-an Surat Al-Maidah (5) : 2
Allah berfirman yang artinya:
“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan
pelanggaran.”(QS. Al-Mai’dah : 2).
Memberikan
jaminan kepada orang lain merupakan perwujudan tolong menolong.
Landasan syariah dalam jaminan kafalah
pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah sebagai berikut:
“Telah
dihadapkan kepada Rasulullah saw… (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan).
Rasulullah saw bertanya,”Apakah ia mempunyai warisan?” Para sahabat
menjawab,”Tidak.” Rasulullah bertanya lagi,”Apakah ia mempunyai hutang?”
Sahabat menjawab,”Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para
sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu Abu Qatadah
berkata, “Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun
menshalatkan mayat tersebut. (H.R. Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah).
Zaa’iim Gaarimun, artinya: “orang yang
menjamin berarti dia adalah berutang (sebab jaminannya tersebut)” (HR. Abu Daud,
Turmudzi dan memposisikannya sebagai hadits hasan. Dan Ibnu Hibban
menjadikannya hadits shahih).[4]
Juga dalam sabda Rasulullah SAW sebagai
berikut:
“Allah menolong hamba selama hamba
tersebut menolong saudaranya.”
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat
dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat.
Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang
berutang.[5]
Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu diketahui,
kafalah yang dilakukan dengan niat yang
ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.
RUKUN
KAFALAH
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad,
rukun Kafalah adalah : ijab dari penjamin dan qabul
dari pihak berpiutang.[6]
Manurut Abu Yusuf dan ulama fiqih pada umumnya: hanya ijab dari penjamin.
Dengan demikian sahlah akad kafalah, meski tanpa persetujuan pihak yang
berpiutang karena dalam hadits Abu Qatadah tidak meminta persetujuan pihak yang
berpiutang terlebih dahulu, dan tidak juga diterangkan bahwa ia (yang berpiutang)
menyetujuinya. Alasan lain adalah, kafalah menurut akar bahasa berarti
menggabungkan. Menurut istilah adalah menjamin berlakunya hak
menuntut/tuntutan, dan secara logika kedua hal tersebut tidak membutuhkan
persetujuan yang berpiutang.
Rukun
Kafalah menurut sebagian besar ulama adalah:[7]
1.
Penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang tidak
cacat muamalahnya secara hukum, maka anak-anak dan orang idiot tidak sah.
2.
Barang yang dijamin/utang (madhum), yaitu sesuatu yang
boleh diganti dengan sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain
uang yang merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam
qishash dan hudud.
3.
Pihak yang dijamin (makful ‘anhu/madhum ‘anhu), yaitu
orang yang dituntut/yang berutang baik hidup atau sudah mati.
4.
Sighah akad, yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul
dari akad transaksi.
Menurut
madzhab Syafi’i ada lima, yang kelima adalah pemilik utang (makful
lahu/madhmun lahu), yaitu orang yang berpiutang atau orang yang berhak
menerima pembayaran utang.
AKAD
KAFALAH
Menurut
madzhab Hanafi dan Syafi’i: akad tersebut bisa jadi sharih/terang-terangan,
kinayah (sindiran). Dengan kata lain semua lafadz yang menurut kebisaaan
mengandung makna perjanjian kafalah.
§ Akad
Sharih artinya terang-terangan, menggunakan kata “jamin” atau
sinonimnya. Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung utangnya,
utangnya saya jamin, utangnya saya tanggung, kalau ia tidak mampu saya yang
membayarnya.
§ Akad
Kinayah artinya tidak menggunakan kata “jamin” atau semisalnya, tetapi
bisa dipahami dari kata-katanya, ia sebagai penjamin. Seperti, biarkan dia,
jangan lagi usik dia dengan utang itu, tagihlah saya, percayalah pada saya,
jika niatnya menjamin, maka harus ia tepati, jika tidak maka batal.
