I. PENDAHULUAN
Allah telah mengharamkan riba dalam segala aspek
kehidupan, maka sebagai alternatif pengganti riba tersebut adalah aktivitas
bagi hasil (profit and loss sharing). Pada dasarnya aktivitas bagi hasil
tersebut merupakan bentuk kemitraan dalam menjalankan suatu usaha, dimana tidak
ada seorang pun yang terus menerus mendapatkan hasil sementara pihak lainnya
harus bekerja dengan menanggung sepenuhnya resiko. Dalam kemitraan semua pihak
secara bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan. Dalam Islam dikenal
beberapa pola kemitraan, salah satunya mudharabah.
A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mudharabah
Pengertian
Mudharabah berasal dari kata dharaba fi al-ardl, yaitu bepergian
untuk berdagang.
Mudharabah
(Chapra, 2000) adalah
sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut shahibul-maal
atau rabbul-maal ‘penyedia dana’menyediakan sejumlah modal tertentu dan
bertindak sebagai mitra pasif (mitra tidur), sedangkan mitra yang lain disebut
mudharib yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan
ventura, perdagangan, industri, atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba. Sang
mudharib merupakan orang yang diberi amanah dan juga suatu agen bisnis. Sebagai
orang yang diberi amanah, ia dituntut untuk bertindak denga hati-hati dan
kepercayaan yang baik serta bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi
karena kelalaiannya. Sebagai agen, ia diharapkan mempergunakan dan mengelola
modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi bisnis mudharabah
tanpa melanggar nilai-nilai Islam.
Dasar Hukum
Jika
ditinjau dari segi hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut Al Quran, Sunnah maupun
Ijma.Menurut Al Quran (73;20). (2,198).
020. Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya
kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Qur'an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
198. Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
`Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
Kedua ayat tersebut di atas secara umum
memperbolehkan (Jaiz) mudharabah
berdasarkan ijma.
Rasulullah
pernah melakukan mudharabah dengan khadijah, dengan modal daripadanya
(Khadijah). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk
diperdagangkannya. Ini sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Disamping itu ada
alasan lain yang dipergunakan oleh para ulama, yaitu kasus mudharabah
yang dilakukan oleh Abbas bin Abd Muthalib dan Rasulullah pun mengakui akad
tersebut.
Menurut sunnah diantaranya hadits Ibnu Abbas ra:
“Nabi mengakui syarat-syarat mudharabah yang ditetapkan Al-‘Abbas bin Abdul
Muthalib kepada mudharib.
Menurut Ijma, karena sistem ini sudah dikenal sejak
zaman nabi dan zaman sesudahnya. Para sahabat banyak mempraktikannya dan tidak
ada yang mengingkarinya.
Rukun Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah:
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Objek mudharabah
(modal dan kerja)
3.Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
4.Nisbah keuntungan
Pelaku, jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad
jual beli ditambah faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama
(pelaku) kiranya sudah cukup jelas. Dalam akad mudharabah, harus minimal dua orang. Pihak pertama bertindak
sebagai pemilik modal (shahib al-mal),
sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaku usaha (mudharib atau ‘amil).
Tanpa kedua pihak ini akad mudharabah tidak ada.
Objek. faktor kedua (objek mudharabah)
merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku.
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai
objek mudharabah. Modal yang
diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada,
Para fukaha
sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang
tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan
ketidakpastian (gharar) beserta modal
mudharabah. Namun para ulama mazhab
Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudharib dan
shahibul mal.
Yang jelas tidak boleh adalah modal
mudharabah yang belum disetor. Para fukaha telah sepakat tidak bolehnya
mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal
tidak memberikan kontribusi apa pun padahal mudharib
telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak
sahnya akad.
Persetujuan. Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua
belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama
rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan
diri dalam akad mudharabah.Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan kerja.
Nisbah Keuntungan. Faktor yang keempat
(yakni nisbah) adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada
dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh
kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas
kerjanya, sedangkan shahib al-mal
mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan
mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara
pembagian keuntungan.
