HUKUM KEPAILITAN
(TAFLIS) DALAM ISLAM
Pengertian
Secara etimologi, at-taflis berarti pailit, tekor atau jatuh miskin. Orang yang pailit
disebut muflis, yaitu seorang
yang tekor, di mana hutangnya lebih besar dari assetnya. Dalam sebuah hadits,
Nabi Saw pernah menggambarkan seorang yang muflis di akhirat, yaitu
orang yang dosanya lebih besar dari pahalanya. Orang tersebut mengalami tekor, karena pahalanya dipindahkan kepada
orang-orang yang digunjingnya, sehingga timbangan dosanya menjadi lebih besar dari
pahalanya. Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan sebagai orang
yang hutangnya lebih besar dari hartanya.
At-Taflis (kepailitan) diambil
dari kata al-fals jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis
uang yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari tembaga. Fulus
biasanya dikesankan sebagai harta
seseorang yang paling buruk dan mata uang yang paling kecil[1].
Orang-orang miskin biasanya hanya memiliki mata uang fals atau fulus.
Mereka tidak memiliki mata uang dinar dan dirham. Dari uraian tersebut terlihat
hubungan taflis dengan pailit.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, kepailitan
didefinisikan sebagai ketidakmampuan
pihak penghutang atau debitor (bisa orang, badan hukum, perseroan) yang
terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitor telah berhenti
membayar hutangnya (tidak mampu melunasi hutang) yang mengakibatkan penyitaan
umum atas harta kekayaannya, sehingga debitor tidak berhak lagi mengurus harta
bendanya.[2]
Dalam hukum perdata (Peraturan kepailitan :
S.1905-217 jo S. 1906-348) kata pailit mengacu kepada keadaan debitur
(Perorangan, badan hukum, perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan
pengadilan, bahwa debitur telah berhenti membayar hutangnya (tidak mampu
melunasi hutang) yang mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya,
sehingga debitur tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.[3]
Sedangkan secara terminologi ahli
fiqh, At-taflis (penetapan pailit)
didefinisikan oleh para ulama dengan :
”Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya”. Larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat
hutang yang meliputi atau bahkan melebihi seluruh hartanya.
Contohnya,
apabila seorang pedagang (debitur) meminjam modal dari orarng lain (kreditur)
atau kepada Bank, dan kemudian ternyata
usaha dagangnya rugi dan bahkan habis,
maka atas permintaan kreditur kepada hakim, supaya debitur dinyatakan pailit,
sehingga ia tidak dapat lagi bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya.
Pencegahan
tindakan hukum debitur pailit ini untuk menjamin hutangnya kepada kreditur (Bank).
Dengan demikian
muflis (taflis) ialah adalah orang yang hutangnya lebih banyak dari hartanya.
Apabila seseorang telah habis hartanya dan tidak mampu membayar
hutang-hutangnya,dinamakanlah dia sebagai pailit (bangkrut). Menjatuhkan hukum
terhadap orang sebagai tidak mampu bayar hutang, dinamakan “taflis” (pernyataan
bangkrut).[4]
Kondisi lanjut
atas kondisi taflis ini adalah adanya pelarangan atau pembekuan harta dan
tindakannya yang disebut dengan al-hajr. Secara etimologi al-hajr
(pembekuan) adalah melarang dan mempersempit. Akal dijuluki Al-Hajru karena pemilik harta membekukan diri dari
melakukan hal-hal yang buruk, seperti pada firman Allah SWT[5],
“Pada yang demikian itu terdapat
sumpah yang dapat diterima oleh orang-orang yang
berakal “ (QS. Al Fajr (89) : 5)4
Secara
terminology al-hajr ialah pelarangan seseorang membelanjakan hartanya. Pelarangan
pembelanjaan harta muslis tersebut karena di dalam hartanya ada hak orang-orang
lain, yaitu hak orang yang memberikan utang kepadanya.
Dasar mengenai
pelarangan pembelanjaan harta ini adalah hadits yang terdapat pada Shahih
Bukhari (2402) dan Shahih Muslim (1559) bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Barang siapa yang menjumpai
hartanya berada pada seseorang laki-laki yang telah bangkrut/pailit, maka ia
lebih berhak dengan harta tersebut daripada orang lain”
Hadits di atas
diperkuat lagi oleh Al-Ashthakhri yaitu
“Apabila hakim memutuskan hal
yang sebaliknya, maka hukumnya dapat dibatalkan”[6]
Keputusan dan
tindakan hakim menahan harta seseorang untuk keperluan pembayaran hutangnya,
dalam istilah fiqih disebut “hajr”
Pailit Menurut Fiqh Islam
Sebelum membahas konsep taflis
(kepailitan) lebih luas, maka terlebih dahulu kita mengambil dasar hukum atas
pernyataan pailit tersebut.
Sebagai landasan
dasar hukumnya adalah sebuah riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah SAW,
menetapkan Mu’az bin Jabal sebagai orang yang terlilit hutang dan tidak mampu
melunasinya (pailit), lalu Rasulullah melunasi hutang Mu’az bin Jabal dengan
sisa hartanya. Tetapi pihak yang berpiutang tidak menerima seluruh pinjamannya,
maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah. Protes itu dijawab oleh
Rasulullah dengan mengatakan : “Tidak ada yang dapat diberikan kepada kamu
selain itu” (HR. Daru-Quthni dan Al- Hakim)
Riwayat lain diunjukkan
bahwa Umar bin Khatab pernah menahan harta seseorang debitor untuk
dibagi-bagikan kepada kreditor. Ringkasan dari riwayat itu adalah : Usaifi’
dari warga Juhainah mempunyai hutang, tapi ia tidak mau membayarnya. Maka Umar
menahan hartanya dan memberitahukan kepada siapa yang mempunyai piutang atasnya
agar datang kepadanya untuk membagikan hartanya (membayar hutang) (Disarikan
dari riwayat Malik dan Daraquthni).
Dari sunnah Nabi
dan Khalifah Umar bin Khatab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya
wewenang penguasa atau hakim mengambil keputusan taflis dan hajar
terhadap debitor yang telah jatuh bangkrut dan dengan demikian maka pernyataan
taflis atau pailit harus ditetapkan melalui putusan hakim.
Penetapan Seseorang Jatuh Pailit.
Terdapat
perbedaan pendapat di antara ulama fiqh tentang penetapan seseorang jatuh
pailit dan statusnya berada di bawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan
melalui keputusan hakim atau tidak.[7]
Ulama Malikiyah berpendapat :
- Sebelum
seseorang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang (kreditor) berhak
melarang orang yang jatuh pailit itu bertindak hukum terhadap sisa
hartanya dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat
kepada hak-hak mereka, seperti mewariskan hartanya, menghadiahkan, dan
melakukan akad mudharabah dengan
orang lain. Adapun terhadap tindak hukumnya yang bersifat jual beli dapat
dibenarkan.
- Persoalan
hutang piutang ini tidak diajukan kepada hakim, dan antara orang yang
berhutang dengan orang-orang yang memberi hutang dapat melakukan ash-shulh (perdamaian). Dalam
kaitan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan bertindak hukum
yang sifatnya pemindahan hak milik sisa hartanya, seperti wasiat, hibah,
dan kawin. Apabila tercapai perdamaian, maka pemberi hutang berhak membagi
sisa harta orang yang jatuh pailit itu sesuai dengan prosentase
piutangnya.