Jika ia berkata,”hak fulan ada
pada saya”, ini bis dipahami sebagai titipan (wadi’ah), bisa juga
sebagai kewajiban (utang), kecuali ia menambahkan kata-kata yang menguatkan
salah satunya.
SYARAT-SYARAT KAFALAH
Dalam
kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil (penjamin), Ashil/Makful
‘anhu (yang berutang), Makful Lahu (yang memberikan
utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).
A Syarat-Syarat
Penjamin (Kafiil).
FATWA DSN (Dewan
Syariah Nasional)
1. Kemampuan
akal dan dewasa (baligh)
2. Berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
FIQH KLASIK
1. Kafil
diminta makful ‘anhu dan ia meridjoi permintaan tersebut
2. Ketika
menjamin utang makful ‘anhu, si kafil menyatakan jaminan itu atas nama makful
‘anhu
3. Kafil
tidak mempunyai utang kepada makful ‘anhu
4. Kafil
mampu melunasi (membayar) kewajiban utang tersebut
5. Tanggung
jawab kafil tetap eksis, selama makful ;anhu memiliki utang kepada makful lahu.
Jika makful ‘anhu sudah terbebas dari utang, barulah kafil bebas tanggung jawab
6. Kafil
boleh dari satu
7. Jika
dalam kafalah bil mal (jaminan berupa harta(, lalu makful ‘anhu meninggal, maka
kafil bertanggung jawab
B Syarat-syarat
Orang yang Terutang (Makful ‘Anhu/Ashiil)[8]
Ada dua syarat
bagi Makful ‘Anhu (Ashiil):
1. Sanggup
untuk menyerahkan tanggungannya (utang), adakalanya dengan dirinya atau
penggantinya. Dan syarat ini khusus menurut Abu Hanifah, maka tidak sah kafalah
utang dari mayat yang bangkrut dan tidak meninggalkan sesuatu untuk melunasi
utangnya, karena dia adalah utang yang gugur, maka tidak sah menjaminnya,
seperti jatuhnya tanggungan dengan kebebasan dan karena tanggungan mayit hilang
karena mati.
Menurut dua
sahabat Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad as Syaibani, dan jumhur
fuqaha:[9]
sah menjamin ytang dari mayat yang bangkrut dengan dalil hadits Abi Qatadah
yang telah disebutkan sebeblumnya. Dan Nabi SAW sangat mendorong
sahabat-sahabatnya untuk menjamin utang si mayit, di hadits Abi Qatadah dengan
sabdanya,”tidak adakah salah seorang diantara kamu yang bisa menjaminnya?”, dan
karena utang si mayit adalah utang yang tetap ada, maka sah menjaminnya seperti
kalau dia mundur melunasi utangnya karena tidak sanggup. Dan dalil atas adanya
utang-utang ini sesungguhnya kalau tabarru’ seseorang dalam melunasinya maka
boleh bagi pemilik utang menerimanya. Begitu juga kalau dijaminnya ketika masih
hidup, kemudian mati, tidaklah lepas tanggungan penjamin, dari apa yang
menunjukkan bahwa dia tidak lepas dari tanggungan orang yang dijaminnya.
2. Yang
terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin. Maka apabila penjamin
berkata,”saya menjamin salah seorang dari manusia”, tidak sah kafalahnya,
karena manusia tidak mengenalnya, dan pensyaratan syarat ini adalah untuk
mengenal yang berutang (makful ‘anhu).
Apakah ia dalam
kelapangan atau termasuk orang-orang yang bersegera mengqadha utangnya, atau
berhak membuat pengakuan atau tidak. Dan tidak disyaratkan hadirnya orang yang
berutang, maka boleh kafalah terhadap orang yang tidak hadir atau orang yang
masih dalam tahanan, karena dalam keadaan seperti ini sangat dibutuhkan adanya
kafalah.[10]
Menurut madzhab
Syafi’i: tidak disyaratkan untuk mengetahui orang yang akan dijamin diqiyaskan
dengan ridhanya, yang mana ridhanya juga tidak merupakan syarat dalam kafalah.
