Definisi Murabahah
Secara bahasa murabahah berasal
dari kata Ar-Ribhu yang berarti النَّمَاءُ (an-namaa’) yang berarti
tumbuh dan berkembang, atau murabahah juga berarti Al-Irbaah,
karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada
yang lainnya (Ibnu Al-Mandzur., hal. 443.).
Sedangkan secara istilah, Bai'ul
murabahah (murabahah) adalah:
بَيْعٌ
بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ
Yaitu jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan
keuntungan (Azzuhaili, 1997., hal. 3765). Definisi ini adalah definisi yang
disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda.
(Asshawy, 1990., hal.198.)
a)
Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan
harga beli saya atau dengan harga perolehan saya disertai dengan keuntungan
sekian”.
b)
Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan
biaya-biaya yang telah saya keluarkan disertai dengan keuntungan sekian”
c)
Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan ra’sul
maal (harga pokok) disertai dengan keuntungan sekian”
Para
ulama berbeda pendapat tentang lafazd ketiga ini, apakah ia sama dengan
ungkapan yang pertama atau kedua?.
Menurut As-Shawy (1990., hal.199.),
ungkapan tersebut tergantung pada al-‘urf (kebiasaan suatu tempat), bila
kebiasaan dalam perdagangan ditempat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
harga pokok adalah harga beli saja dan tidak termasuk biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut maka ungkapan ketiga ini masuk
kategori ungkapan yang pertama. Adapun bila kebiasaan menunjukkan bahwa harga
pokok adalah harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperolehnya maka ia masuk kategori ungkapan yang kedua (As-Shawy, 1990., hal.
199-200.).
Gambaran transaksi jual beli murabahah
ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ulama Malikiyah, adalah jual beli
dimana pemilik barang menyebutkan harga beli barang tersebut, kemudian ia
mengambil keuntungan dari pembeli baik secara sekaligus dengan mengatakan, saya
membelinya dengan harga sepuluh dinar dan anda berikan keuntungan kepadaku
sebesar satu dinar atau dua dinar", atau merincinya dengan
mengatakan, anda berikan keuntungan sebesar satu dirham per satu dinarnya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran
tertentu maupun dengan menggunakan porsentase (Ibnu Jazy, hal. 263.).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan mengatakan, pemindahan
sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai tambahan
keuntungan.
Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah, murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah
keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar atau semisalnya,
dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi mengetahui harga pokok.
Disamping jual beli murabahah, dalam fiqh
al-muamalah ada empat jenis jual beli lainnya (Az Zuhaily, hal.3766),
yaitu:
1. Jual beli al-musawamah (ba'iu al
musawamah), yaitu menjual dengan harga berapapun tanpa melihat kepada harga
pokok atau harga perolehan saat pembelian awal. Jual beli ini yang biasa
dilakukan.
2.
Jual beli at-tauliyah (bai'u at tauliyah),
yaitu menjual dengan harga pokok atau harga perolehan tanpa tambahan
keuntungan.
3.
Jual beli isytiraak (bai'u al isytiraak),
sama dengan jual beli at-tauliyah, perbedaannya adalah menjual sebagian
obyek jual beli dengan sebagian harga.
4.
Jual beli al-wadhi'ah (bai'u al wadhi'ah)
yaitu menjual sama dengan harga pokok atau harga perolehan, dengan mengurangi
atau memberikan potongan harga.
2.1.1 Landasan Hukum
Murabahah merupakan suatu akad yang dibolehkan
secara syar'i, serta didukung oleh mayoritas ulama dari kalangan Shahabat,
Tabi'in serta Ulama-ulama dari berbagai mazhab dan aliran.
Landasan hukum akad murabahah ini adalah:
a)
Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran yang secara umum
membolehkan jual beli, diantaranya adalah firman Allah:
وَأَحَلَّ اللهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: "..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba" (QS. Al-Baqarah:275).
Ayat ini menunjukkan bolehnya melakukan
transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari jual
beli.
Dan firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu” (QS. An-Nisaa:29).
Dan firman Allah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu
mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu” (QS. Al-Baqarah:198)
Berdasarkan ayat diatas, maka murabahah
merupakan upaya mencari rezki melalui jual beli.
