WAKAF DALAM KAJIAN FIQH
Agustianto
عن أبى هريرة رضي الله عنه، ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم قال: إذا مات ابن آدم
انقطع عمله الا من ثلاث: صدقة جارية، او علم ينتفع به، او ولد صالح يدعو
له
(رواه مسلم).
Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang manusia
meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya” H.R. Muslim.
Dalam
bab wakaf, para ulama menafsirkan periwayatan hadits tersebut “shadaqah jâriyah”
itu sebagai wakaf.
Dalam kitab fiqh al-Sunnah, al-Suyuthi menazhamkan (mensajakkan), jenis wakaf lainnya sehingga ada sepuluh macam, sebagai berikut:
إِذَا مَاتَ ابْنُ
آدَمَ لَيْسَ يَجْرِى # عَلَيْهِ مِنْ فِعْلٍ غَيْرِ عَسْرٍ
عُلُوْمٌ بَشَّهَا
وَدُعَاءُ نَجْلٍ # وَغَرْسُ النَّخْلِ وَالصَّدَقَاتُ تَجْرِى
وِرَاثَهُ مُصْحَفٍ
وَرِبَطُ ثَغْرٍ # وَحَفْرُ الْبِئْرِ اَوْ إِجْرَاءُ نَهْرٍ
وَبَيْتٌ
لِلْغَرِيْبِ بَنَاهُ يَأْوِى # اِلَيْهِ اَوْ بِنَاءُ مَحَلِّ ذِكْرٍ[1]
“Bila anak Adam telah mati, tiada
mengalir baginya pahala, kecuali dari sepuluh perkara: Ilmu yang disebarkannya;
Do’a anak yang dididiknya; Pohon kurma yang ditanamnya; Sedekah jariyahnya;
Mushaf yang diwariskannya; Tempat berlindung yang dibangunnya; Sumur yang
digalinya; Sungai yang dialirkannya; Tempat penampungan orang bepergian yang
didirikannya; dan Tempat beribadah yang disediakannya”.
I.
DEFINISI
WAKAF
Wakaf
(waqf) dalam bahasa Arab berarti habs (menahan), merupakan mashdar
dari waqafa-yaqifu-waqfan, atau habasa-yahbisu habsan.
Ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf, yang pada akhirnya membawa
perbedaan pula tentang akibat hukum yang timbul daripadanya.
Imam
Abu Hanifah mendefinisikan wakaf dengan: “menahan materi benda orang yang
berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebajikan”. Imam Abu Hanifah
memandang akaq wakaf tidak mengikat, dalam artian bahwa orang yang berwakaf
boleh saja mencabut wakafnya kembali dan boleh diperjualbelikan oleh pemilik
semula. Dengan demikian, mewakafkan harta bagi Imam Abu Hanifah bukan berarti
menanggalkan hak milik secara mutlak. Menurutnya, akad wakaf baru bersifat
mengikat apabila: (1) terjadi sengketa antara orang yang mewakafkan (wâqif)
dan pemelihara harta wakaf (nâzhir), dan hakim memutuskan bahwa wakaf
itu mengikat; (2) wakaf itu dipergunakan untuk masjid; dan (3) putusan hakim
terhadap harta wakaf itu dikaitkan dengan kematian orang yang berwakaf.
Alasan
Imam Abu hanifah yang menyatakan bahwa wakaf tidak mengikat adalah sabda
Rasulullah SAW yang menegaskan: “Tidak boleh menahan harta yang merupakan
ketentuan-ketentuan Allah” (H.R. al-Dâruquthni). Menurut Imam Abu Hanifah
apabila wakaf bersifat melepaskan hak milik, maka akan bertentangan dengan
hadits ini, karena harta itu tergantung hak ahli waris wâqif yang
termasuk ketentuan-ketentuan Allah SWT. Akan tetapi Wahbah Zuhaili (guru besar
fiqh Islam di Universitas Damascus, Suriah) menyatakan bahwa maksud sabda
Rasulullah SAW di atas adalah membatalkan sistem waris yang ada di zaman
jahiliah yang membatasi hak waris hanya pada kaum pria dewasa, di samping
hadits itu sendiri adalah hadits dha’îf (lemah).
Jumhur
Ulama, termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani, keduanya
madzhab Hanafi, mendefinisikan wakaf dengan: “menahan tindakan hukum orang
yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebajikan dalam rangka mendekatkan diri
pada Allah SWT, sedang materinya tetap utuh”. Jumhur Ulama berpendapat
bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi milik wâqif dan
akadnya bersifat mengikat. Status harta tersebut telah berubah menjadi milik
Allah SWT yang dipergunakan untuk kebajikan bersama, sehingga wâqif
tidak boleh lagi bertindak hukum terhadap harta tersebut.
