IMPLEMENTASI AKAD RAHN (GADAI SYARIAH)
DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
1.
PENGERTIAN
AR-RAHN
Ar-Rahn
merupakan mashdar dari rahana – yarhanu - rahnan; bentuk
pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un]. Secara bahasa
artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng); juga
berarti al-habs (penahanan).[1]
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah harta yang dijadikan jaminan
utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib
membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
“Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu ‘barang
bergerak’, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh
seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya
untuk melelang barang tersebut, dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”
Gadai secara
umum diartikan dengan kegiatan menjaminkan ‘barang berharga’ kepada pihak
tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus
kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai[2].
Ar-Rahn
disyariatkan dalam Islam. Allah Swt. Berfirman :
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَة
Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS. Al-Baqarah
[2]: 283).
Aisyah ra.
Menuturkan :
«أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ»
Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo
(kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya. (HR. Bukhari
dan Muslim).
Anas ra. juga
pernah menuturkan :
«وَلَقَدْ
رَهَنَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ
عِنْذَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْرًا ِلأَهْلِهِ»
Sesungguhnya
Nabi saw. pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi,
sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
keluarga Beliau. (HR al-Bukhari).
Ar-Rahn boleh dilakukan baik
ketika safar maupun mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika
kalian dalam keadaan safar), bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan
tentang kondisi. Riwayat Aisyah dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi
saw. melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi
safar, tetapi sedang mukim[3].
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002
oleh ketua dan sekretaris DSN tentang Rahn, menentukan bahwa pinjaman
dengan menggadaikan barang sebagai barang jaminan hutang dalambentuk Rahn
diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Penerima gadai (Murtahin) mempunyai
hak untuk menahan barang jaminan (Marhun bih) sampai semua utang nasabah (Rahin) dilunasi.
2. Barang jaminan (Marhun bih) dan
manfaatnya tetap menjadi milik nasabah (Rahin).
3. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai
pada dasarnya menjadi kewajiban nasabah, namun dapat dilakukan juga oleh
penerima gadai, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban nasabah.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan
barang gadai tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.
Penjualan barang gadai
5a. apabila jatuh tempo, pihak pegadaian
harus memperingatkan nasabahnya untuk segera melunasi hutangnya
5.b. apabila nasabah tetap tidak melunasi
hutangnya, maka barang gadai dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai
dengan syariah
5.c. hasil penjulan barang gadai tersebut
digunakan untuk melunasi hutangnya nasabah, yakni melunasi biaya pemeliharaan
dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjulan
5.d. kelebihan hasil penjulan barag gadai
tersebut menjadi milik nasabah dan kekuarangannya menjadi kewajiban nasbah pula
6.
Jika terjadi perselisihan antar kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Indonesia, setelah
tercapai kesepakatan musyarakah.
2.
SYARAT
DAN RUKUN AR-RAHN
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu: (1) shighat (ijab
dan qabul), (2) al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn),
yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin),
dan (3) al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang
diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain
ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat,
yaitu harus ada qabdh (serah terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan ketentuan syariah, dan
dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf, maka akad ar-rahn
tersebut sah[4].
3. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA RAHN
DAN GADAI
Mencari persamaan dan perbedaan antara rahn dan
gadai adalah sebagai berikut :
Persamaannya adalah :
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2. Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang
digadaikan.
4. Biaya barang yang digadaiikan ditanggung
oleh pemberi gadai.
5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang
yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan perbedaanya adalah :
1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara
suka rela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntung, sedangkan gadai
menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik
keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang ditetapkan.
- Dalam
hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan
dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang
bergerak maupun yang tidak bergerak. Pada hukum perdata positif penjaminan
dengan harta tidak bergerak seperti tanah, kapal laut dan pesawat udara
disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
3. Di Indonesia penguasaan atas barang yang
dijadikan jaminan dibedakan menjadi gadai dan fidusia. Gadai, penguasaan atas
barang yang dijadikan jaminan diberikan kepada penerima gadai dan hak milik
atas barang yang dijadikan jaminan tetap pada pemberi gadai (penggadai).
Sedangkan fidusia, penguasaan atas barang yang dijadikan jaminan diberikan
kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang yang digadaikan, seperti
diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan[5].
4. APLIKASI AKAD RAHN DALAM LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH
Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan
syariah ada dua jenis, yaitu akad rahn
dijadikan produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan kedua akad rahn
sebagai produk utama, dalam bentuk gadai.
4.1. Akad Rahn sebagai Produk Turunan
(Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn
(yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada
al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut.
Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.
Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan
barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah
dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin).
Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan
berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika
harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan
lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i
boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi,
dan sebagainya. Harta hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan.
Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul
saw. telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik
kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli
dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus
dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’)
tadi.
Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsîq
bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang
(pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu
saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika
utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn,
maka tidak lagi memenuhi makna tawtsîq itu. Dengan demikian, ar-rahn
dalam kondisi ini secara syar‘i tidak ada maknanya lagi.
Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang
(pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan
langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu
dibatalkan oleh Islam. Rasul saw. bersabda:
«لاَ
يُغْلَقُ الرَّهُنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غَنَمُهُ وَعَلَيْهِ
غَرَمُهُ»
Agunan
itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak
atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR
as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)
Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin
boleh menjual barang agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit
yang belum dibayar oleh ar-râhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu
kelebihannya harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni ar-râhin.
Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu menjadi kewajiban ar-râhin.
Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk
menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin,
tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal
membayar utang pada saat jatuh temponya.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil,
rumah, barang elektronik, dsb saat ini—yang jika pembeli (debitor) tidak bisa
melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh
pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas
menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh
dilakukan.
Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin
Setelah serah terima, agunan berada di bawah
kekuasaan al-murtahin. Namun, itu bukan berarti al-murtahin
boleh memanfaatkan harta agunan itu. Sebab, agunan hanyalah tawtsîq,
sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di atas, tetap menjadi hak pemiliknya,
yakni ar-râhin. Karena itu, ar-râhin berhak memanfaatkan
tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang agunan, misal
menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada orang lain atau
kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi manfaat
barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan manfaat
barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik orang
tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin
tersebut hukumnya berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu
untuk utang dalam bentuk al-qardh, yaitu utang yang harus dibayar
dengan jenis dan sifat yang sama, bukan nilainya. Misalnya, pinjaman uang
sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton (dengan jenis tertentu), atau kain 3
meter (dengan jenis tertentu). Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta
rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus
utang jenis qardh ini, al-murtahin tidak boleh mamanfaatkan
barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan tambahan manfaat atas qardh.
Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram.
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam
bentuk dayn, yaitu utang barang yang tidak mempunyai padanan dan tidak
bisa dicarikan padanannya, seperti hewan, kayu bakar, properti dan barang
sejenis yang hanya bisa dihitung berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin
boleh memanfaatkan barang agunan itu dengan izin dari ar-râhin. Sebab,
manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik ar-râhin. Tidak terdapat
nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang mengecualikan al-murtahin
dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang
agunan itu tidak disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi,
seperti ar-râhin menyewakan agunan itu kepada al-murtahin,
maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun
dayn. Karena dia memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan
al-qardhu tetapi karena dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan
ketentuan, sewanya tersebut tidak dihadiahkan oleh ar-râhin kepada al-murtahin.
Namun, jika sewanya tersebut dihadiahkan, maka statusnya sama dengan
pemanfaatan tanpa disertai kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh,
dan sebaliknya boleh dalam kasus dayn[6].
4.2. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai
Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada
sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas
yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Perbedaan Pegadauan Syariah
dengan Pegadaian Konvensional
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian
bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap
memperoleh keuntungan, yaitu dengan cara memberlakukan biaya pemeliharaan dari
barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah
pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvesional, biaya yang harus dibayar
sejumlah dari yang dipinjamkan.
Variabel biaya pegadaian konvensional meliputi :
1. Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar
1% dari uang pinjaman.
2. Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai
berikut :
a. Pinjaman kurang dari Rp 20.000.000,-
dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b. Pinjaman lebih dari Rp 20.000.000,- dengan
masa pinjam setiap 30 hari (1 bulan) sebesar 1%.
Variabel biaya pegadaian syariah meliputi :
- Biaya
administrasi yang ditetapkan sebagai berikut :
Rp 20.000,- sampai dengan Rp 150.000,- = Rp 1.000,-
Rp 155.000,- sampai dengan Rp 500.000,- = Rp 3.000,-
Rp 505.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,- = Rp 5.000,-
Rp 1.050.000,- sampai dengan Rp
10.000.000,- = Rp 15.000,-
Rp 10.050.000,- dan seterusnya = Rp 25.000,-
- Biaya jasa
simpanan yang dihitung sebagai berikut :
Biaya Jasa Simpanan dihitung per 10 hari,
dirumuskan dengan :
Nilai Barang x Tarif
Rp 10.000,-
Tarif yang dikenakan adalah :
Emas =
Rp 90,-
Barang Elektronik = Rp 95,-
Motor =
Rp 100,-
Jika kita bandingkan pembebanan variabel
biaya-biaya tersebut, maka kita dapat perbedaan yang cukup signifikan. Misalnya
barang jaminan berupa emas 22 karat seberat 60 gram dengan niai taksiran Rp
5.600.000,-. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian konvensional
|
|
Besar Pinjaman
|
90% x Rp 5,6 juta = Rp 5,04 juta
|
89% x Rp 5,6 juta = Rp 4,98 juta
|
Biaya Administrasi
|
Rp 15.000,-
|
1% x Rp 4,98 juta = Rp 49.800,-
|
Biaya
|
Per 10 hari :
Rp 5,6 juta x 90 = Rp 10.000,-
Rp 10.000,-
|
Per 15 hari :
1,25% x Rp 4,98 juta = Rp 62.250,-
|
Biaya selama 4 bulan :
Rp 50.400,- x 12 = Rp 604.800,-
|
Biaya selama 4 bulan :
1,25% x 8 x Rp 4,98 juta = Rp 498.000,-
|
|
Total Biaya
|
Rp 619.800,-
|
Rp 547.800,-
|
Sumber :
Gadai Syariah, Abdul Ghofur Ansori, hal. 120.