Syarat-Syarat Mudharabah
Syarat-syarat mudharabah
(Hasan, 2003)adalah sebagai berikut
1. Syarat yang berkaitan dengan orang yang
melakukan transaksi, harus orang yang cakap bertindak atas nama hukum dan cakap
diangkat sebagai wakil.
2. Syarat yang berkaitan dengan modal, yaitu
berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, diserahkan sepenuhnya kepada pedagang
itu.
Oleh karena itu, apabila modal
itu berbentuk barang, maka menurut ulama tidak diperbolehkan, karena sulit
untuk menentukkan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan hutang, tidak bisa
dijadikan sebagai modal mudharabah. Namun, apabila modal itu berupa al-wadi’ah (titipan) pemilik modal
kepada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah.
Menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i apabila modal itu
dipegang sebagiannya oleh pemilik modal tidak diserahkan sepenuhnya, maka akad
itu tidak dibenarkan. Namun menurut Mazhab hambali, boleh saja sebagian modal
itu berada di tangan pemilik modal, asal saja tidak mengganggu kelancaran jalan
perusahaan tersebut.
3. Syarat yang berkaitan dengan keuntungan,
bahwa pembagian keuntungan harus jelas persentasenya seperti 60%:40%, 50%:50%
dan sebagainya menurut kesepakatan bersama. Biasanya dicantumkan dalam surat
perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan demikian, apabila terjadi
persengketaan, maka penyelesainnya tidak begitu rumit.
Apabila pembagian keuntungan
tidak jelas, maka menurut ulama mazhab Hanafi akad itu fasid (rusak). Demikian
juga halnya, apabila pemilik modal mensyaratkan, bahwa kerugian harus
ditanggung bersama, maka akad itu batal menurut mazhab hanafi, sebab kerugian
tetap ditanggung sendiri pemilik modal.
B. Hikmah dan Pembagian Mudharabah
Hikmah
Menurut Sabiq (1987), hikmah dari mudharabah
yaitu Islam mensyari’atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada
manusia. Terkadang sebagian seseorang memiliki harta, tetapi tidak mempunyai
kemampuan memproduktifkannya. Dan terkadang ada pula orang yang tidak memiliki
harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syari’at
membolehkan muamalah, ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
Pemilik harta mendapatkan manfaat dengan
pengalaman mudharib (orang yang
diberi modal), sedangkan mudharib
dapat memperoleh manfaat dengan harta (sebagai modal). Dengan demikian
terciptalah kerjasama antara modal dan kerja. Dan Allah tidak mentepkan segala
bentuk akad, melainkan demi terciptanya
kemaslahatan dan terbendungnya kesulitan.
Pembagian Mudharabah
Dilihat dari transaksi (akad) yang
dilakukan pemilik modal dan pekerja (pelaksana), mudharabah terbagi dua:
Ø Mudharabah muthlaqah, yaitu mudharabah tanpa syarat
Ø Mudharabah muqayyadah, yaitu penyerahan modal dengan
syarat-syarat tertentu
Mudharabah muthlaqah pekerja bebas mengolah modal itu dengan
usaha apa saja yang menurut perhitungannya akan mendatangkan keuntungan dan di
arah mana yang diinginkannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah, pekerja
mengikuti syarat-syarat yang dicantumkan dalam perjanjian yang dikemukakan oleh
pemilik modal. Umpamanya, harus memperdagangkan barang-barang tertentu,
didaerah tertentu, dan membeli barang pada toko (pabrik) tertentu.
Perbedaan pendapat ini, muncul,
disebabkan, apakah sifat akad kedua belah pihak dalam pengertian, bahwa
masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad tersebut secara sepihak atau
akad itu sifatnya tidak mengikat sama sekali.