Alasan
Jumhur menyatakan bahwa harta yang diwakafkan tidak lagi menjadi milik wâqif
dan akadnya mengikat adalah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Bahwasanya
Umar mempunyai sebidang tanah di Khaibar, lalu berkata kepada Rasulullah: ‘Ya
Rasulallah, saya memiliki sebidang tanah di Khaibar yang merupakan harta saya
yang paling berharga, lalu apa yang dapat saya lakukan terhadap harta itu (apa
perintah engkau kepada saya)?’ Rasulullah SAW menjawab: ‘JIka kamu mau,
wakafkan dan sedekahkan harta itu’. Lalu Umar menyedekahkan harta itu dengan
syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
Harta itu diperuntukkan bagi fakir-miskin, kaum kerabat, untuk memerdekakan
budak, untuk tamu, dan orang terlantar. Tidak ada salahnya bila pengelola tanah
itu mengambil (hasilnya sekedar untuk kebutuhan hidupnya) dengan cara yang
ma’ruf (baik dan wajar) dengan memakannya, buka dengan menjadikan miliknya”.
(H.R. al-Jama’ah).
Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani (muhaddits), hadits ini merupakan dasar hukum
wakaf yang paling utama, karena haditsnya paling shahîh di antara
hadits-hadits yang membahas tentang wakaf.
II.
DASAR
DAN HUKUM WAKAF
Yang
menjadi dasar hukum wakaf adalah firman Allah SWT dalam surat Âli ‘Imrân (3)
ayat 92 dan surat al-Baqarah (2) ayat 267, sebagai berikut:
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون ... (ال عمران: 92).
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu
cintai …”
(Q.S. 3/Âli ‘Imrân: 92).
ياأيها الذين ءامنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما
أخرجنا لكم من الأرض ... (البقرة: 267).
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …” (Q.S.
2/al-Baqarah: 267).
Menurut
Jumhur Ulama, keumuman kedua ayat tesebut menunjukkan di antara cara
mendapatkan kebaikan itu adalah dengan menginfakkan sebagian harta yang
dimiliki seseorang, di antaranya melalui sarana wakaf. Di samping itu, sabda
Rasulullah SAW tentang kisah Umar bin Khattab di atas, yang mewakafkan tanahnya
di Khaibar untuk kebajikan umum. Berdasarkan alasan-alasan di atas, Jumhur
Ulama mengatakan bahwa wakaf itu hukumnya sunah. Akan tetapi,
ulama-ulama madzhab Hanafi mengatakan bahwa wakaf itu hukumnya mubâh
(boleh), karena wakaf orang kafirpun hukummnya sah. Namun demikian, mereka juga
mengatakan bahwa suatu ketika hukum wakaf bisa menjadi wajib, apabila wakaf itu
merupakan objek dari nadzar seseorang.
Mengenai
status pemilikan harta yang diwakafkan, apabila akad wakaf telah memenuhi rukun
dan syaratnya, menurut Imam Abu Hanifah tetap menjadi milik wâqif, dan wâqif
boleh saja bertindak hukum terhadap harta tersebut.
Ulama
madzhab Maliki juga berpendapat demikian, tetapi hasil harta wakafnya menurut
mereka menjadi milik orang yang menerima wakaf. Menurut Ulama madzhab Syafi’i
dan Hanbali, bahkan juga Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani
apabila wakaf telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka pemilikan harta menjadi
lepas dari tangan wâqif, dan berubah status menjadi milik Allah SWT yang
dipergunakan untuk kepentingan umum.
III.
PEMBAGIAN
WAKAF
Ulama
fiqh membagi wakaf kepada dua bentuk. Pertama, wakaf khairi,
yaitu wakaf yang sejak semula diperuntukkan bagi kemashlahatan atau kepentingan
umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk
membangun masjid, sekolah, dan rumah sakit. Kedua, wakaf ahli
atau zhurri, yaitu wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi
tertentu atau sejumlah orang tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk
kemashlahatan dan kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat,
harta wakaf itu tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.
IV.
RUKUN
DAN SYARAT WAKAF
Ulama
madzhb Hanafi mengatakan bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang
berupa ijab (pernyataan mewakafkan harta dari wâqif). Sedang qabul
(pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi Ulama madzhab Hanafi,
karena menurut mereka akad tidak bersifat mengikat. Artinya, apabila seseorang
mengatakan “saya mewakafkan harta saya pada Anda”, maka akad itu sah dengan
sendirinya, dan orang yang diberi wakaf berhak atas manfaat harta itu.
