BAB I
PENDAHULUAN
Karim
(2006:65) menjelaskan bahwa falam fiqh muamalat islam membedakan antara wa’ad
dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak
lainnya. Sementara Akad adalah kontrak kediua belah pihak. Wa’ad
hanya mengikat satu pihak yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya.
Dalam wa’ad, terms and condition nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Dilain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam
akad, terms and condition sudah ditetapkan secara rinci dan
spesifik (sudah well defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak
yang terikat dalam kontrak itu sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka
ia/mereka menerima sanksi seperti yang disepakati dalam akad. Untuk lebih
jelasnya dapat melihat tabel 1.
Wa’ad
|
Akad
|
Wa’ad adalah janji antara satu pihak dengan pihak lainnya
|
Akad adalah kontrak antara kedua belah pihak
|
Wa’ad hanya mengikat satu pihak yakni pihak yang memberi janji
berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya
|
Akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat
|
Jika pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi kewajiban, sanksi yang
diterima biasanya adalah sanksi moral
|
Jika salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak
tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi yang sudah
disepakati dalam akad
|
Selanjutnya dari segi ada atau tidak adanya
kompensasi, fiqh muamalat membagi lagi akad menjadi dua bagian yakni akad
tabarru’ dan akad tijarah. Pada hakikatnya akad tabarru’ adalah akad melakukan
kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah Swt semata itu sebabnya akad ini
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Sedangkan akad tijarah
adalah segala macam perjanjian yang for profit transaction. Akad-akad ini
dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan (Karim : 2006: 66,70).
(Karim
: 2006,67-70) menjelaskan bahwa pada
dasarnya, akad tabarru’ ini adalah memberikan sesuatu (giving something)
atau meminjamkan sesuatu (lending something). Bila akadnya adalah
meminjamkan sesuatu, maka objek pinjamannya dapat berupa uang (lending) atau
jasa (lending yourself). Dengan demikian kita mempunyai 3 (tiga) bentuk
umum akad tabarru’ yakni : meminjamkan uang (lending $), meminjamkan
jasa kita (lending yourself), memberikan sesuatu (giving something).
Konsekuensi logisnya, bola akad tabarru’
dilakukan dengan mengambil keuntungan komersil, maka ia bukan lagi akad
tabarru’ maka berubah menjadi akad tijarah. Bila ingin tetap menjadi akada
tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat dari akad tabarru’ tersebut.
Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya yang timbul dari pelaksanaan
akad tabarru’.
“Memerah susu kambing sekadar untuk biaya memelihara
kambingnya “ merupakan ungkapan yang dikutip dari hadist ketika menerangkan
akad rahn yang merupakan salah satu akad tabarru’.
Menurut Syafi’i Antonio (199), wakalah
adalah penyerahan, pendelegasian atau pemberian amanat. Sedangkan menurut Bank
Indonesia (1999) wakalah adalah akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa
kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
BAB II
LITERATUR REVIEW
2.1
Akad Tabaru
Akad tabarru’
(gratuitos contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non
profit transaction (transaksi
nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari
keuntungan komersil.
Akad tabarru’
dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’
berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan.
Dalam Akad
tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan
imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari
Allah Swt bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan
tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekadar menutupi biaya (cover
the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut.
Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akad tabarru’ itu.
Contoh
akad-akad tabarru adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah,
hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dll. (Karim : 2006,70)
Pada
hakikatnya, akada tabarru’ adalah akad melakukan kebaikan yang mengharapkan
balasan dari Allah swt semata. Itu sebabnya akad ini tidak bertujuan mencari
keuntungan komersil.
Konsekuensi
logisnya, bola akad tabarru’ dilakukan dengan mengambil keuntungan
komersil, maka ia bukan lagi akad tabarru’ maka berubah menjadi akad tijarah.
Bila ingin tetap menjadi akada tabarru’, maka ia tidak boleh mengambil manfaat
dari akad tabarru’ tersebut. Tentu saja ia tidak berkewajiban menanggung biaya
yang timbul dari pelaksanaan akad tabarru’.
“Memerah susu kambing
sekadar untuk biaya memelihara kambingnya “ merupakan ungkapan yang dikutip
dari hadist ketika menerangkan akad rahn yang merupakan salah satu akad
tabarru’.
(Karim : 2006,67-70) menjelaskan bahwa pada dasarnya, akad tabarru’ ini adalah
memberikan sesuatu (giving something) atau meminjamkan sesuatu (lending
something). Bila akadnya adalah meminjamkan sesuatu, maka objek pinjamannya
dapat berupa uang (lending) atau jasa (lending yourself). Dengan
demikian kita mempunyai 3 (tiga) bentuk umum akad tabarru’ yakni :
Meminjamkan uang (lending $)
Akad meminjamkan uang
ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada 3 jenis yakni sebagai berikut :
Ø Bila pinjaman
ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut
setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut
dengan qardh.
