RIBA DALAM ISLAM
Pengertian
Riba
Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam
Al Qur’an, menjelaskan definisi riba
sebagai berikut :
والربا في اللغة هوالزيادة والمراد به في الآية كل زيادة لم يقابلها عوض
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud
riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau
penyeimbang yaitu transaksi
bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut Seperti transaksi
jual-beli, atau bagi hasil proyek.
Badruddin Al Ayni pengarang Umdatul Qari, Syarah Shahih Al Bukhari:
الأصل فيه (الربا)
الزيادة – وهو في الشرع الزيادة على أصل مال من غير عقد تبايع
“Prinsip
utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan
atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”
Imam Sarakhsi
dari mazhab Hanafi mendefinisikan riba sebagai berikut:
الربا هو الفضل الخالي عن العوض
المشروط في البيع
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam
transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas
penambahan tersebut.”[1]
[1] Al Mabsut, Vol XII, hal 109
[1] Al Mabsut, Vol XII, hal 109
Sementara itu Qatadah menyatakan :
أن
الربا الجاهلية ان يبيع الرجل البيع الى اجل مسى فإذا حل الأجل ولم يكن عند صاحبه
قضاء زاد واخر عنه
“Riba
jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu
tertentu. Apabila telah telah jatuh tempo dan si pembeli tidak mampu membayar,
maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan
Larangan bunga (riba) merupakan salah
satu pembeda utama antara sistim ekonomi
Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi
Islam telah banyak dibahas para ulama
dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.
Menurut Prof. A. M. Sadeq (1989) dalam
artikelnya "Factor Pricing and Income Distribution from An Islamic
Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal of Islamic Economics,[1]
menyebutkan bahwa pengharamkan riba dalam ekonomi, setidaknya, disebabkan oleh
empat alasan;
Pertama, sistim ekonomi ribawi telah menimbulkan
ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi para pemberi modal (bank) yang
pasti menerima keuntungan tanpa mau tahu apakah para peminjam dana tersebut
memperoleh keuntungan atau tidak. Kalau para peminjam dana mendapatkan untung
dalam bisnisnya, maka persoalan ketidakadilan mungkin tidak akan muncul.
Namun, bila usaha bisnis para peminjam
modal bankrut, para peminjam modal juga harus membayar kembali modal yang
dipinjamkan dari pemodal plus bunga pinjaman. Dalam keadaan ini, para peminjam
modal yang sudah bankrut seperti sudah jatuh di timpa tangga pula, dan bukankah
ini sesuatu yang sangat tidak adil?
Kedua, sistim ekonomi ribawi juga merupakan penyebab
utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan
besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri
raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal mereka plus
bunga pinjaman dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan milyaran
keuntungan yang mereka peroleh.
Padahal para penyimpan uang di bank-bank
adalah umumnya terdiri dari rakyat menengah ke bawah. Ini berarti bahwa keuntungan
besar yang diterima para konglomerat dari hasil uang pinjamannya tidaklah
setimpal dirasakan oleh para pemberi modal (para penyimpan uang di bank) yang
umumnya terdiri dari masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, sistim ekonomi ribawi akan menghambat investasi
karena semakin tingginya tingkat bunga dalam masyarakat, maka semakin kecil
kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung
untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar
diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.
Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya
produksi bagi para businessman yang menggunakan modal pinjaman. Biaya produksi
yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga
yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga, pada gilirannya, akan
mengundang terjadinya inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen. Semua
dampak negatif sistim ekonomi ribawi ini secara gradual, tapi pasti, akan
mengkeroposkan sendi-sendi ekonomi umat. Krisis ekonomi tentunya tidak terlepas
dari pengadopsian sistim ekonomi ribawi seperti disebutkan di atas.
Tak bisa dibantah bahwa sistim ekonomi ribawi akan menggerogoti
sendi-sendi ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dengan jelas pada praktek
perbankan konvensional yang menganut sistim ribawi. Tingkat bunga dijadikan
acuan untuk meraih keuntungan para pemberi modal. Bank tidak mau tahu apakah
para peminjam memperoleh keuntungan atau tidak atas modal pinjamannya, yang
penting para peminjam harus membayar modal pinjamannya plus bunga pinjaman.