- Pihak yang
memberi hutang mengajukan gugatan (seluruhnya atau sebagiannya) kepada
hakim agar orang yang berhutang itu dinyatakan jatuh pailit, serta
mengambil sisa hartanya untuk membayar hutang-hutangnya. Gugatan yang
diajukan itu harus disertai dengan bukti bahwa hutang orang itu melebihi
sisa hartanya dan hutang itu telah jatuh tempo pembayaran. Apabila
ketetapan hakim telah ada yang menyatakan bahwa orang berhutang itu jatuh
pailit, maka orang-orang yang memberi hutang berhak untuk mengambil sisa
harta yang berhutang dan membaginya sesuai dengan prosentase piutang
masing-masing.
Sedangkan jumhur ulama menyatakan bahwa
seseorang dinyatakan jatuh pailit hanya berdasarkan ketetapan hakim, sehingga
apabila belum ada putusan hakim tentang statusnya sebagai orang pailit, maka
segala bentuk tindakan hukumnya dinyatakan tetap sah. Sebaliknya, apabila yang
berhutang itu telah dinyatakan hakim jatuh pailit, maka hakim berhak
melarangnya untuk tidak bertindak hukum terhadap sisa hartanya, apabila
perbuatannya itu akan membawa mudharat pada hak-hak orang yang memberinya
hutang, dan hakim juga berhak menjadikannya dibawah pengampuan, serta hakim
berhak menahannya. Dalam masa tahanan itu hakim boleh menjual sisa harta orang
yang dinyatakan jatuh pailit dan membagi-bagikannya kepada para pemberi hutang,
sesuai dengan prosentase piutang masing-masing.
Mengacu kepada
Syarah Bulughul Maram, terdapat hal-hal penting dari hadits mengenai
penyelesaian sengketa taflis (pailit) ini, maka langkah-langkah penyelesaiannya
adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama atas kondisi
taflis ini adalah pembekuan (Al-Hajru) yaitu pelarangan atau pencegahan, dimana
secara terminology adalah melarang orangyang pailit untuk membelanjakan
hartanya yang didapatkan dari warisan dan yang lainnya. Pelarangan ini legal
secara hukum dengan syaratnya, demi menjaga hak-hak orang yang memberikan
utang. Efek dari pelarangan pembelanjaan harta ini bahwa pembelanjaannya tidak
sah dan pembelanjaan harta yang dikemukakan tidak dapat dilaksanakan dan
demikian pula dengan pernyataannya
2. Pelarangan pembelanjaan harta
harus keluar dari hakim dengan meminta a gar masing-masing orang yang
memberikan hutang kepadanya atau meminta sebagian dari mereka menghentikan
transaksi kepadanya, karena pelarangan pembelanjaan membutuhkan ijtihad di
dalam menetapkan hukumnya, sebagaimana dibutuhkan juga kepada adanya kekuasaan
legislative dan eksekutif dan hal tersebut tidak ada kecuali seorang hakim
Ibnu Qayyim
berkata, “Apabila utang yang ia miliki melebihi hartanya, maka pembelanjaan
harta dan kerja sosialnya dinilai tidak sah karena membahayakan pemberi hutang,
baik hakim melarang pembelanjaan tersebut kepadanya atau tidak melarang.” Atas
pernyataan tersebut di atas Ibnu Rajab dan ulama lainnya menetapkan hal ini dan
ia membenarkannya di dalam Al Inshaf
3. Hakim harus menjual harta
orang yang pailit dan membagikan hasil penjualan tersebut kepada orang-orang
yang memberikan hutang padanya, dengan prioritas sesuai dengan haknya yang ada.
Cara pemberian prioritasnya adalah utang-utangnya dikumpulkan lalu dihubungkan
kepada harta orang yang pailit dan masing-masing orang yang memberikan utang
kepadanya diberikan sesuai dengan prosentase utang orang yang pailit tersebut
kepada mereka
4. Dengan terselesaikannya
pembagian harta milik orang yang pailit oleh hakim, maka tuntutan kepadanya
terputus. Tidak boleh mengikuti dan menuntut serta menahan orang yang memiliki
utang ini, tetapi ia harus dilepaskan dan bersikap lemah lembut sampai ia
mendapatkan harta. Hal tersebut bukan berarti bahwa orang yang memberikan utang
kepadanya hanya mendapatkan apa yang ditemukannya atau yang berhasil
dikumpulkan oleh hakim, dan sisa hutangnya menjadi hilang, atas keadaan tersebut
maka Allah SWT berfirman “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (QS. Al-Baqarah (2) : 280)
Maka dengan
demikian kepailitan tidak menggugurkan hak-hak pemilik utang (piutang), akan
tetapi dilarang mengikuti dan memintanya berdasarkan sabda Rasulullah SAW
kepada orang-orang yang memberikan utang kepada Mu’adz “Ambillah apa yang
kalian temukan dan tidak ada bagi kalian kecuali selain itu” [8]
Status Hukum Orang Yang Pailit (Muflis)
Dalam
persoalan status hukum orang yang jatuh pailit, para ulama fiqh juga terdapat
perbedaan pendapat.[9].
Perbedaan itu terletak pada apakah seseorang yang telah dinyatakan pailit harus
berada di bawah pengampuan hakim (al-hajr) atau harus dipenjarakan.
Imam
Abu Hanifah berpendapat, bahwa orang yang jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai
orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur ’alaih), sehingga ia tetap
dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Menurutnya, dalam persoalan
harta, tindakan hukum se-seorang tidak
boleh dibatasi atau dicabut sama sekali, karena harta itu adalah harta Allah,
boleh datang dan boleh juga habis. Oleh sebab itu, menurut Abu Hanifah,
seseorang yang jatuh pailit karena terbelit hutang tidak boleh ditahan atau
dipenjarakan, karena memenjara-kan seseorang berarti mengekang kebebasannya
sebagai makhluk merdeka. Hal ini menurutnya, lebih berbahaya jika dibandingkan
dengan mudharat yang diderita para pemberi hutang. Oleh sebab itu, hakim tidak
boleh memaksa orang yang dililit hutang untuk menjual hartanya, tetapi hakim
boleh memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang itu. Apabila perintah hakim
ini tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai ia melunasi hutangnya,
atau hakim menganjurkan agar orang yang pailit tersebut menjual sisa hartanya untuk
membayar hutangnya itu.
Sedangkan
menurut jumhur ulama, termasuk dua tokoh fiqh terkemuka Mazhab Hanafi, yaitu
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani, seseorang yang
telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dianggap sebagai seorang yang berada
di bawah pengampuan, dan dia dianggap tidak cakap lagi bertindak hukum terhadap
hartanya yang ada. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memelihara hak-hak
orang yang memberi hutang kepadanya.
Menurut mereka, apabila tindakan hukumnya terhadap harta yang masih ada tidak
dibatasi, maka orang pailit ini akan lalai membayar hutangnya, yang pada
akhirnya membuat perselisihan semakin kuat antara para pemberi hutang dengan
orang yang pailit itu.
Alasan
jumhur ulama dalam membolehkan orang jatuh pailit dinyatakan di bawah
pengampuan hakim adalah sabda Rasulullah SAW, tentang kasus Muaz ibn Jabal yang
dikemukakan di atas. Kemudian, jumhur ulama selian Malikiyah, menyatakan bahwa
untuk menetapkan orang yang jatuh pailit itu berada di bawah pengampuan, harus
dipenuhi dua syarat, yaitu :
- Hutangnya meliputi atau melebihi sisa hartanya.