Menurut Imam Malik, bahwa apabila
perdagangan itu telah dimulai oleh pekerja, maka akaditu bersifat mengikat
kedua belah pihak dan tidak dibenarkan dibatalkan secara sepihak oleh
masing-masing pihak yang berakad, karena jelas merugikan dan mendapat mudarat
kepada pihak lain. Namun, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hambali menyatakan, bahwa akad itu tidak bersifat mengikat, sekalipun pekerjaan
telah dimulai, karena pekerja di sini melakukan tindakan hukum pada milik orang
lain yang seizinnya. Oleh sebab itu masing-masing pihak dapat saja membatalkan
akad tersebut, seperti halnya dalam akad al-wadi’ah (barang titipan).
Namun, walaupun bagaimana, jika terjadi pembatalan, maka harus diberitahukan
pembatalan itu kepada pihak lain. Dilihat dari segi stika, memang harus
demikian, agar hubungan tetap dapat terpelihara dengan baik.
Apabila mudharabah tersebut telah
memenuhi rukun dan syarat, maka hukum-hukumnya adalah sebagai berikut:
·
Modal
ditangan pekerja adalah berstatus amanah dan seluruh tindakannya sama dengan
tindakan seorang wakil dalam jual beli. Apabila terdapat keuntungan maka status
pekerja berubah menjadi serikat dangang yang memiliki pembagian dari keuntungan
dagang tersebut.
·
Apabila
akad itu terbentuk mudharabah muthlaqah, maka pekerja bebas mengelola modal
tersebut dengan jenis barang apa saja, di daerah mana saja, dengan siapa saja,
asal saja apa yang dilakukan itu diperkirakan akan mendapatkan keuntungan. Tetapi
pekerja tidak boleh mengutangkan modal tersebut kepada orang lain dan tidak
boleh pula mengadakan mudharabah dengan pihak lain dari modal yang diterimanya
itu.
·
Pekerja
dalam akad mudharabah berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan kesepakatan
bersama. Kemudian timbul perbedaan pendapat, apakah nafkah (biaya hidup)
pekerja, diambilkan dari modal atau tidak?
Imam Syafi’i menyatakan, bahwa
pekerja tidak boleh mengambil biaya hidupnya dari modal tersebut, sekalipun
bepergian untuk keperluan dagang itu, kecuali dnegan seizin pemilik modal.
Sedangkan Imam Abu hanifah, Imam Malik dan ulama Mahzab zaidiyah berpendapat,
bila kepergian itu ada hubungannya dengan dagang tersebut, maka biayanya dapat
diambil dari modal itu (biaya operasional).
Mazhab Hambali mengatakan,
bahwa pekerja boleh mengambil biaya hidupnya dari modal itu, selama ia mengolah
modal tersebut. Demikian juga halnya dengan biaya bepergian.
Pada dasarnya semua persoalan
hendaknya dikembalikan kepada isi perjanjian yang dibuat dan disepakati bersama.
·
Jika
kerjasama itu mendatangkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan
keuntungan dan modalnya juga kembali. Tetapi, jika tidak mendapatkan
keuntungan, maka pemilik modal tidak mendapatkan apa-apa. Sama saja halnya
dengan pekerja tidak mendapat apa-apa, walaupun telah memeras otak dan tenaga.
C. Fatwa DSN tentang Mudharabah
FATWA
DEWAN SYARI’AH
NASIONAL
NO:
07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan dana lembaga keuangan syari’ah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan
dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu
usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS)
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah)
bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak;
b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai
dengan syari’ah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang mudharabah
untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
يَآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ...
“Hai
orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu…”.
2. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …
“Hai
orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283:
..فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ...
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
4. Hadis Nabi riwayat Thabrani:
كَانَ
سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ
مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ
يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ،
فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
“Abbas bin Abdul Muthallib jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar
tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ
فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ
الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب)
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual
beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah
dari Shuhaib).
6. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin
‘Auf:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا.
“Perdamaian dapat dilakukan di antara
kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
7. Hadis Nabi:
لاَضَرَرَ
وَلاَضِرَارَ
(رواه ابن ماجه والدارقطني وغيرهما عن أبي سعيد
الخدري)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id
al-Khudri).