Semakin tinggi tingkat bunga dalam sebuah negara, maka semakin tinggi tingkat
keuntungan yang diperoleh para pemberi modal dan semakin merusak sendi-sendi
ekonomi umat akibat dampak negatif sistim ekonomi ribawi dalam masyarakat.
Demikian pula, akibat terlalu tingginya
tingkat bunga yang dibebankan kepada para peminjam, maka semakin sukarnya para
peminjam untuk melunasi bunga pinjamannya. Apalagi dalam sistim ekonomi
konvensional, biasanya pihak bank tidak terlalu selektif dalam meluncurkan
kreditnya kepada masyarakat. Pihak bank tidak mau tahu apakah uang pinjamannya
itu digunakan pada sektor-sektor produktif atau tidak, yang penting bagi mereka
adalah semua dana yang tersedia dapat disalurkan kepada masyarakat. Sikap bank
yang beginilah yang menyebabkan semakin tingginya kredit macet dalam ekonomi
akibat semakin menunggaknya hutang peminjam modal yang tidak sanggup dilunasi
ketika jatuh tempo kepada pihak bank. Akibatnya, bank-bank akan memiliki
defisit dana yang dampaknya sangat mempengaruhi tingkat produksi dalam
masyarakat.
Sistem ekonomi ribawi juga menjadi
penyebab utama tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara.
Karena uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang
rendah ke negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para
spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana
tingkat bunga riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini,
dalam istilah ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel
disini dimaksudkan adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.
Sebagai contoh, bila tingkat bunga di
Indonesia, katakanlah, 12% dengan tingkat inflasi 8 %, maka tingkat bunga riel
adalah 4% (12% - 8%). Ini berarti walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga
sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi di Indonesia, ini tidak secara
otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli Rupiah, karena pada dasarnya
tingkat bunga riel di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat
bunga riel di negara-negara lain.
Inilah penyebab utama semakin menurunnya
nilai (depresiasi) Rupiah akibat rendahnya permintaan akan Rupiah. Tinggi
rendahnya nilai Rupiah sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran
Rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang Rupiah, maka
semakin tinggi nilai mata uang Rupiah, dan sebaliknya. Begitu juga dengan
penawaran, semakin tingginya jumlah Rupiah yang beredar di pasar, sementara
permintaan akan Rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun, dan sebaliknya.
Sebenarnya, inilah yang sedang berlaku di
Indonesia, dimana jangankan businessman asing, para businessman
dalam negeripun lebih cenderung membeli Dolar atau mata uang asing lainnya
dengan menjual Rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin
berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya
dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana
yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah
penurunan nilai mata uang Rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang
tersedia untuk pembangunan ekonomi, yang pada gilirannya, akan menyebabkan
krisis ekonomi terjadi berkepanjangan.
Memang, harus diakui bahwa semakin
rendahnya nilai Rupiah, maka semakin memperkuat daya saing komoditas eksport
Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas
eksport tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing.
Tetapi, penurunan nilai Rupiah ini tidak
akan memberi pengaruh signifikan sebab kebanyakan komposisi bahan mentah
komoditas eksport Indonesia adalah terdiri dari bahan mentah yang diimport dari
negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah akibatnya tingginya
nilai mata uang (appresiasi) asing jelas akan menyebabkan biaya untuk
memproduksikan komoditas eksport tersebut akan bertambah mahal sehingga produk
akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan
bahwa penurunan nilai Rupiah tidak akan memberi kelebihan daya saing eksport
Indonesia di pasar internasional.
Permasalahan di atas, sebenarnya, tidak
pernah terjadi kalau sistim ekonomi Islam diadopsi dalam sistim ekonomi negara.
Kenapa tidak? Karena nilai uang tidak akan dipengaruhi oleh perbedaan tingkat
bunga riel sebab ekonomi Islam tidak mengenal sistim bunga (riba). Inilah yang
menyebabkan nilai uang dalam ekonomi tanpa bunga tidak mengalami volatilitas
yang membahayakan.