Murabahah menurut Azzuhaili
(1997., hal.3766.) adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua
belah pihak yang bertransaksi.
b)
Assunnah
1) Sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam: “Pendapatan yang paling afdhal
(utama) adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur”.
(HR. Ahmad Al Bazzar Ath Thabrani).
2) Hadits dari riwayat Ibnu Majah, dari
Syuaib:
أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ البَرَكَة: البَيْعُ إِلىَ أَجَلٍ,
وَالمُقـَارَضَة, وَ خَلْطُ البُرّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
(رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه)
”Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan: menjual
dengan pembayaran secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah),
dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk
dijual” (HR. Ibnu Majah).
3) Ketika
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam akan hijrah, Abu Bakar Radhiyallahu
'Anhu, membeli dua ekor keledai, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam berkata kepadanya, "jual kepada saya salah satunya",
Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu menjawab, "salah satunya jadi milik
anda tanpa ada kompensasi apapun", Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wassallam bersabda, "kalau tanpa ada harga saya tidak mau".
4) Sebuah
riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'Anhu, menyebutkan bahwa boleh
melakukan jual beli dengan mengambil keuntungan satu dirham atau dua dirham
untuk setiap sepuluh dirham harga pokok (Azzuhaili, 1997, hal 3766).
5) Selain
itu, transaksi dengan menggunakan akad jual beli murabahah ini sudah
menjadi kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan. Banyak manfaat yang
dihasilkan, baik bagi yang berprofesi sebagai pedagang maupun bukan.
c)
Al-Ijma
Transaksi ini sudah dipraktekkan di berbagai kurun dan
tempat tanpa ada yang mengingkarinya, ini berarti para ulama menyetujuinya
(Ash-Shawy, 1990., hal. 200.).
d)
Kaidah Fiqh, yang menyatakan:
الأَصْلُ فِِى المُعَامَلاَتِ
الإِبَاحَة ُ إِلا َّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
e)
Fatwa Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama
Indonesia No.04/DSN-MUI/IV/2000, tentang MURABAHAH
2.1.2 Rukun dan Syarat Syarat Sahnya Jual Beli Murabahah
Rukun murabahah adalah:
a) Adanya pihak-pihak yang melakukan akad,
yaitu:
a. Penjual
b. Pembeli
b) Obyek yang diakadkan, yang mencakup:
a. Barang yang diperjualbelikan
b. Harga
c) Akad/Sighat yang terdiri dari:
a. Ijab (serah)
b. Qabul (terima)
Selanjutnya masing-masing rukun diatas harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Pihak yang berakad, harus:
a. Cakap hukum.
b. Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan
terpaksa atau berada dibawah tekanan atau ancaman.
b) Obyek yang diperjualbelikan harus:
a. Tidak termasuk yang diharamkan atau
dilarang.
b. Memberikan manfaat atau sesuatu yang
bermanfaat.
c. Penyerahan obyek murabahah dari
penjual kepada pembeli dapat dilakukan.
d. Merupakan hak milik penuh pihak yang
berakad.
e. Sesuai spesifikasinya antara yang
diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
c) Akad/Sighat
a. Harus jelas dan disebutkan secara spesifik
dengan siapa berakad.
b. Antara ijab dan qabul (serah
terima) harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang
disepakati.
c. Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan
keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang.
Selain itu ada beberapa syarat-syarat sahnya jual
beli murabahah adalah sebagai berikut:
a) Mengetahui Harga pokok
Harga beli awal (harga pokok) harus
diketahui oleh pembeli kedua, karena mengetahui harga merupakan salah satu
syarat sahnya jual beli yang menggunakan prinsip murabahah. Mengetahui
harga merupakan syarat sahnya akad jual beli, dan mayoritas ahli fiqh
menekankan pentingnya syarat ini. Bila harga pokok tidak diketahui oleh pembeli
maka akad jual beli menjadi fasid (tidak sah) (Al-Kasany, hal.3193).
Pada praktek perbankan syariah, Bank dapat menunjukkan bukti pembelian obyek
jual beli murabahah kepada nasabah, sehingga dengan bukti pembelian
tersebut nasabah mengetahui harga pokok Bank.
d)
Mengetahui Keuntungan
Keuntungan seharusnya juga diketahui karena ia merupakan bagian dari harga.