- Para pemberi hutang menuntut kepada hakim agar orang yang jatuh pailit
itu ditetapkan berstatus di bawah pengampuan.
Apabila
seseorang telah dinyatakan jatuh pailit oleh hakim, maka para ulama fiqh
sepakat menyatakan bahwa segala tindak hukumnya dinyatakan tidak sah, harta
yang ada di tangannya menjadi hak para pemberi hutang, dan sebaiknya
kepailitannya diumumkan, agar khalayak ramai mengetahui keadaannya, dan lebih
berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang dinyatakan
pailit itu.
Terhadap
permasalahan boleh tidaknya seseorang yang dinyatakan pailit tersebut melakukan
perjalanan ke luar kota, terdapat dua pendapat di kalangan ulama fiqh :
Ulama Hanafiah dan Syafi’iyah menyataka
bahwa para pemberi hutang tidak boleh melarang orang yang jatuh pailit itu
melakukan perjalanan ke luar kota sebelum waktu jatuh tempo, karena mereka
tidak berhak menuntut piutang mereka sebelum jatuh tempo pembayaran, sekalipun orang
itu telah dinyatakan jatuh pailit. Akan tetapi apabila masa pembayaran hutang
itu telah jatuh tempo, maka pemberi hutang berhak melarang orang yang pailit
itu melakukan perjalanan ke luar kota.
Sedangkan ulama
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pemberi Hutang berhak melarang orang
yang jatuh pailit itu melakukan perjalanan apabila selama dalam perjalanannya
itu masa pembayaran jatuh tempo, karena diduga ia menghindari tanggung jawab.
Akibat Hukum Taflis (Pernyataan Pailit)
dan Mahjur Alaih (di bawah Pengampuan)
Para ulama fiqh
mengemukakan beberapa akibat hukum ditetapkannya seseorang yang jatuh pailit
dan berstatus di bawah pengampuan. Di antara akibat hukum itu adalah :
1. Sisa harta orang
pailit itu menjadi hak para da-in (pemberi hutang(. Oleh sebab itu, ia tidak
dibenarkan bertindak hukum pada sisa hartanya itu. Hal ini disepakati para
ulama fiqh.
2. Para ulama fiqh juga
sepakat menyatakan bahwa, orang yang telah ditetapkan jatuh pailit oleh hakim,
boleh dikenakan tahanan sementara sampai hutang-hutangnya ia bayar.
Akan tetapi,
para ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal pengawasan secara terus-menerus
terhadap orang yang jatuh pailit tersebut.
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa orang-orang yang memberi piutang boleh
mengawasi tindak tanduk orang yang jatuh pailit itu secara terus menerus.
Alasan mereka adalah sebuah riwayat dari Rasulullah SAW, yang mengatakan :
”Orang yang
memberi hutang mempunyai hak untuk mengawasi orang yang berhutang.” (HR
al-Bukhari dan ath-Thabrani).
Namun
demikian, orang yang jatuh pailit itu tidak dilarang melakukan tindakan hukum
seperti : mencari rezeki, dan melakukan suatu perjalanan, ketika ia diawasi
terus.
Menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, apabila hakim berpendapat bahwa
orang pailit itu dalam kesulitan, maka pemberi hutang tidak boleh menuntutnya
dan mengawasinya secara terus-menerus. Menurut mereka, orang pailit seperti ini
dibebaskan mencari rezeki sampai ia berkelapangan untuk membayar hutangnya. Alasan mereka adalah firman Allah dalam
surat Al-Baqarah : 280 yang berbunyi :
”Dan jika
(orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. ”
Terhadap
kebolehan menahan sementara atau memenjarakan orang yang jatuh pailit, juga
terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh.
Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa hakim berhak untuk melakukan penahanan sementara
atas orang yang jatuh pailit ketika hakim tidak mengetahui secara pasti keadaan
keuangan orang yang jatuh pailit itu. Menurut mereka, dalam hal ini hakim boleh
menahannya selama dua sampai tiga bulan, dan jika dalam masa itu hakim
mengetahui bahwa orang pailit itu tidak memiliki harta untuk membayar
hutang-hutangnya, maka ia dibebaskan. Hal ini, menurut mereka sejalan dengan
kehendak Al-Baqarah : 280 di atas. Selanjutnya ulama Hanafiyah mengemukakan
bahwa seorang hakim boleh melakukan penahanan sementara terhadap orang pailit
itu, apabila memenuhi empat syarat[10],
yaitu :
- Waktu pembayaran hutangnya telah jatuh tempo.
- Diketahui, bahwa orang yang jatuh pailit itu mampu membayar hutang-hutangnya,
tetapi tidak ia lakukan, sesuai dengan hadist Rasulullah yang menyatakan :
”Saya berhak untuk
menahan sementara orang yang enggan membayar hutangnya, karena perbuatan itu
bersifat zalim.” ((HR al-Bukhari, Muslim, an-Nisa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
- Orang yang jatuh pailit itu bukan ayah dan atau ibu dari yang memberi
piutang, dengan alasan firman Allah dalam surat al-Isra’ (17) : 23 yang
berbunyi :
”.........Dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua.....”,
dan
” ...pergaulilah
mereka dengan cara yang baik di dunia ini..”(QS.Lukman (31) : 15).
- Orang yang memiliki piutang mengajukan tuntutan kepada hakim, agar
orang yang jatuh pailit itu dikenakan penahanan sementara.
Ulama
Malikiyah mengatakan bahwa hakim boleh melakukan penahanan sementara terhadap
orang yang jatuh pailit dengan syarat :
- Keadaan keuangannya tidak diketahui secara pasti.
- Penampilan orang yang jatuh pailit itu menyebabkan para pemberi hutang
curiga bahwa ia mempunyai harta, sementara ia tetap menyatakan tidak
mempunyai harta.
- Orang pailit itu ternyata mempunyai harta lain yang dapat digunakan
untuk membayar hutang, tetapi ia enggan membayarnya. Terhadap hal ini,
hakim terlebih dahulu dapat memaksa orang pailit itu menjual hartanya dan
membayar hutang-hutangnya. Apabila ia enggan menjual harta itu dan
membayar hutang-hutangnya, maka hakim boleh memenjarakan orang pailit itu.
Apabila dalam pemeriksaan dan penelitian hakim, orang yang pailit itu
memang tidak mempunyai harta untuk membayar hutang-hutangnya, maka ia
dibebaskan dari penjara sementaranya.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila orang yang jatuh pailit itu
mempunyai harta yang boleh dijual untuk membayar hutang-hutangnya, maka hakim
boleh memaksa orang itu untuk menjual hartanya dan melunasi hutang-hutangnya.
Apabila ia enggan untuk menjual harta itu atau tidak mau membayar hutangnya,
sedangkan para pemberi hutang menuntut kepada hakim untuk melakukan penahanan
terhadap orang pailit itu, maka hakim boleh melakukan penahanan sementara.
Apabila dengan penahanan sementara ini hakim tidak boleh memaksa orang yang
jatuh pailit menjual hartanya untuk membayar hutang itu, hakim boleh melakukan
hukuman jasmani, seperti memukulnya, sampai ia mau menjual hartanya itu dan
membayar hutang-hutangnya. Jika dalam pemeriksaan hakim, orang yang jatuh
pailit itu menyatakan bahwa ia dalam kesulitan keuangan, maka pernyataannya ini
tidak diterima, kecuali ada bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pernyataannya
itu.