Jumhur
Ulama mengatakan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu: (1) orang yang berwakaf;
(2) harta yang diwakafkan; (3) penerima wakaf; dan (4) akad wakaf. Untuk orang
yang berwakaf, disyaratkan: (1) orang merdeka; (2) harta itu milik sempurna
dari orang yang berwakaf; (3) baligh dan berakal, dan (4) cerdas.
Apabila
harta itu terkait hutang, ulama madhzab Hanafi merinci hukumnya sebagai
berikut:
1.
Jika hutang
itu tidak mencakup seluruh harta, maka mewakafkan sisa harta yang tidak terkait
hutang hukumnya sah.
2.
Apabila
hutang itu mencakup seluruh harta wâqif, maka akad wakafnya dianggap mauquf
(ditangguhkan) sampai ada izin dari para piutang. Jika mereka mengizinkan, maka
wakafnya sah, dan apabila mereka tidak mengizinkan, maka wakafnya batal.
Terhadap
syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan ulama. Ulama madzhab
Hanafi mensyaratkan harta yang disyaratkan itu:
1.
Harus
bernilai harta menurut syara’ dan merupakan benda tidak bergerak. Oleh sebab
itu, minuman keras tidak bisa diwakafkan, karena minuman keras dan sejenisnya
tidak tergolong harta dalam pandangan syara’. Di samping itu, haq al-irtifa’
(hak memanfaatkan harta orang lain) tidak boleh diwakafkan, karena hak seperti
itu tidak termasuk harta bagi mereka dan harta yang bergerakpun tidak bisa
menjadi objek wakaf, karena objek wakaf itu harus yang bersifat tetap.
2.
Tertentu dan
jelas.
3.
Milik
sah wâqif, ketika berlangsung
akad dan tidak terkait hak orang lain
pada harta itu.
Ulama
madzhab Maliki mensyaratkan harta yang diwakafkan itu: (1) milik sendiri, tidak
terkait dengan orang lain; (2) harta tertentu dan jelas; dan (3) dapat
dimanfaatkan.
Oleh
sebab itu, harta yang sedang menjadi jaminan hutang, dan harta yang sedang
disewa orang tidak boleh diwakafkan. Akan tetapi, ulama madzhab Maliki
membolehkan mewakafkan makanan, uang, dan benda tidak bergerak lainnya.
Ulama
madzhab Syafi’i dan Hanbali mensyaratkan harta yang diwakafkan itu: (1) sesuatu
yang jelas dan tertentu; (2) milik sempurna wâqif, dan tidak terkait
dengan hak orang lain; (3) bisa dimanfaatkan sesuai dengan adat setempat; dan
(4) pemanfaatan harta itu bisa berlangsung terus-menerus tanpa dibatasi waktu.
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng, seperti makanan tidak
sah wakafnya.
Di
samping itu, menurut mereka baik harta bergerak, seperti mobil dan hewan ternak
maupun harta tidak bergerak, seperti rumah dan tanaman, boleh diwakafkan.
Untuk
syarat orang yang menerima wakaf, terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: orangnya
tertentu dan tidak tertentu, seperti fakir-miskin, ulama, masjid,
dan sekolah. Orang tertentu itu bisa satu, dua, atau orang banyak. Apabila
penerima wakaf itu orang tertentu, baik satu, dua, atau orang banyak, maka
mereka haruslah orang yang cakap untuk memiliki, yang dalam istilah ushul fiqh
disebut sebagai ahliyah al-wujub (cakap untuk menerima hak). Oleh sebab
itu, bayi yang akan lahirpun, menurut ulama madzhab Maliki, boleh menerima
wakaf. Mereka juga membolehkan kaum zimmi (orang kafir yang tunduk dan
hidup di negara Islam) menerima wakaf, sekalipun bukan dari kalangan ahli
kitab.
Ulama
madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa orang yang menerima wakaf itu
harus punya kemungkinan memiliki harta itu ketika berlangsungnya akad. Oleh
sebab itu, apabila wakaf ditujukan kepada anak yang akan lahir, menurut mereka
tidak sah. Di samping itu, wakaf juga tidak sah diberikan kepada hamba sahaya,
karena mereka tidak cakap untuk memiliki harta. Tidak sah juga memberikan wakaf
kepada kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) dan orang murtad.
Tetapi mereka sepakat dengan ulama madzhab Hanafi dan Maliki, bahwa wakaf boleh
diberikan kepada kafir zimmi.