Bahaya Riba bagi
Perekonomian
Para ekonom modern dewasa ini, telah
menyadari secara empiris, bahwa bunga mengandung mudharat, karena mengambil
keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam
adalah sebuah ketidakadilan dan ini dapat menimbulkan berbagai krisis, karena
itu, tidak mengherankan jika banyak pakar ekonomi yang berkeyakinan bahwa
krisis ekonomi ini disebabkan oleh sistem ribawi. Fakta, kini telah membuktikan
bahwa sistem riba banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan berbangsa. Negara-negara penghutang dijerat hutang
yang besar 30 % di antaranya adalah hutang bunga. Itu bukan saja atas modal
yang dipinjam, tetapi juga bungan atas bunga. Inilah yang disebut dengan bunga
yang berlipat ganda.
Ekonom ternama, Lord Keyness, menyimpulkan
bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya
kegiatan industri dan kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan yang
merupakan sumber produksi. Penyimpangan nasabah di bank akan berjalan terus
menerus, meski suku bunga turun sampai titik nol.
Dalam memberikan tanggapan terhadap dampak
bunga, ekonom kenamaan W.C. Mitchel dengan tepat sekali menuturkan bahwa bunga
memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis. Pendapat senada
di ungkapkan oleh Nurcholish Madjid, yang menyatakan bahwa sistem ekonomi yang
melanda Indonesia saat ini, katanya, merupakan pengaruh global, kerena dunia
dikuassi oleh sistem ekonomi ribawi, ciptaan kapitalis. Di mana negara kaya
menghisap darah negara-negara miskin dengan pinjaman bunga.
Ekonomi global akan mempengaruhi setiap
negara, sehingga krisis yang dihadapi bangsa Indonesia tidak akan pernah
selesai bila diatasi sendiri. Sistem ekonomi riba menurutnya faktor utama
ketimpangan ekonomi antara Barat dan negara-negara berkembang. Antara
orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Sistem iu memungkinkan terjadinya
pemondahan kekayaan dalam sekejap dari negara-negara berkembang kepada
negara-negara kapitalis.
Akibat sampingan yang amat terasa adalah
terjadinya penumpukan asset dalam jumlah besar dan dikuasai segelintir
masyarakat. Sedangkan mayoritas rakyat tidak mendapat sumber kehidupan. Dalam
sistem ekonomi riba, terjadi pengalihan kekayaan secara mudah. Akibatnya orang
menjadi materialis secara rakus dan serakah.
Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak
sehat, karena keuntungan yang diperoleh si pemilik modal bukan merupakan hasil
pekerjaan atau jerih payahnya. Adalah tidak adil, bila seorang kapitalis
(pemilik modal), meraup bunga dari modalnya, tanpa menanggung resiko sedikitpun
dalam sebuah usaha.
Dalam kenyataannya, pemilik uang tak
peduli apakah sipeminjam atau pengolah modal, untung atau rugi, yang penting
baginya adalah bunga sekian persen harus diterimanya.
Pada pinjaman sistem bunga, tak terdapat
kebersamaan dan kemitraan sebagaimana dlam sistem mudharabah. Pada sistem
bunga, keuntungan yang didapat dengan mengeksploitir orang lain yang pada
dasarnya lebih lemah daripadanya. Praktek semacam ini merugikan pengusaha kecil
sebaliknya menambah kekayaan bagi orang-orang kuat tanpa menanggung resiko
apapun. Akhirnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Dalam
perekonomian bebas bunga, pemecahan dan pengurangan penderitaan orang banyak
dapat direalisir secara adil.
Kerangka pemikiran tersebut sejalan dengan
pandangan para filosuf yang menyatakan bahwa harta tidak melahirkan harta, uang
tidak menelorkan uang. Harta baru dapat berkembang dengan cara bekerja dan
usaha jerih payah untuk kedua belah pihak dan kemaslahatan masyarakat, sehingga terealisir kehidupan
bersama yang adil antara harta dan kerja.
Pada dasarnya, keperluan akan pinjaman,
timbul karena kebutuhan ekonomi, utamanya kaum miskin. Hanya suatu masyarakat
kaya yang bisa memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin. Karena itu,
dikenakannya bunga dalam bentuk apa saja pada pinjaman, adalah suatu
pengingkaran terhadap prinsip universal persaudaraan manusia yang harus saling
menolong. Jadi, riba merupakan penghisapan dari kebutuhan sesama saudara. Bunga
telah merontokkan fitrah dasar manusia untuk saling bantu dan mengasihi.