Karena mengerjakan pekerjaan yang terpuji merupakan suatu kebajikan, baik
pekerjaan itu untuk orang yang berhak (pantas menerimanya) atau tidak.[11]
C Syarat-syarat
Orang yang Berpiutang (Makful Lahu)[12]
1. Diketahui
identitas dirinya, tidak boleh memberikan jaminan terhadap orang yang tidak
diketahui identitasnya, karena hal tersebut tidak mencerminkan tujuan utama
dari kafalah (jaminan), yaitu memberikan rasa saling mempercayai diantara
pihak-pihak yang terkait. Hal ini sesuai dengan pendapat yang terkuat dalam
madzhab Syafi’i, karena orang-orang yang berpiutang bisaanya memiliki cara-cara
tersendiri dalam menagih hutangnya, ada yang kasar dan ada pula yang lemah
lembut.[13]
Sedangkan madzhab
Maliki dan Hambali membolehkan jaminan terhadap orang yang tidak diketahui
identitasnya, misalnya “saya jamin utang si Zaid terhadap siapa saja”. Pendapat
ini berdasarkan firman Allah dalam surat Yusuf:72,”sahutnya, ‘kami kehilangan
sukatan raja, bagi orang yang mendapatkannya (akan menerima gandum) seberat
beban seekor unta, dan saya menjaminnya”. Karena orang yang mengumumkannya itu
bukan raja, malinkan pembantu Nabi Yusuf as. Orang tersebut membebankan
pembayaran gandum terhadap Nabi Yusuf as bagi yang bisa menemukan sukatan dan
sekaligus ia yang menjamin bahwa Nabi Yusuf pasti akan membayarnya.[14]
2. Orang
yang berpiutang hadir di tempat akad. Menurut pendapat Abu Hanifah dan
Muhammad, ini merupakan syarat untuk diterimanya akad kafalah. Kalau ada
seseorang
3. Berakal
sehat
4. Makful
lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung jawab) kepada makful ‘anhu
D Syarat-syarat
Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih) menurut fatwa DSN (Dewan
Syariah Nasional)
1. Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan
2. Bisa
dilaksanakan oleh penjamin
3. Harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
dibayar atau dibebaskan
4. Harus
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5. Tidak
bertentangan dengan syari’ah (yang tidak diharamkan)
JENIS-JENIS KAFALAH
Menurut ulama, (wahbah az-Zuhayliy
dan Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi obyeknya jafalah hanya 2 macam, yaitu:
A. Kafalah
bin Nafs (kafalah bil Wajhi)
Merupakan akad
jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di
tempat tertentu. Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam. Sebagai contohnya
adalah seperti perkataan seseorang, “Aku menjamin untuk menghadirkan si Fulan
dalam pengadilan tersebut atau dalam acara tersebut”.
Jika kafil tidak
bisa menghadirkan, padahal ia masih hidup, maka kafil wajib membayar sejumlah
denda sesuai dengan dalil ‘Az-Zaim Gharimun (penjamin itu berhutang’. Kecuali
dalam akad itu disebutkan bahwa kafil tidak akan membayar jika makful ‘anhu
tidak dating.
B. Kafalah
bil Mal
Merupakan
jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Sebagai contohnya adalah:
1. Kasus
hadits Nabi Saw riwayat Bukhari di mana Qatadah menjamin hutang seorang
sahabat.
2. Surat
jaminan (bank garansi) yang diberikan bank kepada nasabahnya untuk keperluan:
a. Pembayaran
atas pembelian barang
b. Pembayaran
hutang kepada pihak ketiga/mitra kerja nasabah untuk mengerjakan suatu proyek
c. Pembayaran
suatu jual beli dengan batas waktu yang telah diperjanjikan.