3. Akibat hukum selanjutnya apabila
ternyata hutang orang yang jatuh pailit itu berupa barang, seperti hewan
ternak, kendaraan, dan peralatan rumah tangga, dan barang-barang itu masih utuh
di tangannya, apakah pemilik barang boleh mengambil barang-barang miliknya itu
sebagai pembayar hutang ? Dalam persoalan ini terdapat pula perbedaan pendapat
ulama fiqh.
Ulama
Hanafiyah menyatakan bahwa sekalipun barang-barang yang menjadi hutang orang
pailit itu merupakan piutang salah seorang yang memberinya hutang, maka orang
yang memberi piutang itu tidak boleh mengambil kembali barang-barang itu.
Artinya, barang hutang, seperti furniture yang masih utuh di rumah orang yang
jatuh pailit itu tidak boleh diambil oleh orang yang memberi hutang itu.
Karena, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa :
”Barang
siapa yang menemukan hartanya di tangan orang yang pailit, maka barang itu
menjadi milik semua orang yang memberi hutang ((HR ath-Thabrani dan Abi
Hurairah).
Menurut
jumhur ulama, apabila salah seorang yang memberinya hutang melihat barangnya
masih utuh di rumah orang yang jatuh pailit itu, maka ia berhak mengambil
kembali barang itu. Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan :
”Siapa yang
menemukan barangnya secara utuh di tangan orang pailit, maka ia lebih berhak
atas barang itu dari orang yang mempunyai piutang lainnya.” (HR.al-Jama’ah
[mayoritas pakar hadist] dari Abi Hurairah dan Samurah ibn Jundab).
Akan
tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat
dalam syarat-syarat pengambilan barang itu dari tangan orang yang jatuh pailit
tersebut.
Ulama
Syafi’iyah mengemukakan syarat-syarat pengambilan itu, adalah :
1. Utang itu telah jatuh
tempo
2. Orang yang pailit itu
enggan membayar hutangnya.
3. Barang yang menjadi
hutang itu masih utuh di tangan orang pailit itu.
Ulama
Hanabilah mengemukakan syarat-syarat, yaitu :
1. Barang itu masih utuh
di tangan orang yang jatuh pailit dan apabila telah berkurang atau rusak, tidak
boleh diambil lagi.
2. Tidak terjadi
penambahan pada barang itu, misalnya kambing yang dahulunya masih kecil dan
sekarang sudah besar dan laik diperah susunya.
3. Pemilik piutang belum
menerima harga barang itu sedikitpun.
4. Terhadap barang itu
tidak tersangkut hak orang lain, umpamanya barang itu tidak dalam keadaan
tergadai atau tidak dihibahkan pada orang lain.
5. Orang yang pailit dan
orang yang memberi hutang itu masih hidup.
Menurut ulama
Malikiyah syarat pengambilan barang itu adalah:
1. Barang itu memang
masih utuh, tanpa perubahan, penambahan, dan pengurangan.
2. Boleh diambil sebagai
pembayar hutang
3. Para piutang lainnya
tidak membayar ganti rugi pada pemilik barang yang masih utuh itu, karena kalau
para piutang lainnya telah membayar ganti rugi kepada pemilik barang yang masih
utuh di tangan orang pailit itu, maka pemilik barang itu tidak boleh mengambil
kembali barang itu.
Pencabutan Status Di Bawah Pengampuan
Orang Pailit
Kaidah
usul fiqh menyatakan bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan ’illat-nya. Apabila ada ’illat-nya maka hukum berlaku, dan
apabila ’illat-nya hilang, maka hukum
itu tidak berlaku.
Dalam persoalan orang yang dinyatakan
jatuh pailit dan berada di bawah pengampuan, apabila hartanya yang ada telah
dibagikan kepada pemberi hutang oleh hakim, apakah statusnya sebagai orang yang
dibawah pengampuan hapus dengan sendirinya ?
Jumhur ulama, termasuk sebagian ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, mengemukakan bahwa apabila harta orang yang jatuh
pailit telah dibagi-bagikan kepada para pemberi hutang sesuai dengan
perbandingannya, sekalipun tidak lunas, maka status di bawah pengampuannya
dinyatakan hapus, karena penyebab yang menjadikan ia berada di bawah pengampuan
telah hilang. Mereka menganalogikan orang yang berada di bawah pengampuan
karena pailit dengan orang yang berada di bawah pengampuan karena gila. Dalam
hal orang gila yang telah sembuh dari penyakitnya, statusnya sebagai orang yang
berada di bawah pengampuan, gugur dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan
oleh keputusan hakim. Demikian juga dengan orang yang jatuh pailit. Hal ini
sejalan dengan kaedah usul fiqh yang menyatakan :
”Hukum itu
beredar sesuai dengan ’illat (penyebab)-nya, apabila ada ’illat-nya ada hukumnya, dan apabila ’illat-nya sudah hilang, keadaannya kembali seperti semula.”
Sebagian
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa status orang pailit sebagai
orang yang berada di bawah pengampuan tidak hapus, kecuali dengan keputusan
hakim, karena penetapannya sebagai orang yang berstatus di bawah pengampuan
didasarkan pada keputusan hakim, maka pembatalannya pun harus dengan keputusan
hakim.
Dalam hubungan dengan ini, Mustafa
Ahmad az-Zarga’, tokoh fiqh kontemporer asal Syiria, menyatakan bahwa ketetapan
hakim dalam menentukan seseorang berada di bawah pengampuan mestilah mempunyai
syarat, sehingga apabila syarat itu terpenuhi oleh orang yang dinyatakan pailit
ini, maka secara otomatis statusnya bebas dari pengampuan, tanpa harus melalui
ketetapan hakim terlebih dahulu. Misalnya, dalam surat ketetapan itu disebutkan
”apabila hutang-hutang yang bersangkutan ia bayar, maka ia bebas dari status di
bawah pengampuan”. Namun, berita tentang kebebasan statusnya ini perlu
disebarluaskan agar masyarakat mengetahuinya, dan tidak merugikan dirinya dalam
melakukan transaksi ekonomi karena orang belum tahu akan kebebasannya dari
pengampuan itu.
Pailit dalam hukum positif Indonesia
Menurut kamus
hukum Fockema Andreae Edisi Bahasa Indonesia (Saleh Adiwinata, dkk) Kepailitan
seorang debitor adalah keadaan yang diterapkan oleh pengadilan bahwa debitor
telah berhenti membayar utang-utangnya yang berakibat penyitaan umum atas harta
kekayaan yang pendapatannya demi kepentingan semua kreditor di bawah pengawasan
pengadilan.[11] Kata
kunci atas kondisi pailit ialah bahwa
munculnya kepailitan didasari oleh
adanya suatu perikatan hutang-piutang antara seorang debitur dengan kreditur.
Dalam
penyelesaian sengketa, taflis dapat dilakukan dengan mengacu kepada hukum Islam
dan hukum positive yang berlaku di Indonesia.