Keuntungan atau dalam praktek perbankan syariah sering disebut dengan margin murabahah
dapat dimusyawarahkan antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli,
sehingga kedua belah pihak, terutama nasabah dapat mengetahui keuntungan bank.
e) Harga pokok dapat dihitung dan diukur
Harga pokok harus dapat diukur, baik menggunakan takaran, timbangan ataupun
hitungan. Ini merupakan syarat murabahah. Harga bisa menggunakan ukuran
awal, ataupun dengan ukuran yang berbeda, yang penting bisa diukur dan di
ketahui.
f) Jual beli murabahah tidak bercampur
dengan transaksi yang mengandung riba.
g) Akad jual beli pertama harus sah. Bila
akad pertama tidak sah maka jual beli murabahah tidak boleh
dilaksanakan. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga pokok
ditambah keuntungan, kalau jual beli pertama tidak sah maka jual beli murabahah
selanjutnya juga tidak sah (Azzuhaily, hal. 3767-3770).
2.1.3 Harga Pokok dan Pembebanan Biaya
Pembebanan
biaya pada pembiayaan murabahah, yang selanjutnya akan mempengaruhi
penetapan harga pokok (replacement cost) dan harga jual. Sebagaimana
dikutip oleh Karim, bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa
saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Ulama mazhab
Maliki misalnya, membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi
jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi
tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu. (Karim, 2003, hal.
158).
Ulama mazhab Syafi'i membolehkan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam
suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen
ini termasuk dalam keuntungan. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah
nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya. (Asy Syarbini, hal.
78).
Ulama mazhab Hanafi membolehkan
membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual
beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya
dikerjakan oleh sipenjual. (Al Kasani, hal. 223).
Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa
semua biaya langsung maupun tidak
langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus
dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual. (Al
Bahuti, hal.234).
Dari berbagai pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa:
1)
Keempat
mazhab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan langsung
kepada pihak ketiga.
2)
Keempat
mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan
dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung
yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna.
3)
Keempat
mazhab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada
pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila
pekerjaan itu harus dilakukan oleh si penjual, mazhab Maliki tidak membolehkan
pembebanannya, sedangkan ketiga mazhab lainnya membolehkan.
4) Keempat
mazhab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak
menambah nilai barang atau berkaitan dengan hal-hal yang berguna. (Karim, 2003,
hal.158)
2.1.4 Murabahah dengan Pesanan
Murabahah dapat dilakukan dengan pesanan atau tanpa
pesanan. Bila dengan pesanan maka bank melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah
untuk membeli barang yang dipesannya dan bank dapat meminta uang muka pembelian
kepada nasabah.
Uang muka atau dalam fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI digunakan istilah urbun, dimaksudkan untuk menunjukkan
keseriusan si pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli barang pesanan,
sedangkan pembeli atau nasabah membatalkannya, maka uang muka tersebut
digunakan untuk menutup kerugian. Bila jumlah uang muka lebih kecil dari jumlah
kerugian yang harus ditanggung penjual, penjual dapat meminta kekurangannya,
dan bila berlebih maka penjual harus mengembalikan kelebihannya kepada pembeli.
(Karim, 2003, hal.159).
2.1.5 Beberapa Hal Yang Mesti Dijelaskan Dalam Jual Beli Murabahah
Jual beli murabahah pada hakikatnya adalah
jual beli amanah (berdasarkan kepercayaan) dan transparan, karena pihak
pembeli mempercayai dan meyakini bahwa pihak penjual telah memberikan informasi
dan penjelasan yang benar tentang harga perolehan, keadaan dan kondisi barang
yang menjadi obyek jual beli..
Karena itu kepercayaan tersebut harus
dijaga, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfaal:27)
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ
غَـشَّـنَا فـَلـَيْسَ مِنَّا
Artinya: ”Barangsiapa yang menipu kami, maka ia
tidak termasuk golongan kami” (HR. Muslim).