8. Ijma.
Diriwayatkan, sejumlah sahabat
menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah
dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang
sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989,
4/838).
9.
Qiyas.
Transaksi mudharabah diqiyaskan
kepada transaksi musaqah.
10. Kaidah
fiqh:
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ
اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah
boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Memperhatikan : Pendapat
peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29
Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA
TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS
kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah)
bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan
pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam
managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk
tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,
namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan
dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati
bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi
atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia
dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan
dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal
ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal
harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal
dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada
mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan
hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui
dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi
(nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah,
dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan
usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan
yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1. Mudharabah
boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak
tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang
belum tentu terjadi.
3. Pada
dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini
bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan
di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H. 4
April 2000 M
D. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil (Tulisan
Sula, 2004)
Meskipun
mudharabah (profit-sharing) dan pinjaman berbunga kelihatannya serupa, namun
perbedaannya jelas lebih dari sekedar perbedaan semantik. Dalam Profit-sharing hasilnya tidak dijamin.
Sedangkan, dalam pinjaman berbunga, maka pinjaman tersebut tidak tergantung
pada hasil yang untung dan rugi, dan biasanya terjamin. Sehingga, si debitur
harus mengembalikan modal yang dipinjam ditambahkan jumlah bunga yang pasti
(atau sudah ditetapkan sebelumnya) tanpa peduli dengan bagaimana hasil dari
penggunaan modal pinjaman itu. Dengan demikian, pada pinjaman berbunga,
kerugian finansial sebagian langsung kepada si peminjam.
Dalam
mudharabah, kerugian finansial sepenuhnya ditanggung oleh pemberi pinjaman.
Sementara itu, pengusaha hanya rugi waktu dan tenaga yang diinvestasikan dalam
perusahaan, dan tidak mendapatkan imbalan apa pun dari pekerjaannya. Distribusi
ini secara efektif memperlakukan modal manusia (tenaga) sama dengan modal
finansial.
Ada
dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan
tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing:
- Investasi
adalah kegiatan usaha yang mengandung resiko karena berhadapan dengan
unsur ketidakpastian.Dengan demikian, perolehanan kembaliannya (return) tidak
pasti dan tidak tetap.
- Membungakan
uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan
kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap.
Secara singkatnya, perbedaan bunga dengan bagi
hasil
Bunga
|
Bagi Hasil
|
A. Penentuan
bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
A. Penentuan
besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung rugi
|
B.Besarnya
persentase berdasarkan jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
B. Besarnya
rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
C. Pembayaran
bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang
dijalankan oleh nasabah untung atau rugi
|
C. Bagi hasil
tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
D. Jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau
keadaan ekonomi sedang booming.
|
D. Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
|
E. Eksistensi
bunga diragukan ( kalau tidak dikecam ) oleh semua agama termasuk Islam
|
E. Tidak ada
yang meragukan keabsahan bagi hasil
|
E. Aplikasi Mudharabah di Bank Syariah
Dalam
kitab-kitab klasik fiqih Islam, hanya dijumpai skema mudharabah yang berlaku antara dua pihak saja secara langsung,
yakni shahib al-mal berhubungan
langsung dengan mudharib. Dan inilah
sesungguhnya praktik mudharabah yang
dilakukan oleh nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam kasus
ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib
al-mal (sebagai surplus unit)
dengan mudharib (sebagai deficit unit).
Dalam direct financing ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada.
Mudharabah
klasik seperti ini
memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan
langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib al-mal hanya mau menyerahkan
modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik-profesionalitas maupun
karakternya.
Modus mudharabah seperti ini tidak efisien
lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa
hal:
1. Sistem kerja pada bank adalah investasi
berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali
kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.
2. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan
dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahib
al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam
menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang
disalurkan.
Untuk mengatasi hal di atas, khususnya
masalah pertama dan kedua, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas
skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan tiga pihak.
Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara
yang mempertemukan shahib al-mal
dengan mudharib. Jadi, terjadi
evolusi dari konsep direct financing
menjadi indirect financing.