1. Berdasarkan Syariah Islam
2. Berdasarkan HukumKepailitan
yang Berlaku di Indonesia
Mekanisme
permohonan pernyataan pailit dijelaskan dalam pasal 6 UUK yakni permohonan
diajukan ke Ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan yang dimaksud disini adalah
pengadilan niaga yang berada di lingkungan peradilan umum sesuai dengan bunyi
pasal 1 butir 7 UUK yang berbunyi “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam
lingkungan peradilan umum”
Adapun
tahap-tahap penyelesaiannya sesuai pasal 6 UUK adalah sebagai berikut
1. Permohonan ditujukan ke ketua
Pengadilan Niaga
2. Panitera mendaftarkan
permohonan
3. Sidang dilakukan paling lambat
20 hari setelah permohonan didaftar
4. Bila alasan cukup pengadilan
dapat menunda paling lambat 25 hari
5. Pemeriksaan paling lambat 20
hari sesuai pasal 6 ayat 6 UUK “ Sidang pemeriksaan
atas permohonan pernyataan pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan “
6. Hakim dapat menunda 25 hari
sesuai pasal 8 ayat 7 UUK “ Putusan atas permohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksud pada ayat 6 yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum
yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum
dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan suatu upaya hukum “
7. Pemanggilan dilakukan 7 hari
sebelum sidang dilakukan
8. Putusan pengadilan paling
lambat 60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan, sesuai pasal 8
ayat 5 UUK “ Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan “[12]10
Setelah putusan
pailit dikeluarkan oleh hakim, maka berlanjut kepada pengurusan harta pailit,
dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat langsung secara aktif dalam hal
pengurusan harta pailit, yaitu :
- Hakim Pengawas,
Dalam pasal 65
UUK disebutkan, Hakim pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta
pailit. Disini tampak bahwa keberadaan lembaga peradilan tidak terbatas hanya
sampai pada putusan pailit, tetapi juga sampai pada mengawasi pelaksanaan
putusannya
2.
Kurator,
Dalam pasal 69
UUK disebutkan, tugas curator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
harta pailit
Dalam hal ini
curator adalah orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki
keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan
harta pailit, dan terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Kementrian
yang dimaksud adalah Kementrian Hukum dan HAM RI)11
Menginjak kepada
pengurusan harta pailit ini, maka langkah yang dilakukan oleh curator adalah
sbb :
1. Mengumumkan ikhtisar Putusan
Pengadilan Dalam Berita Negara dan surat kabar
yang berskala nasional, dengan
memuat :
a. nama, alamat,
dan pekerjaan debitor
b. nama hakim
pengawas
c. nama, alamat,
dan pekerjaan curator
d. nama, alamat,
dan pekerjaan anggota panita Kreditor sementara, apabila telah
ditunjuk
e. tempat, dan
waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor
2. Menjual asset
3. Membentuk panitia tetap
kreditor yang dibentuk dari kreditor yang sudah mendaftarkan diri untuk
diverifikasi sampai akhirnya terbentuk panita tetap kreditor (kelanjutan poin 1
butir d)
4. Penyocokkan utang
Dalam pasal 113 UUK disebutkan, paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah
putusan pernyataan pailit diucapkan, hakim
pengawas harus menetapkan :
a. batas akhir
pengajuan tagihan
b. batas akhir
verifikasi pajak untuk menentukan besarnya pajak sesuai peraturan
perpajakan
c. hari,
tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan
penyocokkan piutang
5. Pembagian sisa harta pailit
kepada setiap kreditor dengan system prorate[13]
Namun dari
langkah-langkah tersebut di atas putusan pengadilan niaga ini bukan
merupakan putusan akhir, debitor
pailit masih memiliki upaya hukum lain untuk mempertahankan kondisinya yaitu :
Upaya hukum kepailitan yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit sesuai dengan pasal 11 UUK adalah kasasi Mahkamah Agung
Pengecualian Dalam Penerapan Hukum Taflis
1. Ketentuan Islam
Mengacu kepada
ketentuan Islam, sampai saat ini belum secara terinci menyebutkan pihak mana
saja atau badan hukum yang seperti apa yang tidak dapat dipailitkan, Ketentuan
islam masih berbicara secara umum seluruh pihak yang nilai hutangnya lebih
besar dari asetnya sendiri dapat dinyatakan pailit melalui putusan hakim. Dalam
Islam pun tidak dijumpai ketentuan tentang barang/aset apa saja yang tidak
dapat disertakan dalam proses pelaksanaan pembayaran hutang, sejauh ini Islam
berpegang pada ketentuan-ketentuan :
“Dan jika (orang berutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” QS2 :280
“Tidak ada yang dapat diberikan
kepada kamu selain itu” (HR. Daru-Quthni dan Al-Hakim)
Dari kedua
sumber di atas, maka asumsinya bahwa tidak ada batasan harta yang tidak terkena
pailit, namun seorang anak tidak dapat menuntut pailit kepada orang tua.
2. Ketentuan Undang-Undang
Kepailitan
Sementara dalam
pembahasan UU Kepailitan dijelaskan secara rinci badan\ hukum apa saja yang
tidak dapat dipailitkan dan harta benda apa saja yang tidak dapat dieksekusi
dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang dilakukan oleh curator. Namun hal
yang sangat jelas perbedaannya adalah tentang ketentuan harta waris, dimana
menurut ketentuan Islam, bahwa harta waris dihitung sebagai asset untuk
membayar hutang, sedangkan dalam UU Kepailitan dengan jelas menjelaskan bahwa
harta waris tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban kepada kreditor,
kecuali jika menguntungkan harta pailit.
Dinyatakan bahwa
semua badan hukum baik perseorangan, badan hukum atau perseroan dapat
dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, kecuali BUMN yang
berbentuk PERUM (Sumber : Republika 08 September 2007), dan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara, maka asset negara tidak dapat disita.
BUMN merupakan aset negara, dan untuk melakukan sesuatu terhadap aset itu harus
melalui persetujuan menteri dan DPR (Sumber : Kompas 05 September 2007)
Selain BUMN yang
berbentuk perum, badan hukum lain yang tidak dapat dipailitkan misalnya
lembaga-lembaga kementrian, kepolisian, dan perangkat negara lainnya
Di samping badan
hukum apa saja yang tidak dapat dipailitkan atau disita asetnya, maka sesuai
Pasal 21 UUK “ Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan Namun menurut Pasal 22 UUK, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21 tidak berlaku terhadap :
a. benda, termasuk hewan yang
benar-benar dibutuhkan oleh Debitor nsehubungan dengan pekerjaannya,
perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat
tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan
bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang
terdapat di tempat itu
b. segala sesuatu yang diperoleh
debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau
jasa, sebagai upah, pension, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang
ditentukan oleh hakim pengawas ; atau
c. uang yang diberikan kepada
Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang
Pasal 34 UUK,
bahwa Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang ini, perjanjian yang bermaksud
memindahtangankan hak atas tanah, balik nama kapal, pembebanan hak tanggungan,
hipotek, atau jaminan fidusia yang telah diperjanjikan terlebih dahulu, tidak
dapat dilaksanakan setelah pernyataan pailit diucapkan
Pasal 40 ayat
(1) UUK juga menyebutkan bahwa “ Warisan yang selama kepailitan jatuh kepada
Debitor pailit, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila
menguntungkan harta pailit “ Kesimpulan atas ketentuan di atas, maka eksekusi
pailit tidak dapat diterapkan kepada:
1. Benda
2. Uang tunjangan (gaji, fee,
dll) yang diperoleh oleh debitor pailit
3. Uang yang dipergunakan untuk
menafkahi
4. Hak tanggungan (hipotek,
gadai, dll)
5. Warisan
Poin 4-5 dapat berubah kondisinya
apabila ada ketentuan lain dari Undang-Undang
Langkah-langkah perdamaian
Agar dapat
terlaksananya perdamaian ketika terjadi sengketa, terlebih dahulu sebelumnya
saat terjadinya transaksi jenis akad, jenis transaksi, harga barang harus sudah
tercatat jelas dengan adanya saksi saksi.