Dengan demikian, bunga menghancurkan
dasar-dasar kehidupan manusia yang fundamental, yaitu saling membantu dan
menolong. Bunga juga menjadikan manusia hanya mementingkan diri sendiri. Semua
orang dalam masyarakat seperti itu, mempunyai kecenderungan untuk bergumul
dalam segala sesuatu yang semata-mata didasarkan oleh materi/uang.
Selanjutnya, bunga secara signifikan
memicu inflasi. Untuk membayar utang,
peminjam harus menaikkan harga bunga yang harus dibayarkan. Dan untuk membayar
utang tersebut sering terjadi pemangkasan upah buruh.
Kemudian, harus diketahui bahwa dalam
ekonomi Islam, perdagangan menjadi salah satu faktor utama dalam proses
pembangunan. Dinamikanya dapat melalui kerjasama dan partisipasi. Sedangkan
konsep bunga adalah konsep yang menguntungkan satu pihak dan pemilik modal
cenderung mementingkan diri sendiri. Maka dari sudut pandang ekonomi dan etika,
bunga sesungguhnya meruntuhkan sendi-sendi kemanusiaan, tidak saling membantu,
egois dan individualistis yang pada akhirnya mencegah peningkatan sumberdaya
ekonomi.
Dengan demikian, suku bunga pinjaman dapat
menghalangi terciptanya tata perekonomia dunia yang baik dan adil. Dalam
ekonomi riba, tidak terwujud rasa kebersamaan, karena pemilik modal dalam
sistem bunga hanya mementingkan diri sendiri, tidak perduli pada resiko yang
dialami peminjam, apakah untung atau rugi. Yang penting bunga harus diserahkan
dalam jumlah tertentu.
Riba juga dapat menyebabkan kehancuran dan
kepapaan. Banyak orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir
miskin. Sebaliknya, pihak yang mempunyai modal, bisa memiliki harta orang lain
dengan cara mudah, tapi batil.
Uang Bukan Sebagai Komoditas
Selanjutanya, bunga mutlak menjadikan uang
sebagai komoditas. Sedangkan Islam menegaskan fungsi uang adalah sebagai alat
tukar (medium of change). Ekonomi kapitalisme adalah sebuah sistem yang
menjadikan uang sebagai komoditas, dimana uang diperjualbelikan dan menjadi
alat spekulasi. Hal ini sangat rawan terhadap peningkatan nilai mata uang
dollar yang pada gilirannya menimbulkan bencana di banyak negara. Proses penurunan
nilai mata uang lokal (seperti rupiah) terjadi sangat singkat yang selanjutnya
menghancurkan ekonomi suatu negara dan tentunya memiskinkan rakyat banyak. Jadi
kesimpulannya, bunga terbukti membuat krisis dan memiskinkan.
Dari uraian diatas jelas bahwa bunga telah
menghalangi dimanfaatkannya uang secara maksimal dan proporsional. Tanpa aktif berinvestasi dalam produksi
dan perdagangan, para pemilik uang yang meminjamkan uang, telah tumbuh menjadi
golongan kapitalis. Bahkan dengan kekuatan bunga mereka menyita atau membangun
sarana-sarana produksi seluas-luasnya. Bunga memang menjadi kata kunci
pertumbuhan dan penguatan golongan kapitalis. Bangkitnya kapitalis memang
merupakan akses utama sistem bunga, maka masyarakat biasa dan terlebih yang
miskin, harus tergantung hidupnya di bawah belas kasihan kaum kapitalis. Karena
itu, tidak ada kata yang bisa menjadi kesimpulan, kecuali ”Bunga mutlak
harus kita tinggalkan. Hijrah ke sistem syari’ah mutlak kita
lakukan
Dampak Bunga terhadap Ekonomi Indonesia
Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke
Malaysia, Philipine, Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank
sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi
forward dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai yang kuat menuju kehancuran
dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang rapuh. Padahal lembaga
perbankan merupakan tulang punggung perusahaan manufacturing yang selama
ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama krisis kurs
mata uang di lima negara terdepresiasi
35 – 80 %, bahkan Indonesia, mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan
menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp
2.445, meningkat secara tajam menjadi Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang,
nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp 10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga
perbankan terpaksa menaikkan suku bunga secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %.
