- PENGERTIAN
1.
Pengertian
·
Secara
etimologi rahn adalah tetap dan lama.
·
Secara
terminologi adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat
dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
·
Menutut
ulama syafi’iyah[1]
adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.
·
Menurut
Hanabilah[2]
harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayaran harga (nilai) utang
ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi
pinjaman.
2.
Dasar
Hukum
·
Al-qur’an
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا
فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
عَلِيمُُ
“apabila kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang
penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” (QS.
Al-Baqarah:283)
·
As-sunnah
“Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rosululloh SAW pernah membeli makanan dengan
menggadaikanbaju besi” (HR. Bukhori dan Muslim)
3.
Rukun
· Rahin yaitu orang yang memberikan jaminaan
· Al-murtahin yaitu orang yang menerima jaminan
· Al-marhun yaitu jaminan
· Al-marhun bih yaitu utang
Menurut ulama Hanafiyah[3]: ijab qobul dari kedua belah pihak yang bertransaksi akan tetapi akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Menurut ulama selain hanafiyah:
· Shigot (akad dari kedua belah pihak yang saling berakad)
· Aqid yaitu orang yang melakukan akad
· Marhun
· Marhun bih
4. Syarat
a. Persyaratan Aqid
Kedua orang yang akan
akad harus memenuhi kriteria ahliyah. Menurut syafi’yah ahliyah yang
dimaksud adalah: berakal, mumayiz tidak disyaratkan untuk baligh. Menurut
Hanafiyah ahliyah yang dimaksud adalah berakal, mumayiz, dan baligh
b. Persyaratan Shighat
5. Hukum Rahn
Para ulama
sepakat bahwa hukum rahn
diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika
kedua belah pihak tidak saling mempercayai, jika kedua belah pihak saling
mempercayai maka hendaklah orang yang dipercayai menunaikan amanatnya (membayar
hutang) dengan baik. Selain itu perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana
dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis, padahal
hukum hutang sendiri tidaklah wajib, begitu juga penggantinya, yaitu barang
jaminan.[7]
6. Sifat Rahn
Rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan
penggadai kepada penerima gadai tidak ditukar dengan sesuatu.[8]
Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah hutang, bukan penukar atas
barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk
akad yang bersifat ainiyah yaitu
dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yabg dijadikan akad, seperti
hibah, qirad, pinjam-meminjam.
- PENGAMBILAN MANFAAT GADAI
Pada dasarnya
tidak boleh terlalu lama memanfaatkan borg
sebab hal itu akan menyebabkan borg
hilang atau rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil gadai faedah ketika
berlangsungnya rahn.
1.
Pemanfaatan Rahin
atas borg
- Ulama Hanafiyah[9] dan ulama Hanabillah[10] berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin rahin. Mereka beralasan bahwa borg harus tetap dikuasai oleh murtahin selamanya, sebab manfaat yang ada dalam borg pada dasarnya termasuk rahn.
- Ulama Malikiyah[11] berpendapat bahwa jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan borg, akad akan menjadi batal.
- Ulama Safi’iyah[12] berpendapat rahin dibolehkan untuk
memanfaatkan borg. Jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu
meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya. Akan tetapi jika
menyebabkan borg berkurang
seperti sawah, kebun, rahin
harus meminta izin kepada murtahin.
2.
Pemanfaatan Murtahin
atas borg
·
Ulama Hanafiyah[13]
berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh memanfaatkan borg, sebab dia
hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya sekalipn diizinkan
oleh rahin. Jika disyaratkan ketika akad untuk memanfaatkan borg, hukumnya haram sebab termasuk
riba.
·
Ulama
Malikiyah[14]
dan Ulama Safi’iyah[15]
membolehkan murtahin memanfaatkan borg, jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan borg tersebut berupa barang yang dapat
diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan borg sekedarnya (tidak boleh lama)
itupun atas tanggungan rahin.
Sebagian ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin
terlalu lama memanfaatkan borg, ia
harus membayarnya. Kecuali jika rahin
mengetahui dan tidak mempermasalahkannya.
·
Ulama
hanabillah[16]
berpendapat membolehkan murtahin
memanfaatkan borg, jika diizinkan
oleh rahin, tetapi jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkannya sekedar mengganti biaya meskipun
tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan, tidak boleh
dimanfaatkan, kecuali atas izin rahin.