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah179 tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecilmaupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisiAllah dan lebih dapat
menguatkanpersaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah ituperdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada
Allah ; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. QS
2:282
Ash-Shuluh(al-shulh)
, secara etimologi adalah memutuskan pertikaian. Secara terminology shuluh
adalah melakukan perjanjian yang menghantarkan kepada kesepakatan diantara
kedua belah pihak yang bertikai demi memutuskan pertikaian.
Shuluh
dibolehkan oleh Al-Qur’an, sunnah, Ijma ulama dan qiyas. Allah SWT berfirman,
”Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
QS An-
Nisaa’ (4) : 128
Dan Nabi SAW
bersabda,
”Perdamaian
dibolehkan di antara umat Islam kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.” (HR. At-Tirmidzi, 1352)
Sunnah
At-Tirmidzi dari Hadits Abu Daud, Sesungguhnya Nabi SAW bersabda,
”Maukah aku kabarkan kepada
kalian tentang perbuatan yang lebih utama dari derajat ibadah puasa, shalat dan
sedekah, ”Kami menjawab, ”Tentu” Rasulullah bersabda, ”Mendamaikan kondisi
manusia”
Dalam hal
perdamaian ini, diatur di dalamnya perdamaian masalah harta. Berdamai di dalam
harta ada dua bagian, yaitu :
1. Berdamai atas nama ikrar
2. Berdamai atas pengingkaran
Berdamai atas nama ikrar terbagi
dua, yaitu :
Pertama, berdamai atas
jenis hak tertentu, yaitu dimana seseorang mengikrarkan kepada musuhnya tentang
utang lalu ia menggugurkan darinya sebagian utang atau mengikrarkan barang
perniagaan lalu ia menghibahkan sebagian kepadanya. Hal seperti ini sah, karena
ia boleh membelanjakan harta dan tidak tercegah dari gugurnya sebagian haknya
atau sebagian hibahnya
Kedua, Berdamai terhadap
hak yang diikrarkan dengan sesuatu yang bukan jenisnya, maka yang demikian sah
dan ketika demikian, berarti ia adalah kompensasi, baik jual beli atau menukar
mata uang atau yang lainnya. Dengan demikian hukum-hukum kompensasi tersebut
berjalan di dalamnya[14]
Akad menurut QS.
Al-Baqarah 282 :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah179 tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecilmaupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisiAllah dan lebih dapat
menguatkanpersaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah ituperdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada
Allah ; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. QS
2:282
Sementara
perdamaian yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan, adalah berdasar kepada :
Penyelesaian
sengketa yang ideal adalah terjadinya perdamaian (Accord) antara debitor dengan
kreditor. Dalam hal ini memang bisa terjadi beberapa kemungkinan yakni debitor
membayar utangnya dengan cara mencicil, membayar utang sebagiansisanya
dihapuskan, membayar utang pokok bunga dihapus dan berbagai alternatif yang
bisa dihasilkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Bila hal ini bisa
dicapai, tentu akan lebih menguntungkan kedua belah pihak. Bagi debitor asetnya
tidak perlu disita, perusahaan bisa berjalan terus. Bagi kreditor piutang dapat
dibayar kembali walaupun mungkin tidak sepenuhnya.
Perdamaian
setelah pernyataan pailit pun masih dimungkinkan. Dengan kata lain, sekalipun
debitor sudah dinyatakan pailit olehpengadilan, namun peluang bagi debitor
untuk melakukan perdamaian dengan kreditor masih tetap terbuka. Hal inidengan
tegas dikemukakan dalam pasal 144 UUK ” Debitor pailit berhak untuk menawarkan
suatu perdamaian kepada semua kreditor ” .
Disini tampak,
bahwa pembentuk undang-undang mencoba melihat lebih jauh, bahwa upaya
perdamaian akan lebih baik bagi semua pihak daripada harus dinyatakan pailit
yang berarti aset harus dijual untuk memenuhi kewajiban debitor. Hanya saja
dalam hal ini, pembentuk undang-undang juga memberi batas waktu agar ada
kepastian hukum.
Dalam pasal 145
UUK disebutkan, bila debitor ingin mengajukan perdamaian, harus mengajukan
rencana perdamaian paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokkan
piutang. Dalam rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor pailit, para
kreditor dapat menganalisa secara seksama, apakah tawaran yang diajukan oleh
debitor cukup rasional atau tidak.
Dalam
penyelesaian kepailitan ini, apabila putusan telah dikeluarkan oleh majelis
hakim, maka majelis hakim akan menunjuk kurator yang netral untuk melaksanakan
putusan pengadilan, begitu juga dengan langkah perdamaian ini. Untuk
mempertimbangkan penawaran perdamaian ini debitor dapat meminta advis dari
kurator, dalam kondisi seperti ini kembali dituntut profesionalisme kurator.
Secara etika profesi, Asosiasi kurator telah menetapkan standar profesi dalam
butir 380, dimana disebutkan kurator selalu mengedepankan kemungkinan
tercapainya perdamaian. Kurator wajib memberikan pertimbangan tertulis kepada
kreditor atas kelayakan rencana perdamaian debitor pailit, kurator wajib secara
wajar dan teliti mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Nilai harta pailit berbanding
dengan jumlah yang diperjanjikan dalam rencana
perdamaian
2. Adanya jaminan pembayaran
dalam rencana perdamaian
3. Adanya dugaan penipuan dalam
perdamaian, termasuk jika rencana tersebut
menguntungkan satu atau lebih kreditor atau debitor secara tidak wajar
4. Apabila memungkinkan, kurator
dapat melengkapi pertimbangan tersebut
dengan pendapat ahli yang
memiliki kualifikasi untuk itu
Sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 151 UUK ” Rencana perdamaian diterima
apabila disetujui dalam rapat
kreditor oleh lebih dari ½ (satu per dua) jumlah kreditor konkuren yang hadir
dalam rapat dan haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang
diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya
yang hadir dalam rapat tersebut ”.
Agar rapat yang diadakan oleh para kreditor
mempunyai kekuatan hukum, maka notulen rapat harus dituangkan ke dalam Berita
Acara Rapat. Dalam pasal 154 UUK
disebutkan Berita Acara Rapat Perdamaian wajib memuat :
1. Isi perdamaian
2. Nama kreditor yang hadir dan
berhak mengeluarkan suara dan menghadap
3. Suara yang dikeluarkan
4. Hasil pemungutan suara; dan
5. Segala sesuatu yang terjadi
dalam rapat
Berita acara rapat dapat
ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera Pengganti
Berita acara
yang sudah disepakati diajukan kembali ke sidang Pengadilan Niaga
untuk mendapat pengesahan oleh
Hakim. Dalam hal ini hakim bisa saja menolak hasil rapat perdamaian. Penolakan
tentu harus didasarkan kepada pertimbangan yang matang. Landasan normatifnya
dijabarkan dalam pasal 159 UUK, Pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian,
bila :
1. Harta debitor, termasuk benda
untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda, jauh lebih besar
daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
2. Pelaksanaan perdamaian tidak
cukup terjamin ; dan/atau
3. Perdamaian dicapai karena
penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor, atau karena
pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor
atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini13
Perdamaian yang
disahkan akan berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak didahulukan.