Adapun
penerima wakaf yang tidak tertentu, seperti fakir-miskin, masjid, dan sekolah,
disyaratkan:
1.
Harus jelas
penerimanya dan sasarannya untuk kebajikan serta untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Syarat ini disepakati ulama untuk orang Islam. Akan tetapi, ulama
madzhab Syafi’i mengatakan bahwa wakaf juga sah sekalipun segi pendekatan diri
kepada Allah SWT tidak kelihatan seperti berwakaf kepada orang kaya, kaum
zimmi, dan orang fasik. Wakaf yang bertujuan ma’siat (melanggar ajaran syara’)
tidak boleh, seperti berwakaf untuk mendirikan sarana perjudian, untuk gereja,
sarana hiburan malam, serta sarana yang membawa kepada yang haram dan kesesatan
lainnya. Ulama madzhab Hanbali bahkan mengatakan bahwa tidak boleh berwakaf
untuk mendirikan masjid apabila masjid yang akan dibangun itu di atas kuburan,
karena Rasulullah SAW melaknat para penziarah kubur yang menjadikan kuburan
sebagai masjid. (H.R. Abu Dawud, al-Nasa’i, dan al-Tirmidzi).
2.
Imam Abu
Hanifah dan Muhammad Hasan al-Syaibani mensyaratkan bahwa wakaf itu tidak
terputus dengan penerima wakaf (nâzhir). Apabila penerima wakaf wafat, habis,
atau hancur, seperti sekolah, masjid rusak dan hancur, fakir-miskin tidak ada
lagi, sedangkan status wakaf tidak dijelaskan untuk selamanya, maka wakafnya
tidak sah, karena menurut mereka wakaf itu harus bersifat selamanya, tidak
terputus. Akan tetapi Jumhur Ulama, termasuk Imam Abu Yusuf, mengatakan bahwa
apabila penerima wakaf yang tidak tertentu, seperti masjid dan sekolah telah
hancur dan habis, maka secara otomatis harta wakaf itu menjadi milik
fakir-miskin, sekalipun di dalam akad tidak disebutkan. Ulama madzhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali sepakat menambahkan bahwa apabila penerima wakaf itu tidak
ada lagi, maka harta wakaf dikembalikan kepada keluarga terdekat wâqif
yang miskin, dengan pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Alasan mereka
adalah hadits Rasulullah SAW yang mengatakan: “Tidak sah sedekah, sementara
kaum kerabat dalam keadaan membutuhkan” (H.R. al-Tabrani). Tetapi ulama
madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendirian bahwa sekalipun harta itu diserahkan
kepada keluarga terdekat wâqif yang miskin, namun tidak berarti bahwa
fakir-miskin yang bukan kerabat wâqif tidak berhak atas harta wakaf itu.
Adapun
syarat akad dan lafal wakaf cukup dengan ijab saja menurut ulama madzhab
Hanafi dan Hanbali, baik untuk wakaf pada orang tertentu maupun tidak.
Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki dan Syafi’i dalam akad wakaf harus ada ijab
dan qabul, jika wakaf ditujukan kepada pihak/orang tertentu.
Lafal
wakaf secara khusus, menurut ulama madzhab Hanafi, ialah sebagai berikut:
“tanah ini merupakan wakaf untuk selamanya bagi fakir-miskin” atau “diwakafkan
li Allah Ta’ala”, atau “untuk kepentingan dan kebajikan umum”. Akan tetapi Imam
Abu Yusuf dari kalangan madzhab Hanafi mengatakan bahwa lafal itu dikembalikan
kepada adat setempat; yang penting adanya pernyataan mewakafkan harta, tanpa
menyebutkan untuk selamanya. Ulama madzhab Maliki mengatakan lafal wakaf itu
boleh dengan lafal yang sharih (jelas), seperti “saya mewakafkan” dan
boleh juga dengan lafal yang tidak jelas, seperti “saya sedekahkan harta ini
dengan syarat tidak dijual dan tidak dihibahkan”.
Bagi
ulama madzhab Syafi’i, wakaf harus dilakukan dengan lafal, tetapi boleh dengan
lafal sharih, seperti “saya mewakafkan tanah ini untuk ini” dan “saya
sedekahkan tanah ini dengan syarat tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh
dijual”, dan boleh juga dengan lafal ghair sharih (tidak
terang-terangan), seperti “saya serahkan tanah ini selamanya untuk
fakir-miskin”.