Akibatnya lembaga perbankan konvensional kesulitan mengembalikan bunga
tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya lebih kecil dari
kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat krisis
moneter. Inilah yang disebut dengan negative
spread yang berarti lembaga perbankan terus-menerus merugi dan modalnya
semakin terkuras yang pada gilirannya
berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah
jutaan orang, yang kekurangan modal,
terpaksa direkap (disuntik modal) oleh
pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.
Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu
mati/tutup karena CARnya di bawah standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
Karena
pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal
bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah
memiliki bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak
lain adalah dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia,
bukan milik para konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu,
berarti membantu para kapitalis (pemilik dana).
Data-data di bawah ini menginformasikan jumlah
BLBI yang diberikan pemerintah kepada bank-bank konvensional dan besar bunga
yang mereka terima dari negara pada September 2002.(Hilmi, SE, Mei 2002)
BANK PENANGGUK REKAP DARI UANG
RAKYAT/APBN (September 2002) – dlm
Trilyun Rp
Kondisi
Sesungguhnya
|
Sumbangan
bunga obligasi APBN : 10 %
|
Laba/Rugi
di Neraca
|
Jumlah
Obligasi
|
Nama Bank
|
No.
|
RUGI
|
15,55
|
2,
|
155,5
|
Mandiri
|
1
|
RUGI
|
5,47
|
2,1
|
54,7
|
BNI
|
2
|
RUGI
|
5,36
|
2,192
|
53,6
|
BCA
|
3
|
RUGI
|
2,84
|
1,5
|
28,4
|
BRI
|
4
|
RUGI
|
2,33
|
0,030
|
23,3
|
BII
|
5
|
RUGI
|
2,00
|
0,725
|
20,0
|
DANAMON
|
6
|
RUGI
|
1,24
|
0,25
|
14,2
|
BTN
|
7
|
RUGI
|
1,16
|
---
|
11,6
|
Permata
|
8
|
RUGI
|
0,67
|
0,099
|
6,7
|
Niaga
|
9
|
RUGI
|
0,57
|
0,141
|
5,7
|
Lippo
|
10
|
37,375
|
9,857
|
373,7
|
Bunga obligasi yang diberikan kepada
bank-bank konvensional tersebut sebesar 10 % pada September 2002. Jika jumlah
obligasi mencapai Rp 400 Triliun, maka kewajiban pemerintah membayar bunga
obligasi sebesar Rp 40 triliun dalam setahun. Pada masa-masa sebelumnya, yakni
pasca krisis 1998, bunga obligasi ini sebesar 17 %. Semakin suku bunga, maka
semakin besar beban negara membayar bunganya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila sumbangan bunga obligasi yang diberikan pemerintah pada
tahun 2001 sebesar Rp 61,2 Triliyun. Dana yang sangat besar ini menjadi beban
APBN. Padahal dana APBN tersebut seharusnya diutamakan untuk kesejehteraan
ekayat yang masih masih dilanda kemsikinan dan kebodohan, tetapi karena ini
meneraplkanm sistemn ekoomi ribawi (kapitalisme),maka terpelsa keprtingan
rakayat dikorbankan demi membantu bank-bank raksasa. Inilah ironi dan keanehan
atau ketidakwarasan sistem ekonomi ribawi.,
Kondisi dana APBN yang dikuras riba
berlanjut terus setiap tahun sampai
sekarang, walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban
membayar bunga itu, tidak mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus.
Pada tahun 2002 APBN defisit Rp 54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45
triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun. Masih defisitnya APBN tahun
2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga bank sebesar Rp 68
Trilyun.
Membayar Bunga SBI
Selain kewajiban
membayar bunga obligasi,
pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank
Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di
Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut
dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat
yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank
Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR
lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001-2003,
LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya
30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel
mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba
yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.[2]
Lembaga
perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga
SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 %[3].
Bayangkan, pada saat itu dana bank
konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian,
pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI
sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun.
Uang sebesar ini jelas menjadi beban
APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus
mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah
sejak tahun 2003 bunga SBI mengalami
penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %.
Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara dalam jumlah
yang besar.