Ø Selanjutnya,
jika meminjamkan uang ini, si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam
bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut
dengan rahn.
Ø Ada lagi suatu
bentuk pemberian pinjaman uang dimana tujuannya adalah untuk mengambil alih
piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti
ini adalah hiwalah.
Meminjamkan jasa kita (lending yourself)
Seperti akad meminjamkan
uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis yakni sebagai berikut
Ø Bila kita
meminjamkan “diri kita sendiri” (yakni jasa keahlian/ keterampilan, dan
sebagainya) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama oerang lain, maka hal
ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang
kita bantu tersebut, sebenarnya kita
menjadi wakil atas orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah
Ø Selanjutnya bila
akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita
untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody
(penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman ini disebut akad wadi’ah
Ø Ada variasi lain
dari akad wakalah yakni contigent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal ini, kita bersedia
memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika
terpuenuhi kondisinya atau jika sesuatu terjadi. Misalkan seorang dosen
menyatakan kepada asistennya. “Tugas anda adalah menggantikan saya mengajar
bila saya berhalangan”. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat.
Asisten hanya bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen), bila
dosen yang berhalangan (yakni bila terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi).
Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen. Wakalah bersyarat dalam
terminologi fiqh disebut sebagai akad kafalah.
Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk dalam
golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut : hibah, waqaf, shadaqah,
hadiah, dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan
sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama
maka akadnya dinamakan waqaf. Objek waqaf tidak boleh diperjualbelikan begitu
dinyatakan sebagai aset waqaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian
sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
Begitu
akad tabarru’ sudah disepakati, maka akad tersebut tidak boleh diubah menjadi
akad tijarah (yakni akad komersil) kecuali ada kesepakatan dari kedua belah
pihak untuk mengikatkan diri dalam akad tijarah tersebut. Misalkan bank setuju
untuk menerima titipan mobil dari nasabahnya (akad wadi’ah dengan demikian bank
melakukan akad tabarru’) maka bank tersebut dalam perjalanan kontrak tersebut
tidak boleh mengubah akad tersebut menjadi akad tijarah dengan mengambil
keuntungan dari jasa wadiah tersebut.
Sebaliknya jika akad
tijarah sudah disepakati, akad tersebut boleh diubah menjadi akad tabarru’ bila
pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya, sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
Akad tabarru’ ini adalah
akad-akad untuk mencari keuntungan akhirat, karena itu bukan akad bisnis. Jadi
akad ini tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan komersil. Bank syariah
sebagai lembaga keuangan yang bertujuan untuk mendapatkan laba. Bila tujuan
kita adalah mendapatkan laba, gunakanlah akad-akad yang bersifat komersil yakni
akad tijarah. Namun demikian, bukan berarti akad tabarru’ sama sekali tidak
dapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan pada kenyataannya, penggunaan
akad tabarru’ sama sekali tidak dapat digunakan dalam kegiatan komersil. Bahkan
pada kenyataannya, penggunaan akad tabarru’ sering sangat vital dalam transaksi
komersil, karena akad tabarru’ ini dapat digunakan untuk menjembatani atau
memperlancar akad-akad tijarah.
2.2
Akad Tijarah
Karim (2006:70)
menjelaskan bahwa akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for
profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari
keuntungan, karena itu bersifat komersil. Contoh akad tijarah adalah akad-akad
investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Kemudian berdasarkan tingkat
kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad tijarah dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yakni :
Natural Uncertainty Contract
Dalam Natural
Uncertainty Contract, pihak-pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asetnya
(baik real asset maupun financial asset) menjadi satu kesatuan
dan kemudian menanggung resiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan.
Disini keuntungan dan kerugian ditanggung bersama-sama. Contoh-contoh transaksi
ini adalah Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah, Mukhabarah)
Natural Certainty Contract
Dalam Natural
Certainty Contract,kedua belah pihak saling mempertukarkan aset yang
dimilikinya karena itu objek pertukarannya (baik barang maupun jasa) pun harus
ditetapkan di awal akad dengan pasti baik jumlah, mutu, kualitas, harga dan
waktu penyerahannya. Jadi kontrak-kontrak ini secara sunnatullah menawarkan
return yang tetap dan pasti. Yang termasuk dalam kategori ini adalah kontrak
jual beli (Al Bai’ naqdan, al Bai’ Muajjal, al Bai’ Taqsith, Salam, Istishna),
sewa-menyewa (Ijarah dan Ijarah Muntahia bittamlik).