Menurut
ulama madzhab Hanbali, wakaf itu ada kalanya dengan lafal sharih,
seperti “saya mewakafkan tanah ini untuk ini”, dan adakalanya dengan lafal kinayah
(sindiran), seperti “saya sedekahkan tanah ini pada ini”. Akan tetapi mereka
mengatakan bahwa lafal wakaf dengan kinayah tidak sah, kecuali jika
syarat-yarat berikut terpenuhi, yakni: (1) niat pemilik harta; (2) ada indikasi
yang menunjukkan wakaf; (3) dibarengi dengan sesuatu yang menunjukkan hukum
wakaf, seperti “saya sedekahkan tanah ini kepada fulan, saya sebagai
pengawasnya selama saya hidup, atau pengawasnya si Ahmad”. Bisa juga wakaf itu
dilakukan melalui perbuatan saja, seperti menjadikan tanahnya sebagai kuburan
dan mengumumkan kepada masyarakat bahwa mereka boleh menguburkan mayat mereka
di tanah tersebut.
Adapun
syarat yang terkait dengan sighat/lafal wakaf itu sendiri, adalah:
1.
Bersifat
selamanya. Menurut Jumhur Ulama wakaf tidak
sah apabila ditentukan waktunya. Apabila wakaf ditentukan dengan waktu
tertentu, seperti “saya mewakafkan tanah saya ini selama satu tahun”, menurut
mereka wakaf itu batal, karena wakaf merupakan salah satu sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang karenanya harus bersifat abadi
(selamanya). Karena wakaf bersifat selamanya, maka ulama madzhab Hanafi
mensyaratkan harta wakaf harus berupa benda tidak bergerak, karena benda
bergerak tidak bersifat selamanya, kecuali benda bergerak itu mengikuti kepada
benda tidak bergerak yang diwakafkan. Akan tetapi, ulama madzhab Maliki tidak
mensyaratkan selamanya dalam wakaf, boleh saja wakaf itu ditentukan pada jangka
waktu tertentu, sehingga apabila habis waktunya pemilik barang itu bisa
mewakafkan kembali kepada orang lain yang membutuhkan.
2.
Menurut
Jumhur Ulama, lafal wakaf tidak terkait dengan syarat atau masa yang akan
datang, karena akad wakaf bersifat pemindahan milik pada saat akad
berlangsung. Ulama madzhab Maliki tidak setuju dengan syarat ini, karena bagi
mereka wakaf boleh-boleh saja dikaitkan dengan syarat seperti ungkapan: “jika
engkau berhasil mengambil rumahku yang ditempati si fulan, maka rumah itu saya
wakafkan kepada engkau”.
3.
Wakaf
tidak dibarengi dengan syarat yang membatalkan,
dalam hal ini syarat yang bertentangan dengan tabiat wakaf itu sendiri, seperti
“saya wakafkan rumah ini pada engkau dengan syarat rumah ini tetap milik saya”,
atau “saya mewakafkan tanah saya ini pada anda dengan syarat nanti saya akan
cabut kembali”. Akan tetapi, menurut ulama madzhab Maliki apabila syarat itu
malah memperbaiki harta yang diwakafkan, atau membayar pajak harta yang
diwakafkan, maka syarat yang demikian dianggap sah dan wakafpun dipandang sah.
Sementara ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan jika wâqif
mensyaratkan harta wakaf itu boleh dijual oleh penerima wakaf, atau wâqif
mensyaratkan pada tanah yang diwakafkan itu bahwa orang lain boleh
menjadikannya jalanan umum, maka wakafnya batal.
4.
Mengikat.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad wakaf itu mengikat. Oleh sebab itu, tidak
boleh mensyaratkan sesuatu yang bersifat memilih (adanya hak pilih/khiyar),
seperti mewakafkan sesuatu dengan syarat ia boleh memilikinya atau orang lain
boleh menjualnya.
5.
Ulama
madzhab Syafi’i menambahkan syarat lain, yaitu harus dijelaskan
dalam akad siapa penerima harta wakaf itu. Akan tetapi Jumhur Ulama
membolehkan jika wakaf itu diungkapkan dengan “saya mewakafkan untuk Allah
Ta’ala”, tanpa menyebut penerima wakaf secara jelas dan tertentu.
V.
BIAYA
HARTA WAKAF
Ulama
sepakat mengatakan bahwa biaya pemeliharaan harta wakaf diambilkan dari
tanah/benda wakaf itu sendiri. Apabila hasilnya tidak ada, atau hasil wakaf
telah habis, maka diambilkan dari Baitul Mal (Kas Negara).
VI.