Beban APBN
Yang perlu dicatat dan menjadi
keprihatinan besar di sini adalah, bahwa
pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana
APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan
untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih
dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN
defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke
lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai
titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada
tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp
742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar
Rp 659 Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000
Trilyun. Jika kita hanya mampu
membayar hutang tersebut
Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih
dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru. Hutang ini, jelas
menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20 turunan
generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini
Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar
dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi
defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia
mendatang.
Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi
generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga
BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005
ini. Hal ini dimaksudkan untuk menambah in come negara dalam rangka
memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu
terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah
akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi
banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi
hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa,
bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari
pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami
penurunan sampai tahun 2003.
Dari data dan fakta tersebut, maka tak
seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank memainkan peran penting dalam
merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah semakin memerosokkan Indonesia
ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga juga telah membuat harga BBM,
TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia terpaksa menjual
beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan demi untuk
menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk
pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam bentuk bunga
obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa yang
dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank rekap
tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering
diungkapkan oleh pakar-pakar dan
praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat Wibowo, direktur INDEF,
Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta di atas jelaslah
bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas 25 Februari
2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan
fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba sebagaimana yang disebutkan Al-Quran
(2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah bank swasta raksasa, sebut
saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun. Namun anehnya,
pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9 Trilyun tahun
2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank Indonesia,
menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si
penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian
adanya, “Si penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah
besar dan selanjutnya menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu
pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan penjualan
saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak sesuai
logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF,
menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
“Kalau
transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika
(abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark
kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank
Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi
proses privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan
mudah”.
Dikatakannya
demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak logis.
Adalah logis kalau dalam setiap
penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi dalam penjualan BCA tidak
demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima uang, malah
mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Gambarannya
perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang hasil
penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan
uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp
9,1 Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya
31-12-2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA
terlihat hebat. Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga
riba dari pemerintah sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena
pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE,
biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik,
maka karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila).
Mereka terpaksa memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba
susah, itulah suatu dilema yang kita hadapi, karena sistem riba.
Melihat realitas di atas, sistem moneter yang menggunakan
instrumen bunga adalah sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih
menggunakannnya berarti ia termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan
Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah 275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan)
riba, tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka itu mengatakan bahwa riba dan
jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank syariah sama saja).
Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa yang telah
sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari mempraktekkan
riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan Allah.
Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia
tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian
besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan,
maka bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga
yang sudah jelas-jelas membawa petaka,
masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban ummat untuk kembali
ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan manusia, juga menciptakan
sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu teraktualisasi dalam
bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.
Ijma’ Ulama tentang Keharaman Bunga Bank
Adalah keliru besar, jika ada orang yang
mengatakan bahwa ulama saat ini berbeda pendapat tentang hukum bunga bank.
Telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan para ahli ekonomi Islam dan ulama
berkaliber dunia tentang ijma’nya para ulama tentang keharaman bunga bank, di antaranya oleh Prof.
Dr.M.Umer Chapra, Prof. M.Akram Khan, Prof.Dr.Yusuf Qardhawi, Prof.Dr,Ali
Ash-Shobuni. dll. Tulisan ini ingin
mengetengahkan pembahasan tentang telah terjadinya ijma’ seluruh ulama se-dunia
mengenai keharaman bunga (interest), baik bunga bank, asuransi, pegadaian,
koperasi, obligasi dan seluruh institusi yang menerapkan sistem bunga.
Pengertian Ijma’
Para ulama ushul fiqh
mendefinisikan ijma’ yaitu, kesepakatan semua ulama mujtahid dari ummat Islam pada suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah
terhadap suatu hukum syara’. Demikian Rumusan Abdul Wahhab Khallaf dalam kitab Ilmu
Ushul Fiqh Defenisi dari berbagai literatur yang lain juga memberikan
pengertian yang sama dengan Abdul Wahhab Khallaf..