Untuk menjaga kepercayaan itu, maka ada beberapa hal yang mesti dijelaskan
kepada pembeli, diantaranya adalah:
a)
Cacat
atau aib yang baru terjadi pada obyek jual beli
Bila ada cacat pada obyek jual beli yang terjadinya saat obyek tersebut
berada di tangan penjual, kemudian ia ingin menjualnya secara murabahah,
maka ia harus menjelaskan cacat yang terjadi pada obyek tersebut.
b)
Terjadinya
penambahan pada obyek
Bila terjadi tambahan pada obyek jual beli seperti obyeknya melahirkan
anak, jika obyek itu binatang, atau obyek tersebut berbuah, maka menurut ulama Hanafiyah
dan Malikiyah hal tersebut harus dijelaskan kepada pihak pembeli. Karena
sesuatu yang tumbuh atau berasal dari obyek jual beli merupakan bagian dari
obyek tersebut. (Asshawy, hal.216)
c)
Waktu
Diantara yang harus diberitahukan dalam murabahah adalah waktu. Maka
bila pihak penjual pada awalnya membeli obyek tersebut secara tangguh, ia tidak
boleh menjualnya secara murabahah sampai ia menjelaskan hal tersebut
kepada pembeli.
2.1.6 Jenis-Jenis Murabahah
Murabahah pada prinsipnya adalah jual beli dengan
keuntungan, hal ini bersifat dan berlaku umum pada jual beli barang-barang yang
memenuhi syarat jual beli murabahah. Dalam prakteknya pembiayaan murabahah
yang diterapkan Bank Bukopin Syariah terbagi kepada 3 jenis, sesuai dengan
peruntukannya, yaitu:
a)
Murabahah Modal Kerja (MMK), yang diperuntukkan
untuk pembelian barang-barang yang akan digunakan sebagai modal kerja. Modal kerja adalah jenis pembiayaan yang
diperlukan oleh perusahaan untuk operasi sehari-hari. Penerapan murabahah
untuk modal kerja membutuhkan kehati-hatian, terutama bila obyek yang akan diperjualbelikan
terdiri dari banyak jenis, sehingga dikhawatirkan akan mengalami kesulitan
terutama dalam menentukan harga pokok masing-masing barang.
b)
Murabahah Investasi (MI), adalah pembiayaan jangka
menengah atau panjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal yang
diperlukan untuk rehabilitasi, perluasan, atau pembuatan proyek baru.
c)
Murabahah Konsumsi (MK), adalah pembiayaan
perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk pembiayaan pemilikan rumah, mobil.
Pembiayaan konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian barang
konsumsi dan barang tahan lama lainnya. Jaminan yang digunakan biasanya berujud
obyek yang dibiayai, tanah dan bangunan tempat tinggal.
Perbedaan peruntukan pembiayaan murabahah
yang diterapkan bisa dibedakan berdasarkan obyek akad, tujuan penggunaan obyek
dan nasabah yang mengajukannya. Pembedaan peruntukan ini dimulai saat nasabah mengajukan pembiayaan, dan
disesuaikan dengan kebutuhan
nasabah, kemampuan keuangan nasabah dan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan bank, sampai terealisasinya
pembiayaan tersebut. Perbedaan jenis-jenis pembiayaan murabahah dapat
dijelaskan melalui Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan Jenis-Jenis Murabahah
Jenis
Pembiayaan
|
Modal
Kerja
|
Investasi
|
Konsumsi
|
Contoh Obyek
Jual Beli
|
Mobil
|
Mobil
|
Mobil
|
Penggunaan
|
Digunakan untuk
menambah Aktiva lancar (persediaan)
|
Digunakan
sebagai Aktiva tetap
|
Digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pribadi
|
Nasabah
|
Perusahaan yang
melakukan jual beli mobil
|
Perusahaan yang
bergerak di bidang transfortasi / ekspedisi)
|
Dipakai sendiri
|
Jangka Waktu
|
Pendek
|
Menengah
|
Panjang
|
Nominal
|
Besar
|
Menengah
|
Kecil
|
Sumber: Data Urusan Syariah PT.
Bank Bukopin, diolah
Bedasarkan Tabel 2.1 diatas, penggunaan obyek murabahah
untuk masing-masing jenis murabahah berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Dan hal ini merupakan langkah awal untuk membedakan jenis murabahah
mana yang akan digunakan. Bila obyek akan digunakan untuk menambah persediaan
atau aktiva lancar, maka murabahah yang digunakan adalah murabahah
modal kerja. Bila obyek akan digunakan sebagai aktiva tetap, maka murabahah
yang digunakan adalah murabahah investasi. Dan bila obyek digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pribadi nasabah, maka murabahah yang digunakan
adalah murabahah konsumsi.