3. Seorang
nasabah (jamaah masjid) mendapat pembiayaan syariah dengan jaminan seorang
tokoh masyarakat (agama). Walaupun bank secara fisik tidak memegang rihan
(barang jaminan) apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan atau wanprestasi.
Yang termasuk
bagian dari kafalah bil Mal adalah:
1. Kafalah
bit Taslim, yaitu merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin
penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa. Sebagai
contoh; bank mengeluarkan surat jaminan untuk nasabahnya tentang pengembalian
(penyerahan) barang sewa yang disewa nasabah kepada perusahaan leasing.
2. Kafalah
Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya
pembatasan waktu tertentu. Sebagai contoh, “Aku menjamin hutang anda sekarang”
atau “Aku menjamin menanggulangi pendanaan proyek anda”. Atau juga Bank
menjamin nasabahnya kepada pihak ketiga bahwa nasabahnya pasti melaksanakan
kewajibannya dalam mengerjakan suatu proyek.
3. Kafalah
muqayyadah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan atau kafalah yang dibatasi
waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya. Sebagai contoh, bank menjamin
nasabahnya kepada pihak ketiga selama 3 bulan. Kafalah ini disebut juga kafalah
dengan tawqit.
MANFAAT KAFALAH
Kafalah yang
diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh
pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi
kelangsungan bisnis maupun proyek-proyek yang sedang mereka kerjakan sehingga
proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberikan manfaat
bagi:[15]
1. Pihak
yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, nasabah
bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena bisaanya pemilik
proyek menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka
miliki.
2. Pihak
yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank,
pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh nasabah
tadi akan diselesaikan dengan jadwal yang telah ditentukan, karena kafalah
merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji
melaksanakan kewajibannya.
3. Pihak
yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank, maka
pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko yang
ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
APLIKASI KAFALAH DALAM TRANSAKSI
PERBANKAN
Dalam
mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam
bentuk pemberian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan
fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari
nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang
diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen
maupun kontinjen.
Fasilitas
yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut
adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah
adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk
menjalankan bisnis mereka secara lebih amandan terjamin, sehingga adanya
kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti
akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai
dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank
sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat
berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas
jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan
pendapatan mereka.
Mekanisme dan Sistem Operasi
Kafalah oleh Bank Syariah
(Dikutip dari : Slide presentasi kuliah MBKI)
SKEMA KAFALAH
(Dikutip dari : Slide presentasi kuliah MBKI)
Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah
adalah:
1. Bank
garansi dengan segala variasinya; dan
2. Letter
of credit dengan segala jenis dan variasinya.
3. Kartu
kredit
Bank Garansi[16]
Bank garansi
adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak ketiga
atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah
mereka sepakati sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh
pihak ketiga terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan
kepastian dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati.
Apabila terjadi cidera janji oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan
bank (bank garansi) maka pihak ketiga tadi dapat mengajukan klaim kepada bank
penerbit garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat untuk pengajuan klaim
telah terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika salah
satu pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank
mengambil-alih risiko tersebut.
Janis-jenis bank garansi dalam aplikasi perbankan dapat
berupa :
1.
Bid Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan oleh
bank atas permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga (pemilik proyek)
yang menjadi mitra kerja nasabah, sehubungan dengan kontrak kerja atau
kewajiban nasabah untuk melaksanakan sesuatu yang tercantum dalam kontrak. Bid
Bond ini merupakan persyaratan awal yang ditetapkan oleh pemilik proyek kepada
para kontraktor yang akan ikut serta dalam tender.
2.
Performance Bond. Adalah jaminan yang
diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga
(pemilik proyek) yang menjadi mitra kerja nasabah, sehubungan dengan
kekhawatiran pemilik proyek terhadap kontraktor apabila cidera janji
mengerjakan dan menyelesaikan proyek sesuai
kontrak kerja. Bisaanya, performance bond diminta oleh pemilik proyek kepada
pemenang tender, dalam rangka mengikat mereka agar serius dan sungguh-sungguh
mengerjakan proyek sampai selesai.