2.3
Wakalah
Menurut Sayyid Sabbiq
(1987) menjelaskan bahwa Wakalah atau wikalah berarti penyerahan,
pendelegasian atau pemberian mandat. Dalam bahasa arab, hal ini dapat dipahami
sebagai at tafwidh. Contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah”
mewakili pengertian istilah tersebut.
Pengertian yang sama
dengan menggunakan kata al hifzhu disebut dalam firman Allah : “Cukuplah
Allah sebagai Penolong kami dan Dia sebaik-baiknya Pemelihara” (Al Imran :173).
Akan tetapi yang
dimaksud sebagai al wakalah dalam pembahasan ini adalah pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
Islam mensyariatkan al
wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai
kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada
suatu kesempatan,seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang
lain untuk mewakili dirinya.
Salah satu dasar
dibolehkannya al wakalah adalah firman Allah Swt berkenaan dengan kisah
Ash habul Kahfi : “Dan demikianlah Kami bangkutkan mereka agar saling bertanya
di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka, “Sudah berapa
lamakah kamu berada disini?. Mereka menjawab, ‘Kita sudah berada (disini satu
atau setengah hari). Berkata (yang lain lagi),’Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat
manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu,
dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan
halmu kepada seseorang pun.”(Al Kafhi :19)
Ayat diatas melukiskan
perginya salah seorang ash habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama
rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
Ayat lain yang menjadi
rujukan al wakalah adalah kisah tentang Nabi Yusuf a.s saat ia berkata
kepada raja :”Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman” (Yusuf :55). Dalam konteks ayat
ini, Nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal
Reserve” negeri Mesir.
Banyak hadist yang dapat
dijadikan landasan keabsahan wakalah, di antaranya adalah : “Bahwasanya
Rasulullah saw mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seseorang Anshar untuk
mewakilinya mengawini Maimunah bintil Harits (Malik no 678).
Dalam kehidupan
sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai
urusan. Diantaranya adalah membayar utang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan
lain-lainnya.
Para ulama pun
bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka bahkan ada
yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta’awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong-menolong
diserukan oleh Al Qur’an dan disunnahkan oleh Rasulullah saw.
Allah berfirman :”Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
kamu tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan permusuhan... (Al Maa’idah:2)
Rasulullah saw bersabda
: “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya” (HR Muslim)
Syafi’ Antonio
(2001:122-123) menjelaskan bahwa dalam perkembangan fiqh islam, status wakalah
sempat diperdebatkan: apakah wakalah masuk dalam kategori niabah yakni
sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali? Hingga kini, dua
pendapat tersebut terus berkembang.
Pendapat pertama
menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut
pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan seluruh fungsi muwakkil.
Pendapat kedua
menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan)
dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang leih baik sebagaimana dalam jual
beli, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan
secara kredit.
2.4
Aplikasi Wakalah dalam Lembaga Keuangan
Islam
Syafi’ Antonio
(2001:123) menjelaskan bahwa secara umum, aplikasi al-wakalah dalam perbankan
dapat digambarkan dalam skema berikut ini
Dalam fatwa DSN NO:
10/DSN-MUI/IV/2000 mengenai wakalah, menjelaskan bahwa Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam
mengadakan kontrak (akad). Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh
dibatalkan secara sepihak
Dalam fatwa DSN NO:
10/DSN-MUI/IV/2000 juga dijelaskan Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Dalam fatwa DSN NO:
10/DSN-MUI/IV/ juga dijelaskan mengenai rukun dan syarat wakalah yakni :
1. Syarat-syarat
muwakkil (yang mewakilkan)
a. Pemilik
sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan
b. Orang
mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam
hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah,
menerima sedekah dan sebagainya
2. Syarat-syarat
wakil (yang mewakili)
a. Cakap
hukum,
b. Dapat
mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c. Wakil
adalah orang yang diberi amanat.
3. Hal-hal
yang diwakilkan
a. Diketahui
dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b. Tidak
bertentangan dengan syari’ah Islam,
c. Dapat
diwakilkan menurut syari’ah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Antonio, Syafi’i,
Muhammad. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : PT Gema Insani
Press, 2001
Karim, Adiwarman. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
Zulkifli, Sunarto.
Panduan Praktis TransaksiPerbankan Syariah. Jakarta : PT Zikrul Hakim, 2003.
Fatwa DSN
Fatwa DSN NO: 10/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Wakalah
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...