Dalam hal ini pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
kepailitan berakhir. Kurator wajib mengumumkan perdamaian dalam Berita Negara
RI dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar yang berskala nasional, sesuai
pasal 166 UUK :
1. Dalam hal pengesahan
perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kapailitan berakhir
2. Kurator wajib mengumumkan
perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15 ayat (4)
Prioritas Pembayaran
Mana yang harus
diutamakan ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit? Apakah
pembayaran hutang kepada karyawan
atau pembayaran hutang kepada pihak lain di luar perusahaan atau pihak debitor?
1. Menurut Syariah Islam
Dalam ketentuan Islam semua pihak
berhak atas penerimaan pembayaran hutang atas sisa asset yang ada dari pihak
yang terkena pailit, dimana prosesnya hakim akan melakukan penjualan atas
asset-aset yang tersisa, dan hasil penjualan segera dibagikan kepada para
kreditor, namun tidak menyebutkan secara terinci, pihakpihak mana saja yang
harus dipenuhi kewajibannya. Namun hakim tidak boleh mengabaikan pembayaran
kepada karyawan karena, karyawan juga termasuk kategori penjual jasa kepada perusahaan.
2. Berdasarkan ketentuan UU
Kepailitan
Beberapa
ketentuan mengenai pembayaran kewajiban utang oleh debitor pailit
yaitu mengacu kepada :
1. Pasal 113 UUK No. 37 Tahun
2004
Ayat 1 ”Paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim pengawas harus
menetapkan :
a. batas akhir pengajuan tagihan
;
b. batas akhir verifikasi pajak
untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan ;
c. hari, tanggal, waktu, dan
tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan
piutang
2. Pasal 176 UUK No. 37 Tahun
2004
Dalam hal
kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi diantara para kreditor
dengan cara :
a)
Jika Kreditor lama dan Kreditor
baru belum mendapat pembayaran, hasil pengurangan harta pailit dibagi diantara
mereka secara pro rata
b)
Jika telah dilakukan pembayaran
sebagian kepada Kreditor lama, Kreditor lama dan Kreditor baru berhak menerima
pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian
c)
Kreditor lama dan Kreditor baru
berhak memperoleh pembayaran secara pro rata atas sisa harta pailit setelah
dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dipenuhinya
seluruh piutang yang diakui;
d)
Kreditor lama yang telah
memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang
telah diterimanya.
Dari ketentuan
di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kreditor atas putusan pailit adalah
:
a.
Direktorat Jendral Pajak
b.
Karyawan atas debitor pailit ; dan
c.
Perusahaan lain yang memberikan
pinjaman modal dana, mensuplai barang
NILAI PEMBAYARAN, PROSPEK, DAN
TUNTUTAN PAILIT OLEH
KARYAWAN
Dalam hal
pengembalian hutang-piutang - Senilai harga barang yang berlaku saat pembelian
dahulu atau senilai uang / barang yang berlaku saat ini?
1. Ketentuan Islam
Dalam QS. Al-Baqarah 282 dengan
jelas disebutkan bahwa akad dan pencatatan adalah hal yang sangat esensial, dan
harus disaksikan oleh dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan. Ketentuan QS. Al-Baqarah ini dengan tegas menyebutkan bahwa
setiap hal yang disepakati dalam perjanjian hutang-piutang harus dicatat tanpa
mengurangi atau menambah sedikit apapun, dan fungsi daripada para saksi
adalah untuk mengingatkan para
pihak yang dikhawatirkan lupa dengan apa yang telah diakadkan.
Tidak ada
ketentuan yang dengan rinci mengatur isi daripada perjanjian hutang-piutang
tetapi surat tsb menuntut agar perjanjian dibuat sejelasjelasnya dengan segala
dampak yang ada, agar tidak menimbulkan perselisihan dimasa yang akan datang,
terlebih apabila salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Dalam
penyelesaian juga harus dihindarkan terjadinya riba karena disebabkan
pertambahan hutang karena adanya
waktu
2. Ketentuan UU Kepailitan
Sedangkan
menurut UU Kepailitan, mekanisme pengembalian utang-piutang sepenuhnya
dilakukan oleh kurator dengan pengawasan hakim pengawas. Kurator tentunya
adalah seorang ahli dalam bidangnya, dalam hal ini keahlian mereka salah
satunya adalah dalam menentukan harga lelang aset kreditor, ini sangat penting,
karena nilai uang hasil lelang menunjukkan prestasi daripada kurator.
Hasil dari
lelang itu akan menjadi modal untuk mengembalikan utang debitor kepada kreditor
dengan pembagian prorata, tentu biasanya setiap kreditor tidak akan memperoleh
nilai yang utuh atas piutangnya
Bagaimana Prospek Pailit terhadapat Debitor? Memacu
Debitor untuk beritikad Baik? Atau Sebaliknya
Kondisi pailit
dapat menimbulkan dua dampak sekaligus, dimana debitor pailit dapat memperbaiki
kondisi perusahaannya dan juga beritikad baik untuk memenuhi kewajibannya
kepada kreditor, atau bahkan sebaliknya dengan adanya tenggang waktu
penyelesaian utang piutang debitor dapat melepaskan diri dari segala kewajiban
menyelesaikan utang-piutangnya Biasanya dalam pelaksanaan putusan hakim,
seringkali dijumpai dimana debitor menghalang-halangi proses eksekusi atas
harta pailit, hal ini membuat proses pembayaran menjadi tidak terlaksana dengan
cepat
Cara Pengambilan Keputusan Penetapan Taflis
Itikad
II
III
Pembayaran
I
IV
Prospek
Perusahaan
Dari matriks diatas kita dapat
mengklasifikasikan tipe-tipe perusahaan sbb :
1)
Matriks I : Prospek rendah dan
itikad pembayaran juga rendah
2)
Matriks II : Prospek rendah tapi
itikad pembayaran baik
3)
Matriks III : Prospek baik dan
itikad pembayaran tinggi
4)
Matriks IV : Prospek baik tapi
itikad pembayaran rendah
Dengan mengacu
kepada matriks memudahkan sidang untuk menetapkan perusahaan mana yang dapat
dituntut pailit. Dalam hal ini perusahaan dalam kategori matriks I dan IV masuk
dalam kategori. Sementara perusahaan yang masuk dalam kategori matriks II dan
III, dapat dengan cara pembinaan management atau business dan
memberikan pinjaman modal.
Tuntutan Pailit oleh karyawan
Dalam hubungan
timbal-balik bekerja, perusahaan adalah pihak pembeli dan karyawan adalah pihak
penjual, dengan kata lain karyawan menjual jasa kepada perusahaan.