Murtahin dapat memanfaatkan borg misalnya
memanfaatkan hewan untuk ditunggangi atau diambil susunya, jika murtahin mengeluarkan biaya pemeliharaan
borg (memberi makan hewan). Murtahin tidak boleh memanfaatkanya
lebih banyak daripada biaya yang ia keluarkan untuk hewan itu. (Al-Jazairi,
200:533). Tetapi jika murtahin tidak
mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan borg,
maka murtahin tidak boleh
memanfaatkannya. Segala sesuatu yang dihasilkan dari binatang ternak
tersebut termasuk dalam dalam barang
gadaian dan menjadi rahn bersama
asalnya, termasuk kategori ini adalah anak, bulu, buah, susu, karena manfaat
barang gadaian adalah milik rahin.
(Sabiq 1987:143). Hal ini didasarkan atas sabda Nabi ”Dia berhak memperoleh
bagiannya dan berkewajiban membayar gharamahnya”
Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk marhun tanpa meminta izin kepada rahin,
maka ia tidak boleh meminta rahin
mengganti biaya yang telah dikeluarkannya untuk borg itu. Al-jazairi menambahkan bahwa apabila tidak meminta
izinnya murtahin disebabkan lokasi yang jauh dengan rahin, murtahin berhak
meminta pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya untuk borg, tetapi jika berdekatan maka murtahin tidak berhak meminta pengembalian biaya yang telah
dikeluarkan, karena berarti murtahin
telah bertindak secara sukarela. (Al-Jazira, 2000:534)
Apabila murtahin memberi makan borg dengan terlebih dahulu meminta izin
kepada hakim dalam keadaan rahin tidak ada, sedangkan rahin tidak setuju, maka ini berarti
hutang rahin kepada murtahin. Barang gadaian adalah amanat
yang ada ditangan murtahin, ia tidak
berkewajiban meminta ganti kecuali jika melewati batas kebiasaan, demikian
menurut Hanbali dan As Syafi’i (Sabiq, 1987:144)
- RESIKO
KERUSAKAN MARHUN
Ulama sepakat,
jika borg rusak dengan sengaja
perusaknya bertanggung jawab. Tetapi jika borg
rusak tanpa disengaja pada saat borg
ditangan murtahin maka tidak
dibebankan kepada murtahin tersebut,
sebab borg adalah amanat bagi murtahin.
- PENYELESAIAN
GADAI
Rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan,
sebagai berikut:
1. Rahin melunasi semua hutangnya
2. Pembebasan hutang, dalam bentuk apapun meskipun
utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
3. Pembatalan rahn dari pihak murtahin,
rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal
jika rahin membatalkanya. Menurut
ulama Hanafiyah murtahin diharuskan
untuk mengatakan pembatalan borg
kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi, kecuali dengan
memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang. Ulama
hanafiyah berpendapat bahwa rahn
dipandang batal jika murtahin membiarkan
borg pada rahin sampai dijual.
4. Borg yang diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Safi’iyah
memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya sebab borg merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan.
Selain itu dipandang habis pula rahn
jika murtahin meminjamkan borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahin.
5. Dipaksa menjual borg
Rahn habis jika hakim
memaksa rahin untuk menjual borg, atau hakim menjualnya jika rahin menolak.
6. Rahin atau murtahin
meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin.
Juga dipandang batal jika murtahin
meninggal sebelum mengembalikan borg
kepada rahin.
7. Borg rusak
8. Tasharruf
dan borg
Rahn dipandang habis
apabila borg ditasharufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan
lain-lain atas seizin pemiliknya.
- APLIKASI GADAI
Sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn
tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antar pribadi dan lembaga
keuangan seperti bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan pihak
bank juga menuntut barang agunan yang dipegang bank sebagai jamina atas kredit
tersebut. Dalam istilah bank barabg agunan disebut sebagai collateral. Collateral
ini sejalan dengan marhun yang
berlaku dalam akad rahn yang
dibicarakan ulama klasik.
Perbedaanya
terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan oleh bank. Kredit dibank
biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang yang ditentukan oleh bank.
Oleh sebab itu jumlah uang yang dibayar oleh debitur akan lebih besar yang
dipinjam dari bank.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1. Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai
produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain seperti
dalam pembiayaan bai’al-murabahah.
Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Produk Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensioanal.