3.
Advance Payment Bond. Adalah jaminan yang
diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak ketiga
(pemilik proyek) yang menjadi mitra kerja nasabah, sehubungan dengan pembayaran
dimuka atau pembayaran termin oleh pemilik proyek kepada kontraktor dalam
mengerjakan proyek yang telah mereka sepakati dalam kontrak kerja.
4.
Retention Bond/Maintenance Bond. Adalah jaminan
yang diterbitkan oleh bank atas permintaan nasabahnya untuk kepentingan pihak
ketiga (pemilik proyek) yang menjadi mitra kerja nasabah, sehubungan dengan
tanggung jawab nasabah atas pemeliharaan hasil pekerjaan/proyek sampai batas
waktu yang telah diperjanjikan dalam kontrak kerja.
5.
Custom Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan
oleh bank atas permintaan nasabahnya, sehubungan dengan penangguhan
pembayarannya (apabila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan).
6.
Shipping Bond. Adalah jaminan yang diterbitkan
oleh bank atas permintaan nasabahnya, sehubungan dengan pengeluaran
barang-barang impor dari pelabuhan/maskapai pelayaran, sebelum datangnya
dokumen impor yang asli dari bank yang melakukan negosiasi.
Garansi yang
diberikan oleh bank dibukukan ke dalam perkiraan administrative (kontijensi),
yang berarti bahwa dengan garansi yang diberikan tidak akan mempengaruhi neraca
pada saat itu. Hal ini baru akan mempunyai pengaruh terhadap neraca bank
apabila nasabah cidera janji atau tidak melaksanakan kontrak sesuai dengan yang
telah disepakati, maka berdasarkan klaim yang diterima bank dan syarat-syarat
klaim terpenuhi, bank wajib membayar klaim tersebut tanpa harus menunggu
nasabah menyediakan dana terlebih dahulu.
Masa Berlaku Bank Garansi
Pada
umumnya masa berlaku bank garansi sampai dengan tanggal jatuh tempo, apabila
pada tanggal jatuh tempo dan tidak diperpanjang, maka secara otomatis bank
garansi tersebut sudah tidak berlaku lagi (expired). Jika kewajiban atau
pekerjaan telah selesai dilaksanakan sesuai dengan isi kontrak kerja, dan pihak
pemilik proyek telah memberikan pernyataan bahwa mereka telah setuju dan
menerima hasil pekerjaan, maka secara otomatis bank garansi sudah tidak berlaku
lagi. Untuk itu bisaanya pihak bank meminta nasabah untuk mengembalikan bank
garansi tersebut.
Secara umum bank garansi akan
berakhir apabila:
1.
Kewajiban telah terpenuhi atau pekerjaan telah
diselesaikan
2.
Bank garansi telah jatuh tempo
3.
Pihak ketiga telah mengembalikan bank garansi
4.
Pihak ketiga melepaskan hak klaimnya.
Perpanjangan
Bank Garansi
Bank garansi
dapat diperpanjang jika menurut pertimbangan pemilik proyek agar menjamin
keamanannya, mereka merasa perlu untuk memperpanjang bank garansi, maka nasabah
akan mengajukan permohonan perpanjangan kafalah tersebut kepada bank dengan
melampirkan kontrak baru antara nasabah dan pemilik proyek.
Masa Klaim Bank
Garansi
Pihak yang
dijamin (pihak ketiga) akan mengajukan klaim kepada bank yang menerbitkan
garansi (bank garansi) sekiranya nasabah bank melakukan wanprestasi atau tidak
melaksanakan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja. Pengajuan
klaim dapat dilakukan paling lambat 30 hari setelah tanggal jatuh tempo apabila
di dalam bank garansi tersebut tidak tercantum klausula mengenai batas waktu
maksimal pengajuan klaim, tetapi apabila di dalam bank garansi tersebut dicantumkan
batas waktu yang sesuai dengan yang tercantum di dalam bank garansi.