MENGGANTI
DAN MENJUAL HARTA WAKAF
Ada
beberapa pendapat di kalangan ulama tentang mengganti dan menjual harta wakaf.
Ulama madhzab Hanafi, misalnya menyatakan apabila yang diwakafkan itu dalam
bentuk masjid, dan masjid itu telah roboh, tidak ada yang membangun kembali,
sementara masyarakat telah membangun masjid baru/lainnya, maka masjid wakaf
tersebut tetap dibiarkan sebagaimana adanya sampai hari kiamat; tidak
dikembalikan kepada orang yang membangunnya, dan tidak pula dikembalikan kepada
ahli warisnya. Di samping itu, masjid itu tidak boleh dibawa atau dipindahkan
ke masjid lain, baik masjid wakaf itu masih dipergunakan orang untuk shalat
atau tidak. Akan tetapi, Muhammad Hasan al-Syaibani mengatakan apabila masjid
wakaf itu telah rusak atau roboh, sementara hasil atau harta masjid itu tidak
ada, maka masjid itu dikembalikan kepada orang yang membangun atau ahli
warisnya.
Dalam
hal penggantian harta wakaf, ulama madzhab Hanafi mengemukakan tiga bentuk,
yakni:
1.
Apabila wâqif
mensyaratkan bahwa ia akan mengganti harta wakaf itu dengan tanah, maka
penggantian itu boleh.
2.
Apabila wâqif
tidak mensyaratkan apapun dan harta wakaf itu tidak bisa lagi dimanfaatkan, dan
tidak ada lagi hasilnya, maka penggantian wakaf itupun boleh apabila mendapat
izin dari penguasa.
3.
Apabila
penggantian tidak disyaratkan wâqif, dan penggantian itu pada dasarnya
memberi manfaat, dan wâqif akan menggantinya dengan yang lebih baik,
menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Hanafi penggantian itu tidak sah.
Kemudian,
ulama madzhab Hanafi juga mengatakan bahwa apabila harta wakaf itu berupa benda
tidak bergerak; dan bukan masjid, pihak penguasa boleh menggantinya, sekalipun
tidak disyaratkan oleh orang yang memberi wakaf, dengan syarat: (1) Harta wakaf
itu tidak bermanfaat lagi; (2) Tidak ada hasil dari harta wakaf itu yang dapat
memelihara kelangsungan harta wakaf itu sendiri; (3) Yang mengganti itu adalah
penguasa yang ahli dan bijaksana; (4) Pengganti harta wakaf berupa benda tidak
bergerak; (5) Harta wakaf itu tidak dijual penguasa kepada orang yang tidak
diterima kasaksiannya.
Apabila
kelima syarat itu terpenuhi, menurut ulama madzhab Hanafi harta wakaf boleh
dijual dan dicarikan gantinya.
Ulama
madzhab Maliki membedakan jenis harta wakaf dalam kaitannya dengan penjualan
harta tersebut, yaitu: (1) apabila harta wakaf berwujud masjid, maka tidak
boleh dijual; (2) apabila harta wakaf itu berbentuk harta tidak bergerak, maka
tidak boleh dijual sekalipun telah hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis
yang sama, tetapi boleh dijual dengan syarat dibelikan lagi sesuai dengan
kebutuhan untuk memperluas masjid atau jalan umum; dan (3) dalam bentuk benda
lain dan hewan, apabila manfaatnya tidak ada lagi boleh dijual dan hasil
penjualannya dibelikan barang atau hewan sejenis.
Pendapat
ulama madzhab Syafi’i dalam penjualan harta wakaf adalah: Apabila harta wakaf
itu berupa masjid, maka tidak boleh dijual dan tidak boleh dikembalikan kepada wâqif
atau siapapun, walaupun masjid itu telah rusak dan tidak dapat digunakan untuk
shalat. Alasannya, karena harta itu tetap sebagai harta Allah SWT. Akan tetapi,
pihak penguasa boleh membangun masjid lain, jika pihak penguasa menganggap hal
itu yang terbaik. Jika tidak, maka kekayaan masjid itu menjadi amanah di tangan
pemerintah. Apabila masjid itu rusak dan dikhawatirkan akan runtuh, maka pihak
penguasa harus memperbaikinya. Apabila harta wakaf itu berupa hewan atau
buah-buahan, dan diduga keras pemanfaatannya akan hilang, maka boleh dijual dan
hasilnya diberikan kepada kerabat wâqif yang miskin. Apabila tidak ada
kerabat wâqif yang miskin, maka diberikan untuk fakir-miskin lainnya,
atau untuk kemashlahatan umat Islam setempat.