Berikut disajikan tabel perbedaan teknis antara pegadaian syariah dan
pegadaian konvensional :
No.
|
Pegadaian Syariah
|
Pegadaian Konvensional
|
1.
|
Biaya Administrasi menurut ketetapan berdasarkan
golongan barang.
|
Biaya Administrasi menurut prosentase
berdasarkan golongan barang.
|
2.
|
Jasa simpanan berdasarkan nilai taksiran.
|
Sewa modal berdasarkan pinjaman.
|
3.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian,
barang dijual kepada masyarakat.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian,
barang dilelang kepada masyarakat.
|
4.
|
Uang pinjaman 90% dari nilai taksiran.
|
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran,
Golongan B, C, dan D : 86% – 88% dari nilai taksiran.
|
5.
|
Jasa simpanan dihitung dengan konstanta X
taksiran.
|
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase X
uang pinjaman.
|
6.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan.
|
Maksimal jangka waktu 3 bulan.
|
7.
|
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang
pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
|
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman +
sewa modal + biaya lelang).
|
8.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak
diambil oleh pemilik barang, maka diserahkan kepada lembaga ZIS.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil
oleh pemilik barang, maka menjadi milik pegadaian.
|
Operasional Pegadaian Syariah
Implementasi operasional pegadaian syariah
hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian
konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan
barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh pinjaman dari gadai syariah sangat
sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang
bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak
relatif lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn, dengan
waktu proses yang juga singkat. Namun disamping beberapa kemiripan dari
berbagai segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi, dan
pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang implementasinya
sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.
Pegadaian syariah atau dikenal dengan
istilah rahn, dalam operasionalnya menggunakan metode Fee Based Income. Sesuai dengan konsep rahn, pada dasarnya
pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah, yaitu :
a. Akad Rahn.
Rahn yang dimaksud adalah menahan
harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman (qardh) yang diterimanya. Pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagaian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian syariah menahan
barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
b. Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan
bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak
milik nasabah yang telah melakukan akad.
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan kesuluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian syariah mengenakan biaya sewa (ijarah) kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai
akad tersebut meliputi :
a. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin
mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
b. Marhun
Bih (Pinjaman). Pinjaman
merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan
barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas
dan tertentu.
c. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan
pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak
terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun
manfaatnya.
d. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
e. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang
berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanaan, dan biaya
pengelolaan dan administrasi
5.
PRODUK PERBANKAN SYARIAH: GADAI EMAS SYARIAH
Gadai emas syariah adalah penggadaian atau
penyerahan hak penguasa secara fisik atas harta/barang berharga (berupa emas)
dari nasabah (arraahin) kepada bank (al-Murtahin) untuk dikelola dengan prinsip
ar-Rahnu yaitu sebagai jaminan (al-Marhun) atas peminjam/utang (al-Murhumbih)
yang diberikan kepada nasabah/peminjaman tersebut.
Ar-Rahnu merupakan akad penyerahan barang
dari nasabah kepada anak sebagai jaminan sebagian atau seluruhnya atas hutang
yang dimiliki nasabah. Transaksi tersebut diatas merupakan
kombinasi/penggabungan dari beberapa transaksi atau akad yang merupakan satu
rangkaian yang tidak terpisahkan meliputi:
a) pemberian pinjaman dengan menggunakan
transaksi/akad Qardh.
b) Penitipan barang jaminan berdasarkan
transaksi/akad rahn.
c) Penetapan sewa tempat khasanah (tempat
penyimpanan barang) atas penitipan tersebut melalui transaksi/akad ijarah.
