Islam is The Solution
Islam
Komprehensif
Islam sebagai ad-din
mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna ( syumul ). Islam mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah,
khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam
tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Artinya
:
Al-An’am
ayat 38 :
مَّافَرَّطْنَا
فِي الْكِتَابِ مِن شَىْءٍ
Artinya
:
An-Nahl
ayat 89 :
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya
:
Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh
intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb
yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a
complete civilization.”
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan
manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam
tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para
ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat
besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah
perekonomian, bukan masalah ibadah
(mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah
Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah
ekonomi).
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar
pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis)
sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai
perdagangan.
عليكم بالتجارة فان
فيها تسعة اعشار الرزق
( رواه احمد)
“ Hendaklah kamu kuasai
bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada
dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)
ان أطيب الكسب كسب التجار
”Sesungguhnya
sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber
Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt,
hlm 86.)
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam
pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam.
Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah,
musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i
salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang
sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu
ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama
Islam klasik sangat melimpah.
Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim
Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam.
(London, Islamic Fountaion, 1976)
Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic
Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd)
, 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,
Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah
muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi),
Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang
kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo
(intelektual asal Scotlandia) pernah
menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana IAIN Medan,
bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.
Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam
itu cukup maju dan berkembang. Prof. Dr. M.M. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan
:
“Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi
yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga,
hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang,
pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan
pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak
milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang
dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya.”(Shiddiqy,
Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature,
dalam buku Studies in Islamic
Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King
Abdul Aziz Jeddah and The Islamic
Foundation, United Kingdom, 1976, hlm.
261.)
Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh
mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.
(Bahasa Inggris ini tidak dibacakan dalam khutbah,
cukup arti atau maknanya saja).
Ibnu Khaldun
discovered a great number of fundamental economic notions a few
centuries before their official births. He discovered the
virtue and the necessity of a division
of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He
elaborated a theory of population before Malthus and
insisted on the role of the state in the economy before Keyneys.
But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent
dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic
activity to long term fluctuation.....[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun:
A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5)
September –October 1971: 1105-1118
(Artinya, “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi
fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu
pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum
Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan
mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih
dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami
di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi
jangka panjang…:”)
Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi
Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif
panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran
–ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam
dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak
selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan
terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah
kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi
(kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama,
sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan
sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi
berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika
ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka
melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran
ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah
ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam
firman Allah dalam Al-Quran
Firman Allah tersebut terdapat dalama surah
Al-Jatsiyah ayat 18 :
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى
شَرِيعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَتَتَّبِعْ أَهْوَآءَ الَّذِينَ
لاَيَعْلَمُونَ
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah,
maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui”
Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan
intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan
oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi
mengatakan dalam buku ”Muslim
Economic Thinking”, sebagai berikut
“The ascendancy of the
Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in
the second century to Tusi and
Waliullah we get a contiunity of
serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly,
price control, etc, Unfortunelly
no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic
research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic
Fondation United Kingdom, 1976, p 264)
Artinya, “Kejayaan
peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun,
tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya.
Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari
serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh
mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan
perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi
sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh
pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.
Memasuki Islam Secara Kaffah
Dari paparan di atas
jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya.
Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut
agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT
secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah (
menyeluruh ).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ
“ Hai orang – orang yang beriman, masuklah
kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan,
sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ).
Dalam ayat lain Allah berfirman ,
أَفَتُؤْمِنُونَ
بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Apakah kamu beriman
kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ).
Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara
utuh dan menyeluruh.
Namun,
sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada
Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan
akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan
aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah
dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau
tabungannya, uang mesjid, uang Perguruan
Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum
muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan
secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan
prinsip syari’ah Islam.
Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam
Baru tiga dasawarsa
menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali
kajian ekonomi syari’ah. Ajaran
Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para
ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai
dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak
tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah.
Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan,
berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari
400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa,
Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset
bank mencatat jumlah fantastis 15 %
setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di
atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah
membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar
City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di
Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di
Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit
syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan
Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough
Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di
Inggris. Demikian pula Harvard School of
Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta
lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling
terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas
tentang ekonomi Islam.
Di Indonesia, bank Islam baru hadir
pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank
Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR
Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank
konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang
berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.
Pada November 1997,
16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank
masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan
perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani
membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang
jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem
bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative
spread.
Sedangkan
bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun
rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan
rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi
dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
Pada masa krisis moneter
berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat. Kucuran
kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku
bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda
dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah
sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada
pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di
mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan
pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga
berlangsung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyard,
dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah
CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang
ditetapkan BI (hanya 4%).
Oleh karena itulah pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan
rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan
diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan
arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik
dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem
syari`ah.
Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan
konvensional. Beberapa bank yang
konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank
BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN
Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25
Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT
(Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor
riel.
Kalau pada
masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara
darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di
mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada
lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan
syariah yang bebas riba..
Manfaat
Mengamalkan Ekonomi Syari’ah
Mengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan
manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan
integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial.
Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya
belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan
dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah,
reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah,
atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi
berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur
riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi
syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan
meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah
Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat,
mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau
BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan
ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi
Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri,
sebab dana yang terkumpul di lembaga
keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan
usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti
mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul
tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal.
Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman
keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan
atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.
Penutup
Demikian khutbah ini saya sampaikan semoga
menambah wawasan keislaman bagi kita, dan semoga Allah memberikan hidayahnya
kepada kita untuk mengamalkan syari’ahnya secara kaffah. Kehadiran lembaga-
lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil
(BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal
syari’ah, pegadaian syari’ah, hendaknya kita sambut dengan positif.
Mudah-mudahan kita terpanggil untuk mepelajari keunggulannya dan mengamalkannya
dalam rangka menuju Islam yang kaffah.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...