Pendapat
ulama madzhab Hanafi tentang penjualan harta wakaf adalah sebagai berikut:
1.
Apabila
manfaat harta wakaf telah hilang, seperti rumah telah hancur dan perkebunan
sudah menjadi hutan atau masjid tidak dipergunakan lagi oleh warga setempat,
atau masjid itu telah sempit dan tidak mampu lagi menampung jemaah setempat,
sedangkan biaya untuk memperbaiki dan memperluas masjid itu tidak ada, maka
harta wakaf itu boleh dijual.
2.
Apabila
harta wakaf telah dijual, maka hasil penjualannya boleh dibelikan apa saja
(benda wakaf lain, sejenis atau tidak sejenis), asalkan harta yang dibeli itu
bermanfaat bagi kepentingan umum, karena prinsip dasar dalam wakaf adalah
pemanfaatan harta tersebut seoptimal mungkin bagi kepentingan umum.
3.
Apabila
manfaat harta wakaf sebagian masih bisa dimanfaatkan sekalipun sedikit, maka
harta itu tidak boleh dijual. Tetapi, dalam keadaan darurat boleh dijual demi
memelihara tujuan wakaf itu sendiri.
4.
Apabila
harta wakaf berupa hewan, tetapi sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi lalu dijual
dan hasil penjualannya tidak mencukupi untuk membeli hewan lain yang sama jenis
dan kualitasnya, maka boleh dibelikan hewan lain yang tidak sejenis dan tidak
sekualitas, sesuai dengan uang yang ada, sehingga masih bisa dimanfaatkan
penerima wakaf.
5.
Tidak boleh
memindahkan masjid dan menukarnya dengan yang lain, dan tidak boleh juga
menjual pekarangan masjid, kecuali apabila masjid dan pekarangan masjid itu
tidak bermanfaat lagi.
VII.
HAL-HAL
YANG MEMBATALKAN WAKAF
Ulama
fiqh sepakat mengatakan bahwa apabila salah satu rukun atau syarat wakaf tidak
terpenuhi, maka wakafnya batal. Ulama madzhab Maliki mengemukakan pendapat yang
rinci tentang wakaf. Menurut mereka, wakaf bisa batal apabila: (1) orang yang
berwakaf wafat sebelum harta wakaf diserahterimakan, kecuali apabila ahli
warisnya meneruskan wakaf tersebut; (2) rumah yang diwakafkan tetap ditempati wâqif,
sekalipun hanya satu tahun, atau wâqif mengambil hasil harta yang
diwakafkannya; (3) wakaf untuk hal-hal yang bersifat maksiat, seperti wakaf
untuk gereja, atau wakaf untuk membeli senjata guna memerangi umat Islam; (4)
wakaf itu ditujukan kepada wâqif dan mitranya sehingga harta wakaf itu
tetap saja dimiliki wâqif; (5) bila dalam akad wakaf itu disyaratkan
bahwa pengelola wakaf adalah wâqif sendiri; (6) seluruh harta yang
diwakafkan terbelit hutang; (7) wâqif tidak melepaskan harta yang
diwakafkan itu kepada yang berhak menerima; dan (8) yang memberi wakaf adalah
orang kafir, terutama jika benda wakafnya berupa masjid.
VIII. NÂZHIR (PENGELOLA WAKAF)
Ulama
fiqh sepakat mengatakan bahwa pihak pemberi wakaf boleh menunjuk seseorang atau
lembaga yang akan mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun
menyebut sifat-sifatnya saja, seperti pengelola itu harus cerdas, terampil, dan
bertanggung jawab. Apabila pemberi wakaf menunjuk nâzhir, maka wajib
dipenuhi sesuai dengan syarat yang diminta. Akan tetapi, apabila wâqif
tidak menunjuk atau mensyaratkan nâzhir, menurut ulama madzhab Maliki
dan Syafi’i yang bertindak sebagai nâzhir adalah pihak penguasa, karena
merekalah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kepentingan umum. Menurut
ulama madzhab Hanbali. nâzhirnya adalah orang yang menerima wakaf
tersebut. Menurut ulama madzhab Hanafi, pengelolaan wakaf itu boleh dilakukan
oleh wâqif sendiri, baik ia disyaratkan dirinya sebagai nâzhir
atau tidak, boleh juga orang yang diberi wasiat oleh wâqif. Apabila
tidak ada orang yang ditunjuk atau diwasiati, maka nâzhirnya adalah
pihak penguasa.
IX.