2.1.7 Penerapan Murabahah
Dalam Perbankan Syariah
Prinsip murabahah
umumnya diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang investasi. Skim ini paling banyak digunakan karena sederhana
dan menyerupai kredit investasi pada bank konvensional.
Karakteristiknya sebagaimana ditulis oleh
tim pengembangan perbankan syariah Institut Bankir Indonesia (2003., hal. 66.)
adalah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan
tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Skim murabahah sangat berguna bagi
sesorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia
kemudian meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan
bersedia menebusnya pada saat barang diterima. Harga jual pada pemesanan adalah
harga pokok ditambah keuntungan yang disepakati. Kesepakatan harga jual dicantumkan
dalam akad jual beli dan tidak dapat berubah menjadi lebih mahal selama
berlakunya akad.
Proses pembiayaan murabahah dapat
digambarkan dalam gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Skim Murabahah
Sumber: (Zulkifli, 2003., hal.40.)
Dari gambar 2.1 diatas dapat dijelaskan proses
pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut:
1) Negosiasi dan Persyaratan, pada tahap ini
melakukan negosisasi dengan pihak bank yang berhubungan dengan spesifikasi
produk yang diinginkan oleh nasabah, harga beli dan harga jual, jangka waktu
pembayaran atau pelunasan, serta persyaratan-persyaratan lainnya yang harus
dipenuhi oleh nasabah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada bank syariah.
2) Bank membeli produk/barang yang sudah
disepakati dengan nasabah tersebut. Bank biasanya membeli ke supplier.
3) Akad jual beli, setelah Bank membeli produk sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan nasabah, maka selanjutnya Bank menjualnya kepada
nasabah, disertai dengan penandatanganan akad jual beli antara bank dan
nasabah, pada akad tersebut dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan jual
beli murabahah. Rukun dan syarat-syaratnya harus terpenuhi.
4) Supplier mengirim produk/barang yang dibeli oleh bank ke
alamat nasabah, atau sesuai dengan akad perjanjian yang telah disepakati antara
Bank dan nasabah sebelumnya.
5) Tanda terima barang dan dukomen, ketika
barang sudah sampai ke alamat nasabah, maka nasabah harus menandatangani surat
tanda terima barang, dan mengecek kembali kelengkapan dokumen-dokumen
produk/barang tersebut.
6) Proses selanjutnya adalah nasabah membayar
harga produk/barang yang dibelinya dari bank, biasanya pembayaran dilakukan
secara angsuran/cicilan dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati
sebelumnya.
2.2.
Return
Return
adalah keuntungan yang diperoleh dari suatu investasi atau pembiayaan. Return
tersebut dapat berupa return yang diharapkan (expected return)
atau dapat pula berupa return aktual (actual return). Bentuk return
tersebut dapat berupa deviden atau laba yang diperoleh perusahaan, atau
keuntungan yang diperoleh dari jual beli.
Menurut
Jogianto (2000, hal.107), return merupakan hasil yang diperoleh dari
investasi dan dapat berupa return realisasi (realized return)
yang sudah terjadi atau return ekspektasi (ecpected return) yang
belum terjadi tetapi diharapkan akan terjadi di masa mendatang. Return
realisasi dihitung berdasarkan data historis, dan digunakan sebagai salah satu
pengukur kinerja perusahaan dan digunakan juga sebagai dasar penentuan return
ekspektasi dan risiko di masa datang. Sedangkan return ekspektasi adalah
return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang.
Return
murabahah atau sering disebut juga margin murabahah adalah selisih
harga perolehan atau harga beli dengan harga jual kembali. Dalam penelitian ini
return tersebut adalah return ekspektasi, karena dalam murabahah
harga jual ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, meskipun bank
sebagai penjual sudah memiliki ketentuan tentang keuntungan yang diharapkan.
Hmm syukron
ReplyDeleteAfwan
ReplyDeleteSemoga bermanfaat