Dalam skema indirect fianancing, bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber
dananya. Dana-dana tersebut dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu yang
bervariasi. Selanjutnya, dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali
oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Nah, keuntungan dari
penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dan pemilik
dana (pemilik dana ketiga), sebagai ilustasi adalah produk yang ada pada Bank
Muamalah Indonesia. Salah satu produknya adalah Tabungan Mudharabah.
Tabungan Mudharabah adalah simpanan pihak
ketiga di BMI yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa hari
sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini BMI bertindak sebagai mudharib dan
deposan sebagai shahibul al-maal. BMI sebagai mudharib akan membagi keuntungan
kepada shahibul al-maal sesuai dengan nisbah (persentase) yang telah disetujui
bersama.
Pembagian keuntungan dapat dilakukan
setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode waktu
tersebut. Umpamanya, seorang pemilik Tabungan Mudharabah sebesar 5 juta. Nisbah
(perbandingan) bagi hasil 50%:50%. Diasumsikan total saldo rata-rata dari
Tabungan Mudharabah di BMI ada 100 juta dan keuntungan yang diperoleh dari dana
tabungan sebesar Rp 3 juta. Pada akhir bulan, nasabah akan memperoleh dana bagi
hasil sebagai berikut:
5.000.000 x 3.000.000 x 50% =
Rp.75.000
100.000.000
F. Jaminan (Colateral) dalam Mudharabah
Investor tidak dapat menjamin dari pihak mudharib untuk memastikan kembalinya
modal yang diberikan atau modal beserta keuntungan (profit). Karena dalam
kontrak mudharabah, hubungan antara investor dan mudharib terikat dalam satu
gadaian yang saling mempercayakan. Pihak investor melalui modalnya dan pihak mudharib melalui mengelola usahanya.
Sehingga, ada jaminan (garansi) akan menjadi kontrak tidak sah. Jika investor
menuntut adanya persyaratan jaminan (garansi) beserta ketentuan-ketentuannya
kepada mudharib dalam terminologi kontrak mudharabah,
menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, kontrak tersebut tidak sah.
G. Aplikasi Mudharabah di LKS Lainnya:
Asuransi
Dalam
rangka menghindari praktik riba pada lembaga keuangan syariah, maka mudharabah
pun dilakukan pada di lembaga asuransi. Praktik mudharabah dalam
asuransi, terlihat pada asuransi jiwa (takaful keluarga) dan asuransi kerugian
(takaful umum). Aplikasi mudharabah pada takaful keluarga dapat dilihat
misalnya perhitungan rate premi. Cara perhitungan dengan asumsi bunga tetap
(bunga teknik) diganti dengan skim mudharabah (bagi hasil), demikian
juga dalam skim-skim investasi dan perhitungan surplus underwriting. Penentuan
hak atas dana hasil investasi (produk saving) dan hak atas dana dari surplus
underwriting (produk non saving) semuanya bebas dari bunga, dan sebagai gantinya digunakan instrument
mudharabah. Dengan demikian, takaful keluarga dalam sistem
operasionalnya benar-benar bersih dari praktik riba.
v Implementasi al Mudharabah pada Asuransi
Jiwa ( Life Insurance)
Berikut ini beberapa bagian dalam
operasional di mana Takaful keluarga (asuransi jiwa) menggunakan sistem mudharabah
sebagai berikut:
- Bagi hasil
dalam Deposito dan Sertifikat Deposito Bank-Bank Syariah.
- Bagi hasil
dalam Direct Invesment
- Bagi hasil
dalam penyertaan saham, obligasi, reksadana, leasing dan investasi syariah
lainnya.
- Bagi hasil
antara peserta dan perusahaan atas hasil investasi berdasarkan skema yang
diperjanjikan (dalam produk jiwa yang mengandung saving)
- Bagi hasil
atas surplus underwriting antara peserta dengan perusahaan (dalam produk
asuransi jiwa non saving).