Pengajuan klaim
ini harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung yang membuktikan telah
terjadinya cidera janji serta dokumen lain yang disyaratkan dalam bank garansi
tersebut.
Letter of Credit[17]
Pada umumnya
instrumen letter of credit yang diterbitkan oleh bank akan membantu
memperlancar transaksi perdagangan (ekspor impor) antar negara karena letter of
credit berperan sebagai jembatan penghubung, pengambil-alihan risiko bagi
masing-masing pihak terkait sehingga mereka merasa lebih aman untuk melakukan
transaksi.
Apabila pihak
eksportir melakukan pengiriman barang-barng mereka kepada importir terlebih
dahulu sebelum importir melakukan pembayaran atas harga barang yang dikirim
tersebut, akan timbul kekhawatiran dari pihak eksportir kalau importir tidak
melaksanakan pembayaran sedangkan barang-barang sudah terlanjur dikirim ke
negara importir, sehingga eksportir akan menanggung risiko kemungkinan tidak
diterimanya pembayaran. Sebaliknya apabila importir melakukan
pembayaran/mengirim uang terlebih dahulu kepada eksportir sebelum barang
dikirim oleh eksportir kepada importir, justru saat ini importir yang khawatir
dan mempunyai risiko kalau pihak eksportir tidak mengirimkan barang-barang
sesuai dengan pesanan, sedangkan pembayarannya telah dilakukan terlebih dahulu.
Kondisi
ragu-ragu dan saling curiga antara eksportir dan importir akan berlangsung
terus karena masing-masing pihak tidak akan mau melakukan transaksi yang
berisiko tinggi tanpa adanya suatu jaminan dan kepastian akan pembayaran maupun
peneriamaan barang sesuai dengan kesepakatan mereka, sehingga akhirnya akan
berdampak terhadap kelancaran dan pertumbuhan transaksi perdagangan secara
keseluruhan.
Untuk
menjembatani permasalahan ini diperlukan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh
institusi yang independen dan dapat diterima oleh masing-masing pihak terkait
agar mereka dapat menjalankan transaksi secara aman tanpa keraguan. Instrumen
tersebut adalah letter of credit, merupakan dokumen bank yang intinya
berupa janji atau komitmen bank kepada pihak penjual/eksportir melalui bank
mereka untuk melakukan pembayaran, pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen
yang mereka kirim, dengan syarat apabila semua klausula-klausula yang disyaratkan
dalam dokumen tadi telah dipenuhi oleh penjual/eksportir.
Dalam hal ini
bank sebagai penerbit letter of credit akan menerbitkan letter of credit atas
dasar permohonan dari pembeli (importir) melalui sales contract yang telah
mereka sepakati (antara importir dan eksportir) sehingga pihak bank dalam hal
ini bukan dalam posisi mewakili importir, tetapi memberikan jaminan terhadap
kelangsungan bisnis importir, karena dengan adanya letter of credit ini pihak
eksportir akan merasa aman untuk mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu
sedangkan pembayaran dari importir akan diterima nanti setelah dokumen-dokumen
yang diterima mereka, diperiksa dan sesuai dengan yang disepakati. Pembayarn
baru akan dilakukan apabila semua dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam
letter of credit tersebut telah dipenuhi oleh eksportir.
Manfaat Letter of
Credit
1. Memberikan
rasa aman kepada pihak-pihak terkait dalam transaksi ekspor-impor.
2. Memperlancar
transaksi penagihan dokumen maupun pembayaran karena semua proses pemeriksaan
dokumen dilakukan oleh bank.
3. Pihak-pihak
terkait (eksportir dan importir) dapat lebih focus dengan bisnis mereka dan
proses pengadaan barang yang akan diekspor maupun didtribusi atau penjualan
barang-barang hasil impor mereka.