Bedanya dengan gadai biasa, dalam rahn
nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dari nasabah adalah biaya
penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan
ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah
dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah,
akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain:
1. Akad al-qardhul
hasan
Akad ini dilakukan pada kasus
nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian,
nasabah (rahin) akan memberikan biaya
upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau
merawat barang gadaian.
2. Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk
nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan
investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan,
sampai modal yang dipinjami terlunasi.
3. Akad ba’i
almuqoyadah
Akad ini dilakukan untuk
nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha berupa
pembelian barang modal. Dengan demikian murtahin
akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin(Sudarsono,2003:164)
Pada dasarnya
konsep hutang piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini
tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai
yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran
sebagaimana disebutkan dalam Al-qur’an surat Al-baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan
biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya
sendiri untuk syahnya suatu perjanjian hutang. Dalam hal ini biaya-biaya
seperti materai, dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita
kenal dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu
tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang secara syariah.
Perjanjian hutang piutang juga
diperlukan bagi keperluan komersil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini
untuk keperluan komersil, maka biasanya kelengkapan gadai yang cukup menjadi
persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya
pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai sejumlah
harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah
melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qaradhul hassan atau melakukan hutang
piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah
- PEGADAIAN SYARIAH
1. Struktur pegadaian syariah
Unit layanan
gadai syariah merupakan satu unit organisasi dibawah binaan divisi usaha lain
perum pegadaian. Dalam pengelolaan pegadaian syariah, perum pegadaian
memisahkan antara pegadaian konvensional dan pegadaian syariah, baik mengenai
laporan keuangan, kebijakan pengelolaan dan kegiatan operasionalnya.
Dalam menjalankan usaha gadai syariah,
pegadaian syariah berpedoman pada fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN), yang
merupakan badan pengawas lembaga keuangan syariah bank dan non bank yang
dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam kantor pusat perum pegadaian ada Dewan Pengawa Syariah (DPS).
Fungsi DPS adalah sebagai berikut:
a. Mengawasi jalanya operasionalisasi
pegadaian sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syari’at.
b. Membuat pernyataan secara berkala bahwa
lembaga yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
c. Meneliti dan membuat rekomendasi produk
baru berdasarkan fatwa dari DSN.
Fungsi DSN adalah sebagai
berikut:
a. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan
syariah agar sesuai dengan syariah.
b. Meneliti dan memberi fatwa bagi
produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.
c. Memberikan rekomendasi para ulama yang
akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan.
d. Memberi teguran kepada lembaga keuangan
syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah
ditetapkan.(Sudarsono,2003:35)
Fatwa DSN
yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syariah adalah Fatwa DSN
No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn)
dan Fatwa DSN No. 2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat ini
pegadaian syariah hanya melayani satu jenis akad yaitu ijarah (jasa penyewaan
tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah
belum dilakukan oleh pegadaian karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
2. Tujuan pendirian pegadaian syariah
Visi pegadaian syariah adalah
menjadi lembaga keuangan syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya
adalah:
a. Memberikan kemudahan kepada masyarakat
yang ingin melaksanakan transaksi yang halal.
b. Memberikan superior return bagi investor.
c. Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan.
Tujuan
pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stake holder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu
masyarakat, investor, dan karyawan.
3. Perbedaan pegadaian syariah dengan
konvensional
Pegadaian syariah tidak
menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga
pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan dengan cara memberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang,
bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang
harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.
Variabel biaya dalam pegadaian
konvensional meliputi:
a. Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar
1% dari uang yang dipinjam.
b. Biaya sewa modal yang dihitung dari:
·
Pinjaman
kurang dari Rp. 20.000.000 dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
·
Pinjaman
lebih dari Rp. 20.000.000 dengan masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar
1%.
Variabel biaya dalam pegadaian
syariah meliputi:
a. Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai
berikut:
·
Rp
20.000. – Rp 150.000 = Rp 1.000
·
Rp
155.000. – Rp 500.000 = Rp 3.000
·
Rp
505.000 – Rp 1.000.000 = Rp 5.000
·
Rp
1.050.000 – Rp 10.000.000 = Rp 15.000
·
10.050.000
– dan seterusnya = Rp 25.000
b. Biaya jasa simpan yang dihitung sebagai
berikut:
Biaya jasa simpan dihitung per
10 hari, dengan rumus sebagai berikut:
Nilai Barang / Rp 10000 x Tarif
c. Tarif yang dikenakan:
Emas = Rp 90
Barang
Elektronik = Rp 95
Motor = Rp 100
Perbedaan teknis antara
pegadaian syariah dan pegadaian konvensional
No.