- Bagi hasil
dalam penentuan rate premi pada produk-produk saving maupun non
saving
Contoh perhitungan mudharabah dalam produk non
saving
ü Ada 10 peserta
ü Premi per peserta 1 jt
ü Jumlah premi 10 jt
ü Loading/biaya 30%
ü Hasil Investigasi setara dengan 10%
ü Biaya Reas 1,5 juta
ü Biaya Klaim 2 jt
ü Bagi Hasil: 40% peserta dan 60% perusahaan
asuransi
Perhitungannya adalah sebagai berikut:
ü Premi 10.000.000
ü Loading (biaya akuisisi) (3.000.000)
ü Biaya Reas (netto) (1.500.000)
ü Premi netto 5.500.000
ü Biaya klaim (2.000.000)
ü Klaim reas
1.600.000
ü Hasil Investasi 1.000.000
ü Ta’awun (10%) (1.000.000)
ü Surplus yang dibagihasilkan 5.100.000
§ bagian peserta 40% x 5.100.000 = 2.040.000
§ Bagian perusahaan 60% x 5.100.000 =
3.060.000
ü Rate bagi hasil bagi peserta
2.040.000 x 100% =20,4%
10.000.000
ü Jadi perusahaan mengelola = 3.000.000 +
3.060.000 = 6.060.000
ü Ta’awun = membantu kumpulan lain yang
klimnya lebih besar dari premi (kumpulan yang defisit) dalam hal ini
diasumsikan.
v Implementasi al Mudharabah pada Asuransi
Umum (General Insurance)
Pada asuransi umum (kerugian)
dengan prinsip-prinsip syariah, implementasi sistem mudharabah dapat kita lihat
misalnya pada operasional PT Asuransi Takaful umum sebagai berikut.
- Akad mudharabah
- Dengan akad mudharabah berarti surplus
underwriting dari hasil operasi perusahaan dibagi diantara operator dengan
peserta atau partisipan.
- Dasar perhitungan mudharabah
dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang surplus underwriting
yang diperoleh.
- Ketentuan
mudharabah
- Perhitungan mudharabah harus didasarkan
kepada kinerja yang sebenarnya dari Takaful fund (perusahaan asuransi
tersebut)
- Pembayaran mudharabah tidak di offset langsung
dengan premi renewel kecuali atas permintaan peserta
- Mudharabah tidak dibayarkan di muka
- Persyaratan
pembayaran mudharabah
- Polis telah jatuh tempo
- Premi (takaful kontribusi) telah dibayar
penuh
- Tidak ada pembayaran klaim selama periode covered.
- Formula
perhitungan mudharabah
- Periode takaful
- Takaful kontribusi
- Tanggal pembayaran
- Rate mudharabah
- Tata cara
perhitungan mudharabah
-
Besarnya
mudharabah yang dihitung diperoleh dengan cara rata-rata tertimbang dari
surplus underwriting.
- Rasio mudharabah diperoleh dengan
membagi rata-rata tertimbang mudharabah yang akan dibagikan dengan premi
bruto rata-rata dan dibulatkan ke atas.
- Tata cara
pembayaran mudharabah
- Cadangan mudharabah dibagikan
kepada peserta yang selesai pertanggungannya dengan menggunakan rate
atas premi yang disetor peserta.
- Peserta yang menerima mudharabah
adalah peserta yang tidak mendapatkan manfaat klaim.
- Peserta yang melakukan keterlambatan
pelunasan diberikan mudharabah secara proposional.
- Peserta yang telah jatuh tempo polisnya
dikirimi surat konfirmasi untuk penentuan pembayaran mudharabahnya.
- Pengiriman surat konfirmasi mudharabah
bersamaan dengan pengiriman surat konfirmasi perpanjangan yang dilakukan customer
care.
- Konfirmasi mudharabah dari nasabah
segera diserahkan ke divisi keuangan untuk segera dibayarkan.
