PENGALIHAN UTANG DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Pendahuluan
Dalam pemulihan kebutuhan material
individu maupun masyarakat diperlukan penerapan system ekonomi islam. Islam
memiliki seperangkat tujuan dan nilai yang mengatur seluruh aspek kehidupan
yaitu mendorong tiap-tiap individu untuk berusaha keras memenuhi kebutuhan
hidup agar social welfare dari dunia
uthopis menjadi realistis.
Salah satu proses pemenuhan kebutuhan (need fullfilment) tersebut diperlukan penguaaan besar kecilnya pendapatan, sehingga dapat menyesuaikan pendapatan dengan pengeluaran, jadi bila lebih banyak uang yang dapat diperoleh dengan meminjam uang atau dalam istilahnya berhutang. Islam dalam ini membenarkan cara ini sebagai transaksi manusiawi, karena didalamnya unsur moralitas dengan mengambil kredit konsumtif.
A. Utang Piutang
1. Definisi dan Karakteristiknya
Purwadarminta1
mengartikan uTang adalah uang yang dipinjamkan kepada orang lain dan
berkewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Sementara piutang2
dengan arti uang yang dipinjamkan, yang dapat ditagih dari orang yakni memberi
pinjaman kepada orng lain.
Dari definisi diatas dapat diambil ikhtisar bahwa dalam proses utang piutang ada aspek moral yakni solidritas social dalam dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menolongnya dari kesusahan merupakan tujuan utama syariat.
Islam
membolehkan kredit konsumtif untuk memenuhi kebutuhan minimum yang mutlak, hal
ini telah dipatrikan dalam al-Quran dalam surat al-Baqarah: 282
Artinya: Hai orang-orang yang beriman apabila kamu
berutang piutang satu sama lain untuk waktu tertentu hendaklah kamu
menuliskannya…dan hendaklah orang yang berhutang mengimlakan…
Jadi
berarti bahwa setiap transaksi utang piutang harus jelas tertulis tanpa
merugikan si peminjam, sang kreditur harus mencegah jangan sampai berlaku tidak
adil pada orang yang berutang. Perjanjian ini bertujuan untuk menghindari
perselisihan.
Dalam
hadits dijelaskan, diriwayatkan oleh dari Abu Hurairah bahwa nabi Muhammad SAW
bersabda: Barang siapa berutang dengan maksud akan membayarnya kembali, Allah
SWT akan membayar atas namanya dan barang siapa berutang dengan maksud hendak
memberatkannya, Allah SWT akan menghancurkan hidupnya. (Riwayat Bukhari).
Pengembalian
suatu pinjaman merupakan hal yang sangat penting. Dalam hadits: “Usungan
jenazah dibawa kepada nabi agar nabi mensholatkan jenazah tersebut, beliau
bertanya “adakah ia berutang?” Jawaban mereka “ya” beliau berkata,
“Sholatkanlah sahabatmu” Abu Qatadah berkata, saya akan membayar utangnya ya
Rasulullah, maka beliaupun mensholatkannya.
Dengan
menolak mensholatkan ini beliau menginginkan agar mencegah kebiasaan untuk
membuat perjanjian utang tanpa berikhtiar untuk membayar kembali. Betapa
pntingnya memenuhi hak sesama manusia terutama masalah utang, tidak dapat
menebus dasarnya, jika ia masih berutang walaupun andaikata ia berulang kali
mati sahid.
Artinya: bagi para syuhada akan dihapus
seluruh dosanya kecuali utang-piutang (yang belum mereka bayar).
Diantara
keadilan yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah melunasi utang pada waktunya
selama bersangkutan mampu melaksanakannya demi melepaskan beban tanggungan,
menunaikan hak untuk menepati janji bila ia mengulur-ulur waktu pembayaranutang
padahal ia mampu, maka ia adalah zhalim dan berhak mendapatkan siksaan bagi
orang yang zhalim.
Artinya: mengulur-ulur pembayaran utang bagi orang yang mampu adalah
menghalalkan harga dirinya (untuk dihinakan) dan hukuman kepadanya.
Para
ulama mengatakan utang adalah keburukan dari kehinaan karena terdapat padanya
kegundahan hati dan pikiran untuk melunasinya, kehinaan diri ketika bertemu
dengan piutang, menahan keinginan untuk menundanya sampai terbayar utangnya dan
acap kali berjanji untuk melunasi lalu mengingkari berdusta atau bersumpah
untuk melanggarnya. Dari sinilah Rasulullah selalu berlindung diri dari dosa
terlilit utang.
Uraian
diatas merupakan peringatan bagi para kreditur yang cenderung untuk tidak
memenuhi janjinya bahkan mencoba untuk berdalih agar tidak membayar utang walau
pada dasarnya ia mampu untuk membayarnya.
2. Pengalihan Utang (al-Hiwalah)
Berbicara
tentang utang piutang maka hal ini ada hubungan dengan masalah pengalihan utang
yang lazimnya disebut hiwalah. Secara etimologi hiwalah berarti pengalihan,
pemindahan perubahan warna kulit, memikul sesuatu diatas pundak. Secara
terminologi hiwalah didefinisikan dengan:
Ø Pemindahan kewajiban membayar utang
dari orang yang berutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya
(al-muhtal’alaih).
Ø Pengalihan kewajiban membayar utang
dari beban pihak pertama kepada pihak yang lain yang berutang kepadanya atas
dasar saling mempercayai.
Dari kedua definisi diatas dapat
diartikan bahwa secara subtansial mengan dung arti yang sama yaitu pemindahan
hak menuntut utang kepada pihak lain atas persetujuan dari pihak yang memberi
utang.
3. Landasan Hukumnya
Islam
membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah kezhaliman. Dan
jika salah seorang kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang kaya yang
mampu maka turutlah.
Disamping itu terdapat kesepakatan
ulama (ijma) menyatakan bahwa tindakan boleh. Ditinjau dari segi objek akad
maka hiwalah dapat dibagi dua: pertama
hiwalah
al-haqq atau memindahkan hak yang artinya hak menuntut utang, kedua hiwalah ad-dain atau pemindahan
utang. Semantara pembagian hiwalah dari jenisnya, mazhab Hanafi mengelompokkan
hiwalah menjadi dua: pertama pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang
disebut hiwalah al-muqayyadah atau
pemindahan bersyarat, kedua pemindahan
utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti dari pembayaran utang pihak kedua
disebut hiwalah al-mutlaqah.
Kedua macam hiwalah diatas yakni hiwalah
al-muqayyadah maupun hiwalah
al-mutlaqah boleh dilaksanakan dengan syarat pihak ketiga menerima
pemindahan utang. Adapun ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat
bahwa yang boleh dilakukan hanyalah hiwalah al-muqayyadah, sedangkan didalam
hiwalah al-mutlaqah memungkinkan terjadinya gharar (penipuan).
Adapun rukun hiwalah adalah hijab
yakni pernyataan melakukan hiwalah dari
pihak pertama dan qabul pernyataan menerima hiwalah dari pihak kedua dan pihak
ketiga. Setelah akad hiwalah terjadi maka akibat hukum dari akad adalah
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...