Syarat Gadai :
a) Para pihak yang terlibat harus cakap
bertindak hukum (mukallaf)
berdasarkan lafal ijab dan kabul (sigah)
yang jelas,
b) Harta yang dijadikan agunan (al-Marhun) mempunyai nilai jual yang
baik sehingga dapat mencukupi untuk pelunasan kembali pinjaman/utang milik sah
nasabah (arrahin) atau tidak terkait
dengan orang lain, dapat dimanfaatkan jelas dan tertentu (bukan barang haram,
sesuai kriterian syariah, utuh tidak tersebar di beberapa tempat) serta dapat
diserhakan baik materialnya (fisik) maupun manfaatnya,
c) Utang (al-Marhunbih)
merupakan hak yang wajib dikembangkan kepada bank (al-Murtahin) yang jelas dan tertentu (baik jumlah maupun rencana
pengembaliannya.
Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam
pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat,
di antaranya jumhur fugaha dan Ahmad. Jumhur fugaha berpendapat bahwa mrtahin
tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun
rahin mengijinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga jika dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda: ”Setiap
utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba”
Menurut
Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, bahwa jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil
susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai
tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama
kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya: Rasul bersabda: ”Binatang
tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang
boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi
orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.
Pengambilan
manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga
untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di
atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan
makanan, bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila
pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi yang dibolehkan di sini adalah
adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Risiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang di bawah pengawasan murtahin,
maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu
karena kelalaian mutahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin
bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak
dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin
diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, maka bila tidak demikian, ketika
ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut
hanafi, bahwa murtahin yang memegang marhun menanggung risiko kerusakan marhun
atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena
kelalaian (disia-siakan) maupun tidak.
Perbedaan
duan pendapat tersebut ialah menurut Hanafi bahwa murtahin harus menanggung
risiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya, baik marhun hilang
karena disia-siakan maupun dengan sendirinya, sedangkan menurut Syafi’iyah
bahwa murtahin menanggung risiko kehilangan atau kerusakan marhun, bila marhun
itu rusak atau hilang karena disia-siakan murtahin.
Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga agar tidak pihak yang dirugikan,
maka dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalnya ketika akad gadai
diucapkan; ”apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah
ditentuakan, maka marhun menjadi miliki murtahin sebagai pembayaran utang”,
sebab ada kemungkinan bahwa pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk
membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus
dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin; sebaliknya ada kemungkinan
juga bahwa harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih
besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan
merugikan pihak rahin.
Apabila
syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadi itu sah tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin
adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain tetapi harga yang umunya
berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut, hak murtahin hanyalah
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar
dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada marhun, Apabila sebaliknya,
harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, marhun masih menanggung
pembayaran kekurangnnya.
Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian
utang-piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam
gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rahin harus memberikan tambahan
kepada murtahin ketika membayar utangnya atau ketika akad gadai ditentukan
syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. Bila rahin tidak mampu
membayar utangnya hingga pada waktu tang telah ditentukan, kemudian rahin
menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan gharga marhun kep[ada rahin
mada di sini juga telah berlaku riba.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agustianto. Modul Kuliah Fiqh Mumalat. Program Magister Bisnis dan Keuangan Islam
Semester 2. Universitas Paramadia Jakarta.
2. Abdul Ghofur Ansori. Gadai Syariah di Indonesia : Konsep, Implementasi dan
Institusionalisasi. Gadjah Mada University Press. 2006.
3. Suhendi, Hendi, Drs. M.Msi. Fiqh Muamalah. Rajawali Press. 2002.
4. Karim, Adiwarman. Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan. Rajawali Press. 2006.
5. Tulisan Yahya Abdurrahman dan Hafidz
Abdurrahman, Rahn (Agunan) dalam
Perspektif Hukum Islam. www.alwafi’@hizbuttahririndonesia.com
6. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 25/DSN-MUI/III/2002 yang ditetapkan pada tanggal 28 Maret 2002.
[1] Lihat: Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’,
IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli
al-Anshari, Ghâyah al-Bayân Syarh Zabidi ibn Ruslân, I/193, Dar
al-Ma’rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl,
V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398.
[2] Lihat
Modul Kuliah Fiqh Muamalat , Sub Bab Gadai Syariah, M. Agustianto.
[3] QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam
muamalah tidak secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk
menuliskan transaksi itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya
sunnah. Dalam kondisi mukim hukumnya mubah. Lihat: Atha’ bin Khalil Abu
ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr ( Sûrah al-Baqarah), hlm.
437-438, Dar al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.
[4] Fiqh
Muamalah. Drs. Hendi Suhendi, hal. 107.
[5] Gadai Syariah di Indonesia : Konsep,
Implementasi dan Institusionalisasi. Abdul Ghofur Ansori. Hal. 102.
[6] Tulisan
Yahya Abdurrahman dan Hafidz Abdurrahman, Rahn (Agunan) dalam Perspektif Hukum
Islam.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...