SYARAT-SYARAT
NÂZHIR
Ulama
mensyaratkan seorang nâzhir harus: (1) adil, dalam pengertian orang yang
senantiasa mawas diri dari perbuatan-perbuatan terlarang. Tetapi menurut ulama
madzhab Hanbali, orang fasik boleh menjadi nâzhir, asal ia bertanggung
jawab dalam memegang amanah; (2) memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
mengelola harta wakaf, termasuk kecakapannya dalam bertindak hukum; (3) menurut
ulama madzhab Hanbali apabila harta wakaf itu berasal dari seorang muslim, maka
disyaratkan nâzhirnya juga seorang muslim.
Tanggung
jawab nâzhir adalah mengelola, mengawasi, memperbaiki, dan
mempertahankan harta wakaf dari gugatan orang lain. Apabila seseorang telah
ditunjuk sebagai nâzhir, maka ia boleh menyewakan dan/atau mengembangkan
harta wakaf, serta membagi-bagikan hasilnya kepada penerima wakaf. Dalam usaha
mengembangkan harta wakaf itu agar produktif, menurut ulama madzhab Hanafi nâzhir
berhak menerima upah yang wajar. Apabila wakaf disewakan kepada orang lain
untuk jangka waktu tertentu, seperti menyewakan rumah wakaf selama satu tahun,
atau menyewakan tanah selama tiga tahun, menurut ulama madzhab Hanafi boleh
saja, kecuali ada cara lain yang lebih banyak kemashlahatannya dari penyewaan
dengan jangka waktu yang lama itu. Akan tetapi, ada pendapat lain di kalangan
ulama madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyewakan harta wakaf harta anak
yatim, dan harta baitulmal dalam waktu yang lama tidak boleh, karena hal
tersebut membawa kepada berubahnya fungsi harta wakaf.
Menurut
ulama madzhab Maliki, nâzhir boleh menyewakan harta wakaf dalam jangka
waktu satu sampai dua tahun, apabila harta wakaf itu berbentuk tanah. Tetapi
jika harta wakaf sudah tidak berfungsi, seperti lahan pertanian yang sudah
menjadi hutan dan memerlukan biaya perbaikan, maka dibolehkan disewakan kepada
orang lain selama 40 – 50 tahun. Akan tetapi harga sewa tidak boleh kurang dari
harga yang berlaku umum. Hasil sewaan harta wakaf itu menurut mereka tidak
dibagikan kepada yang berhak menerimanya, kecuali harta yang disewakan itu
telah kembali ke tangan nâzhir. Apabila nâzhir membangun rumah
atau menanam pohon di tanah wakaf, sedangkan ia tidak menjelaskan bahwa itu
miliknya, maka apabila ia wafat, rumah dan tanaman itu termasuk harta wakaf.
Tetapi manakala ada keterangan yang meyakinkan hakim bahwa rumah dan tanaman
itu milik nâzhir, maka rumah dan tanaman itu diberikan kepada ahli waris
nâzhir.
Menurut
ulama madzhab Syafi’i, apabila harta wakaf disewakan dengan harga yang lebih
rendah dari harga sewaan yang berlaku di daerah setempat, maka sewa-menyewa
dianggap tidak sah. Berbeda dengan ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanbali
tetap memandang sah sewa harta wakaf yang lebih rendah dari patokan umum, asal
saja kekurangan sewaan itu menjadi tanggungan nâzhir. Tetapi, apabila nâzhir
merasa ditipu tentang harga sewa, ia berhak menuntut kekurangannya.
X.
PEMBERHENTIAN
NÂZHIR
Nâzhir
dapat diberhentikan atau dibebastugaskan apabila: (1) mengundurkan diri dari nâzhir;
(2) berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf; (3) melakukan hal-hal yang
membuatnya menjadi orang fasik, seperti berjudi dan peminum minuman keras; (4)
kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila; (5) mengelola harta wakaf
itu menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat, dan (6) wâqif atau hakim
mencabut wewenang nâzhir yang bersangkutan.
Jakarta, Juli 2007.
Persoalan
wakaf tanah di Indonesia telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978. Mengenai hukum wakaf tanah dan lain-lain
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam melalu Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991. Dalam Kompilasi Hukum Islam, pesoalan wakaf diatur dalam pasal 215 – 229,
meliputi ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur, dan syarat-syarat wakaf, tatacara
perwakafan, dan pendaftaran benda wakaf, perubahan, penyelesaian, dan
pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup, dan
terakhir kini telah dibuatkan Undang-undang tentang wakaf yang lebih lengkap
lagi mengatur tentang wakaf, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...