|
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian Konvensioanal
|
1.
|
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
|
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
|
2.
|
Jasa simpanan berasarkan taksiran
|
Sewa modal berdasarkan pinjaman
|
3.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada
masyarakat.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada
masyarakat.
|
4.
|
Jasa simpanan dihitung berdasarkan konstanta x taksiran
|
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase x uang pinjaman
|
5.
|
Uang pinjaman 90% dari taksiran
|
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran,
golonganB, C, dan D: 86-88% dari taksiran
|
6.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan
|
Maksimal jangka waktu 3 bulan
|
7.
|
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan +
biaya penjualan)
|
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya
lelang)
|
8.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada lembaga
ZIS
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik
pegadaian.
|
4. Operasional pegadaian syariah
Seperti
halnya pegadaian konvensioanal, pegadaian syariah juga menyalurkan uang
pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai
syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukan bukti identitas diri dan
barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang
tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi
pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses juga
singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau
dari aspek landasan konsep teknik transaksi, dan pendanaan, pegadaian syariah
memiliki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian
konvensional. Pegadaian syariah dalam pengoperasianya menggunakan metode
Fee Based Income (Tim Indonesia
School of life, 2003).
Sesuai
dengan landasan konsep rahn, pada
dasarnya pegadaian syariah berjalan diatas dua akad transaksi syariah yaitu:
a. Akad Rahn.
Rahn yang dimaksud adalah menhan
harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjamanyang diterimanya, pihak yang
menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan
atas utang nasabah.
b. Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak
guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini
dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak
milik nasabah yang telah melakukan akad (Nugraha, 2004).
Adapun teknis pelayanan dalam
pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
a. Nasabah menjaminkan barang kepada
pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir
barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
b. Pegadaian syariah dan nasabah menyepakati
akad gadai. Akad ini
meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpan dan biaya administrasi,
dan jatuh tempo pengembalian pinjaman yaitu 120 hari (4 bulan)
c. Pegadaian syariah menerima biaya
administrasi dan biaya jasa simpan oleh nasabah.
d. Nasabah menebus barang yang digadaikan
setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo nasabah belum dapat
mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1 (satu) kali masa jatuh tempo,
demikian seterusnya.
e. Apabila nasabah tidak dapat mengembalikan
uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, selanjutnya pegadaian
melakukan kegiatan pelelangan untuk menjual barang tersebut dan mengambil
pelunasan uang pinjaman oleh nasabah dari hasil penjualan barang gadai.
Operasi
pegadaian syariah menggambarkan hubungan diantara nasabah dan pegadaian.
Implementasi dari prinsip syariah yang dilakukan oleh operasional lembaga
pegadaian syariah, dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a. Pegadaian syariah hanya melakukan
dua jenis akad, yaitu rahn (menahan
barang jaminan) dan Ijarah (jasa simpan barang), dengan ketentuan sebagai
berikut:
·
Pegadaian
syariah memperoleh pendapatan dari jasa atas penyimpanan jaminan
·
Tarif
dihitung berdasarkan volume dan nilai marhun
·
Tarif
tidak dikaitakan dengan uang pinjaman.
·
Dipungut
dibelakang pada saat rahin melunasi
hutangnya.
b. Barang yang dapat digadaikan di pegadaian
syariah hanya berupa:
·
Barang-barang
perhiasan dan berlian
·
Kendaraan
bermotor.
·
Barang
elektronik
c.
Pelunasan pinjaman, dilakukan dengan cara:
·
Rahin membayar pokok pinjaman dan jasa simpana
sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan.
·
Menjual
marhun apabila rahin tidak memenuhi kewajibnnya pada tanggal jatuh tempo.
d. Penjualan marhun
·
Penjualan
marhun adalah upaya pengembalian marhun bih beserta jasa simpanan yang
tidak dilunasi sampai batas waktu yang ditentukan.
·
Pemberitahuan
dilakukan paling lambat 5 hari sebelum tanggal penjualan melalui mekanisme:
surat pemberitahuan ke alamat nasabah, telepon dan atau diumumkan di papan
pengumuman kantor cabang, informasi dikantor kelurahan.