Jenis-jenis
Letter of Credit
A. Berdasarkan
cara pembayaran
1. Sight
letter of credit. Adalah bank penerbit akan melakukan pembayaran apabila
dokumen telah terima dan sesuai dengan klausula yang disyaratkan dalam letter
od credit.
2. Usance
letter of credit. Adalah bank penerbit akan melakukan akseptasi draft
apabila dokumen telah diterima dan sesuai dengan klausula yang disyaratkan
dalam letter of credit.
3. Deffered
payment letter of credit. Adalah bank penerbit akan melakukan pembayaran
pada tanggal tertentu apabila dokumen telah diterima dan sesuai dengan klausula
yang disyaratkan dalam letter of credit.
B. Berdasarkan
kondisi
1. Red
clause letter of credit. Adalah letter of credit yang mensyaratkan bahwa
ekportir dapat menarik sebagian dari nilai nominal L/C terlebih dahulu sebelum
penyerahan dokumen ke bank penegosiasi.
2. Transferable
letter of credit. Adalah letter of credit yang memberikan kesempatan kepada
eksportir untuk melakukan transfer sebagian L/C tersebut ke satu atau
beneficiary lainnya, untuk mencukupi permintaan yang tercantum dalam L/C.
3. Revolving
letter of credit. Adalah letter of credit yang pada hakikatnya memberikan
plafon tertentu kepada pihak beneficiary baik dalam bentuk nominal maupun
jangka waktu, di mana apabila negosiasi telah dilakukan, maka plafon akan
secara otomatis kembali seperti semula.
4. Confirming
letter of credit. Adalah letter of credit yang diperkuat dengan jaminan
dari bank lain yang lebih bonafide, sehingga memperkuat status dari L/C
tersebut. Apabila bank penerbit cidera janji untuk membayar, maka bank yang
melakukan konfirmasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
5. Back
to back letter of credit. Adalah letter of credit yang memberikan wewenang
kepada nominated bank untuk menerbitkan L/C baru (baby L/C) berdasarkan L/C
lama (master L/C) atas permintaan beneficiary.
C. Berdasarkan
sifat
1. Irrevocable
letter of credit. Adalah letter of credit yang pada prinsipnya tidak dapat
diubah tanpa adanya persetujuan dari pihak-pihak terkait dalam L/C tersebut.
2. Revocable
letter of credit. Adalah letter of credit yang dapat berubah sewaktu-waktu
tanpa perlu persetujuan dari pihak terkait, dengan syarat apabila
barang/dokumen belum dikirimkan.
Kartu Kredit
Bank menjamin nasabah (pemegang kartu)
untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak ketiga (merchant, supermarket,
hypermarket). Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku kafil dapat
mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.
PENUTUP
Pada hakikatnya pemberian kafalah ini
akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu
dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Prinsip dasar dan sangat penting untuk
dipahami adalah bahwa Letter of Credit (L/C) berfungsi sebagai jaminan
(kafalah) bukan wakalah, karena perannya dalam memberikan kepastian pembayaran,
menghilangkan keraguan eksportir dan sekaligus menjembatani kedua belah pihak
dalam merealisir transaksi mereka. Seandainya transaksi L/C dikategorikan
wakalah, berarti dengan L/C tersebut, tidak ada kewajiban bank untuk melakukan
pembayaran, jika importir belum melunasi kewajibannya, sekalipun dokumen yang
diterima telah sesuai dengan yang disyaratkan dalam L/C.
Masih diperlukan kajian yang lebih
mendalam tentang kafalah ini untuk lebih meningkatkan perkembangan ekonomi
Islam atau ekonomi syariah pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya
sehingga nantinya akan lebih menarik dan mampu bersaing dengan perkembangan
perbankan konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2000
2.
Hendi, Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
3.