- Sistem
pembayaran mudharabah
- Transfer melalui bank
- Cek atas nama tertanggung
- Cash (tunai)
- Transfer ke rekening koperasi peserta
- Disumbangkan ke lembaga zakat
Contoh 1: Perhitungan mudharabah (General
Insurance)
ü Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü Tanggal pembayaran 01/01/02
ü Rate Mudharabah 10%
ü Mudharabah : 10% x 3.000.000 = 300.000
Contoh 2:
ü Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü Tanggal pembayaran 01/02/02
ü Rate Mudharabah 10%
ü Mudharabah : 10% x 335/365 x 3.000.000 =
275.000
Contoh 3:
ü Periode takaful 01/01/02 - 31/12/02
ü Takaful kontribusi Rp.3.000.000
ü Rate Mudharabah 10%
ü Tanggal pembayaran :
- 01/02/02 Rp. 1.500.000
- 01/06/02 Rp. 1.500.000
ü Mudharabah :
-
10% x
335 x 1.500.000 = 137.671
-
10% x
214/265 x 1500.000 = 87.945
H. Pembatalan Mudharabah
Akad
mudharabah dinyatakan batal (berakhir), apabila:
·
Masing-masing
pihak menyatakan, bahwa akad tersebut batal, atau pekerja dilarang bertindak
untuk menjalankan modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya.
Hendaknya diingat sebagimana telah disinggung terdahulu, bahwa kurang etis
apabila pembatalan itu datangnya dari sepihak.
·
Salah
seorang yang berakad meninggal dunia. Menurut jumhur ulama jika pemilik modal
meninggal dunia, maka akad tersebut batal, karena akad mudharabah sama dengan
akad wakalah (perwakilan) yang gugur disebabkan wafat orang yang mewakilkan.
Disamping itu, akad mudharabah tidak dapat diwariskan (jumhur ulama). Namun, Mazhab
ulama Maliki berpendapat, bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal
dunia, maka akadnya tidak batal dan dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena
menurut mereka akad mudharabah dapat diwariskan. Pada umumnya dalam masyarakat
pada saat in, pendapat Mazhab Maliki dipergunakan orang.
·
Salah
seorang yang berakad gila, karena orang gila tidak dapat bertindak atas nama
hukum.
·
Pemilik
modal murtad (keluar dari agama Islam). Menurut Imam Abu hanifah akad mudharabah
menjadi batal, karena kemurtadan itu.
Berdasarkan pendapat ini
berarti tidak dibenarkan mengadakan akad mudharabah dengan non muslim.
·
Modal
telah habis terlebih dahulu, sebelum dikelola oleh pekerja. Umapamanya, setelah
dibuat perjanjian akad, modal tidak jadi diserahkan, apakah karena
dibelanjakan, dicuri orang atau sebab-sebab lainnya.
III. PENUTUP
Mudharabah merupakan aktivitas bisnis
yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dalam Mudharabah terjadi kerjasama antara pemodal (shahibul al-maal) dengan pekerja (mudharib) dimana keuntungan yang diperoleh akan dibagi hasilkan
sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Mudharabah
ini digunakan sebagai salah satu instrumen pengganti instrumen bunga/riba.
Sesuai dengan perkembangan zaman, mudharabah dimodifikasi dengan mengikutkan
peran lembaga intermediasi, seperti halnya perbankan, asuransi dan lembaga
keungan syariah lainnya.
Daftar Pustaka
Chapra, M Umer
(2000): Ekonomi Moneter, Jakarta,
Gema Insani
Hasan, M Ali
(2003): Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam (Fiqih Muamalat), Jakarta, RajaGrafindo Persada
Karim, Adiwarman
(2004): Bank Islam Analisi Fiqih dan
Keuangan, Edisi Dua, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Sabiq (1987): Fikih Sunnah 12, Bandung, Alma’arif
Siddiqi, M
Nejatullah (1996): Kemitraan dan Bagi
Hasil Dalam Hukum Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa.
Sula, Muhammad
Syakir (2004): Asuransi Syariah, Konsep
dan Sistem Operasional, Jakarta, Gema Insani
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...