Dari
landasan syariah tersebut maka mekanisme operasional pegadaian syariah dapat
digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn,
nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan
merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbal
dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai
investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses
kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa
kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Pegadaian
syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut
bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang
pinjaman. Sehingga disini dapat dikatakan proses pinjam meminjam uang hanya
sebagai ”lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya
di pegadaian.
Adapun ketentuan atau
persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi:
a. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik
atau bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b.
Marhun bih. Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan
kepada murtahin dan bisa dilunasi
dengan barang yang dirahankan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
c.
Marhun. Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman,
memiliki nilai, jelas ukuranya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan
baik materi maupun manfaatnya.
d.
Jumlah
maksimum dana rahn dan nilai
likuidasi barang yang dirahnkan serta
jangka waktu rahn ditetapkan dalam
prosedur.
e.
Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa:
biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, dan biaya pengolahan serta
administrasi.
Untuk
dapat memperoleh layanan dari pegadaian syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya (emes, berlina, kendaraan dan lain-lain) untuk
ditipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staff penaksiran akan
menentukan nilai taksiaran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai
patokan perhitngan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang
pinjaman yang dapat diberikan.. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai instrinsik dan harga pasar
yang telah ditetapkan oleh perum pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat
diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah
melalui tahapan ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan:
a.
Jangka
waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
b.
Nasabah
bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp. 90,- dari kelipatan taksiran Rp.
10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
c.
Membayar
biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat pencairan
uang pinjaman.
Nasabah dalam hal ini
diberikan kelonggaran untuk:
a.
Melakukan
penebusan barang atau pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat
bulan.
b.
Mengangsur
uang pinjamn dengan membayar terlebih dahulu jasa simpanan yang sudah berjalan
ditambah bea administrasi.
c.
Atau
hanya membayar jasa simpananya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo
nasabah belum mampu melunasi pinjaman
uangnya.
Jika nasabah
sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpanan, maka
pegadaian syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih
antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan
uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu
tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata
nasabah tidak mengambil uang tersebut, pegadaian syariah akan menyerahkan uang
kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
5. Pendanaan
Aspek syariah
tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan
pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas
dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk
dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri
ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawaban.
Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebaga fundernya, ke depan pegadaian juga akan
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangn syariah lain untuk mebackup modal kerja.
- RIBA DAN GADAI
Menurut (Sabiq,
1987:141-143), akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin
hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang
adalah tak ubahnya seperti qiradh yang
mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiardh.
Yang mengalirkan manfaat adalah riba, jika borgnya bukan berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau
binatang ternak yang bisa diambil susunya. Jika berbentuk binatang atau ternak,
murtahin boleh memanfaatkan sebagai
imbalannya memberi makan binatang tersebut. Murtahin
boleh meanfaatkan binatang tersebut.
- DAFTAR PUTAKA
Antonio
Syafi’i,2001.Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek,Gema insani Press:Jakarta.
Anshori,
Abdul Ghofur,2006.Syariah di Indonesia,Gajah Mada University Press:Yogyakarta
Anshori
Rachmat,2004.Fiqih Muammalah,Cv Pustaka Setia:Bandung
[1] Muhammad Asy-Syarbani, Mugni Al-Muhtaj,
juz II.hlm.121
[2] Ibnu Qodamah, Mugni Al-Mukhtar, juz
V.hlm. 340
[3] Al-Kasni, Al-Badai’ Ash-Shana’i fi
Tartib Asy-Syara’i, juz VI. Hlm. 135
[4] Ibid.
[5] Ibid, juz VI,hlm.134
[6] Ibnu
Qadamah, Op.Cit, juz IV.hlm.135-140
[7] Ibnu
qudamah, Op Cit, juz IV.hlm.327
[8] Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, juz
V.hlm.340
[9] Al-Kasni, Op.Cit, juz VI, hlm. 146
[10] Ibnu Qadamah, Op.Cit, juz IV. Hlm.139
[11]
Ad-Dausaqi, juz III.hlm.241dst
[12]
Muhammad asu-syarbani, op.Cit., juz II.
Hlm.131
[13] Al-kasni. Op.Cit., juz VI.hlm.146
[14] Loc.Cit
[15]
Muhammad Asy-syarbani, Op.Cit., juz VI. Hlm.146
[16] Ibnu
Qadamah, Op.Cit, juz IV.hlm. 38
http://goo.gl/YPwtvF
ReplyDelete