Dari Abu
Hurairah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
“Siapapun
yang bangkrut, lalu kreditornya mendapatkan barangnya sendiri pada si bangkrut,
maka kreditor itu lebih berhak untuk menarik kembari barangnya daripada
lainnya”. Dan bersumber dari Amir ibn Syurraid dari ayahnya dari Nabi SAW,
beliau bersabda “Penundaan orang yang sudah mampu membayar utang itu adalah
zhalim yang membolehkan untuk melaporkan dan memaksanya”
Hadits tersebut
diatas dapat dianalogikan bahwa jasa dari karyawan tersebut adalah
harta/barang, sehingga dalam hal ini karyawan dapat menuntut pailit perusahaan
yang telah dengan sengaja melakukan wanprestasi dalam pembayaran upah dan atau
hak hak karyawan lainnya (berhutang)
Untuk bahasan
permasalahan pailit ini, saya mengambil contoh permasalahan pailit yang saat
ini sedang menjadi topik hangat di antara badan peradilan dan pemerintahan
yaitu tentang putusan PN Jak-Pus yang mem-PAILIT-kan PT Dirgantara Indonesia
(PT DI) atas tuntutan dari karyawannya Terlebih dahulu kita lihat kronologis
mulai dari Direksi PT DI merumahkan karyawannya hingga Putusan Pailit dari PN
Jak-Pus
11
11 Juli 2003
Direksi PT DI merumahkan seluruh karyawannya (Lock Out). Beberapa hari
kemudian beberapa mantan karyawan demo di Bandung
21
15 Juli 2003
Menakertrans menerbitkan surat No. 644.KP.02.33.2003 yang menyatakan
proses lock out tidak sesuai dengan prosedur dan melanggar UU No.
13/2003
31
29 Januari 2004
permohonan PHK PT DI dikabulkan P4P
41
14 Juni 2005
Permohonan eksekusi mantan karyawan yang di PHK diterima PN Jak-Pus
51
29 Maret 2006
Terjadi kesepakatan, PT DI akan membayar tunai kewajiban perusahaan
terhadap karyawan Rp. 40 milliar. Sisanya hak pensiun karyawan Rp. 200
milliar dilunasi dengan skema lain
61
9 Juli 2007
Kewajiban tidak dipenuhi, mantan karyawan menggugat pailit PT DI ke PN
Jak-Pus
71
4 September 2007
PN Jak-Pus menyatakan PT DI pailit dan wajib melunasi utang terhadap
kreditor dan 3500 mantan karyawannya
Dasar putusan hakim
Dasar
pertimbangan putusan hakim atas kasus PT DI antara lain bahwa :
1
Majelis hakim menyatakan, PT DI
tidak melaksanakan keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) poin ketiga yang memerintahkan PT DI membayar kompensasi pensiun dan
jaminan hari tua
2
PT DI juga pernah diperingatkan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Pengadilan Negeri Jak-Pus. Saat
itu Depnakertrans memerintahkan agar PT DI melunasi kompensasi pensiun dalam
jangka waktu 30 hari
3
Majelis hakim pun mempertimbangkan
dalil termohon bahwa PT DI merupakan obyek vital nasional dan menyerahkan
dokumen gambaran pelaksanaan kerja selama lima tahun terakhir dan dokumen
perencanaan hingga 2017. Namun menurut majelis hakim, dokumen itu hanya berupa
estimasi yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana. Dari dokumen tentang
gambaran kerja lima tahun, khususnya pada tahun 2006, PT DI merugi Rp. 78,42
milliar
4
Berdasarkan pertimbangan poin 1-3
di atas, maka tidak ada alasan bagi majelis hakim untuk mempertahankan eksistensi
PT DI
5
PT DI terbukti memiliki 2 kreditur
yang saat ini dalam kondisi macet Dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut,
maka pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menneg BUMN langsung mengajukan
kasasi
Adapun dasar
pertimbangan pengajuan kasasi oleh Menneg BUMN adalah
1
Kinerja perusahaan sedang membaik
2
Sedang mempersiapkan nota
kesepahaman atas rencana pemesanan 10 unit pesawat dengan pihak Merpati
Nusantara Airlines
3
Hingga saat ini juga PT DI masih
memproduksi komponen-komponen pesawat terbang untuk perusahaan dunia Airbus
4
Dengan pertimbangan poin 1-3
diatas, maka Menneg BUMN menganggap tidak tepat jika PT DI dinyatakan pailit
Sumber : Harian Kompas 05 September
2007 & Republika 06 September
2007
Kesimpulan
1
Pembahasan ataupun pendalaman masalah
taflis masih belum dilakukan oleh umat muslim dimana keputusan-keputusan secara
teknis operasional belum ada tata aturannya secara menyeluruh. Hal ini dapat
dibuktikan dengan belum adanya fatwa dari DSN maupun MUI tentang Taflis
2
Jika ada sengketa maka yang
dianjurkan oleh islam adalah perdamaian, kemudian ’merelakan’ hutang-hutang
mereka yang tidak mampu. Jika tidak baru diselesaikan oleh institusi yang
berwenang
3
Tidak ada perbedaan secara nyata
antara hukum taflis dan hukum pailit di Indonesia, hanya hukum pailit Indonesia
telah mengatur secara spesifik teknis pelaksanaannya
4
Badan Arbitrase Syariah Nasional
tidak berkompeten secara umum dalam penyelesaian taflis, kecuali kepada
institusi syariah keuangan.
5
Dalam pengambilan keputusan taflis
hakim sebaiknya harus melihat perusahaan tsb dari sisi prospek jangka panjang,
strategis dan itikad pembayaran (matriks taflis), agar tidak menjatuhkan
keputusan yang kontraproduktif
6
Hendaknya pencatatan dilakukan
dengan seksama untuk memudahkan jika harus melakukan tuntutan pailit kepada
perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Abdullah bin Abdurrahman Al
Bassam., Syarah Bulughul Maram, Pustaka
Azzam, Cetakan Pertama, Jakarta,
2006.
M. Ali Hasan., Berbagai Macam
Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Raja Grafindo Persada, Cetakan Kedua,
Jakarta, 2004
Hamzah Ya’qub., Kode Etik Dagang
Menurut Islam, CV. Diponegoro. Cetakan Ketiga, Bandung, 1999
Sentosa Sembiring, S.H, MH.,
Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang- Undangan yang Terkait Dengan
Kepailitan, CV. Nuansa Aulia, Cetakan Pertama, Bandung 2006
[1]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Syarah Bulughul Maram. Hlm. 504
[2] M.
Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Hlm. 19
[3] Hasan, M.Ali, Berbagai macam transaksi
dalam Islam (Jakarta, RajaGrafindo Persafa, 2004) Hlm.195
[4]
Hamzah Ya’qub. Kode Etik Dagang Menurut Islam. Hlm. 238
[5]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Op. Cit. Hlm. 504
[6] 5
Ibid. Hlm. 505
[7] Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2000).
[8]Abdullah
bin Abdurrahman Al Bassam. Op. Cit. Hlm. 515-517
[9]Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2000).
[10] Nasrun Haroen, Figh muamalat (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2000).
[11] Sentosa
Sembiring, S.H, MH. Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-Undangan yang
Terkait dengan Kepailitan. Hlm. 12
[12]
Sentosa Sembiring, S.H, MH. Op. Cit. Hlm. 29
[13]
Ibid., hlm.32
[14]
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam. Op. Cit. Hlm. 530-531
Syukron atas ilmunya
ReplyDeleteAfwan...
ReplyDeleteJazakillah sudah mendapatkan manfaat dari artikel ini...
jazaakumullah makalahnya. sangat bermanfaat
ReplyDelete