Zuhaili, Wahbah Dr., Fiqh
Muamalah Perbankan Syariah, Kapita Selekta
4.
Antonio, Syafi’i, Bank Syariah:
Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta 1999
5.
_________, Bank Syariah: Konsep,
Produk dan Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001
6.
Zulkifli, Sunarto, Panduan
Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta, Zikrul Hakim, 2003
7.
Karim, Adiwarman Ir., Bank Islam: Analisis Fiqih dan
Keuangan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
8.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan
Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press, 2004.
9.
Edwin N, Mustafa dkk. Pengenalan
Eksklusif: Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana, 2006, Edisi Pertama, Cetakan
ke-1.
10. Hamidi, M. Luthfi. Jejak-jejak Ekonomi Syariah. Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2003.
11. Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahri. Referensi Ekonomi Syariah :
Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
12. Ali Sakti. Analitis Teoritis Ekonomi Islam : Jawaban Atas Kekacauan
Ekonomi Modern. Cetakan Pertama, Maret 2007, PARADIGMA & AQSA
Publishing.
[1] Institut
Bankir Indonesia. Tim Pengembangan, Bank Syari’ah: Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hal. 239.
[2] Sunarto
Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, hal. 31
[3] Raddul
Mukhtar ‘ala Ad Dur Al Mukhtar. 4/261
[4]
Diriwayatkan dari 3 orang sahabat: Abu Umunah Al Bahily, Anas bin Malik dan
Abdullah bin Abbas. Lihat Jami’u At-Turmudzi:2/295.
[5] Subulu
As Salam: 3/62, Al Mabsuth: 19/160 dst, Mugni Al Muhtaj: 2/198, Al-Mugni: 4/534
[6] Fathu Al
Qadir:5/390, Al Bada’i’:6/2, Ad Dur Al Mukhtar, ibid, Majma’ Adh Dhamanat:275
[7] Al
Qawanin Al Fiqhiyah, 325, Mugni Al Muhtaj:2/198, Gayatu Al Muntaha:2/104
[8] Al
Bada’i’, 6, Ad-dur Al-Mukhtar:4/262, 278, Fathu Al Qadir:5/419
[9] Bidayatu
Al Mujtahid:2/244, Asy Syarhu Al Kabir:3/331, Al Muhadzdzah:1/339
[10]
Bidayatu al Mujtahid:2/294, Al Bada’i’:6/6, Mugni Al Muhtaj:3/204
[11] Mugni
Al Muhtaj:2/200
[12] Al
Bada’i’:6/6, Fathu Al Qadir:5/417, Al Mabsuth:20/9 dan Ad Dur Al Mukhtar:4/290
[13] Mugni
Al Muhtaj:2/200
[14] Ahkamul
Qur’an, Ibnu Arabi:3/1085, Al Mugni:5/535
[15] Bank
Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir
Indonesia, hal.241
[16] Bank
Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir
Indonesia, hal.242
[17] Bank
Syariah: Konsep, produk dan Implementasi Operasional, Institut Bankir
Indonesia, hal.247
Thanks ngebantu banget
ReplyDeleteOke... sama2. smoga bisa bermanfaat...
ReplyDeleteTerima kasih materinya, sangat membantu :) Jazakallah khoiron katsiron
ReplyDeleteWaiyyakum...
ReplyDeletesmgo dapat bermanfaat..
Assalamualaikum Wr. Wb.
ReplyDeleteJazakallah kahiran katsir atas info, penjelasan yg telah di-share kepada kita semua. Barakallah.
Mas/ Pak Imron, sy ingin sedikit koreksi penulisan saja, ada 7 kata "Kalim" yg seharusnya "Klaim". Tksh
Jazakallahu kahiran atas koreksi, Alhamdulillah sudah kami edit
ReplyDeleteTerimakasih atas tulisan. bernas.
ReplyDeletejazakumullah khoir. sangat membantu sekali
ReplyDelete