Para ulama menetapkan bahwa ulama yang
melakukan ijma’ adalah orang yang memenuhi syarat. Salah satu syaratnya adalah
ulama tersebut memahami persoalan (masalah) yang diijtihadi. Syarat ini sangat
masuk akal, sebab, bagaimana mungkin seorang ulama berijtihad tentang suatu
masalah, sementara ia tidak mengetahui masalah yang diijthadi. Seorang ulama
yang berijtihad tentang bunga bank, haruslah mengerti ilmu ekonomi makro,
misalnya kaitan (dampak ) bunga terhadap investasi, produksi, unemployment,
inflasi, kaitan bunga dengan spekulasi dan volatilitas mata uang di suatu negara, dsb. Dia juga
harus mengerti teori-teori tentang bunga dan tentunya mengerti konsep okonomi
Islam tentang fungsi uang. Pendeknya ia
faham tentang ilmu moneter bahkan semakin baik jika ia mengetahui
sejarah krisis moneter dan perbankan di berbagai belahan dunia sepanjang
sejarah khususnya 150-200 tahun
terakhir. Ulama yang mau berijtihad dalam ekonomi tidak cukup hanya tahu dan
hafal Al-quran dan hadits, tanpa mengetahui ilmu-ilmu ilmiah tentang ekonomi
dan praktik empiris di lapangan.
Ijma’ dan Istiqra
Penetapan telah terjadinya ijma’ ulama
tentang keharaman bunga bank bukan kesimpulan yang bersifat gampangan, tetapi
setelah melakukan istiqra (penelitian) yang mendalam dan panjang
terhadap pendapat semua pakar ekonomi Islam sejak tahun 1970-an hingga saat
ini.
Ulama (pakar) yang
mengatakan ijma’nya ulama tentang keharaman bunga bank bukan sembarang ulama
dan bukan satu dua orang. Mereka adalah para ulama yang ahli ilmu ekonomi dan
syariah. Ulama yang telah sepakat (ijma’) tentang keharamn bunga bank adalah
para ulama yang pakar ilmu ekonomi Islam. dan yang umumnya mereka sarjana ekonomi Barat.
Kapasitas mereka sebagai ilmuwan ekonomi Islam tidak diragukan sedikitpun,
karena latar belakang keilmuwan mereka sejak awal adalah ilmu ekonomi
konvensional, tetapi mereka memahami syari’ah dan ekonomi Islam secara mendalam.
Jumlah mereka sangat banyak. Menurut Yusuf Qardhawi mencapai 300 orang. Hasil
karya intelektual mereka tentang ekonomi
Islam yang telah dipublikasikan, sejak
tahun 1960-an sampai sekarang, lebih
dari 2000-an buah dalam bentuk buku dan
tulisan di juornal-juornal ilmiah. Sekedar menyebut sebagian nama-nama mereka
antara lain, 1. Prof.Dr.Muhammad
Nejatullah Ash-Shiddiqy,2.
Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan,MA, 3.Prof.Dr.M.Umer Chapra, 4.
Prof.Dr.Masudul Alam Khudary, 5. Prof.Dr. Monzer Kahf, 6. Prof.Dr. M.Akram
Khan, 7. Prof.Dr.Kursyid Ahmad, 8.Prof.Dr.Dhiauddin Ahmad, 9. Prof.Dr. Muhammad
Muslehuddin, 10.Prof.Dr. Afzalur Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar Iqbal Quraisy, 12. Prof.Dr.Hasanuz Zaman, 13.
Prof. Dr.M.Sudin Haroen, 14. M.Fahim Khan,.15. Prof.Dr.Volker Ninhaus, 16.
Dr.Mustaq Ahmad. 17. Dr.Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar,
20. Syed Nawab haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad
Shalah Janjum (Pakistan), 24. Muhammad Ahmad Sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26. Abdul
Hadi Ghanameh, 27. Manzoor Ali, 28. Dr.Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.Muhammad Ariff,
30. Dr. Zubeir Hasan, 31.Prof.Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof.Dr.Mazhar
Islam, 33. Dr. Fariruddin Ahmad, 34. Dr.Syahadat Husein 35.Dr.Badruddin
(Oman) 36. Dr.Mabid Ali Al-Jarhi, 37.
Prof.Dr.Anas Zarqa, 38. Dr.Muhammad Uzei, 40. Dr.F.R Faridi, 41. Dr.Mahmud Abu
Su’ud. 42. Dr.Ijaz Shafi Ghilani, 43.
Dr.Sahabuddin Zain, 44. Mukhtar M.Metwally, 45. Dr.Hasan Abu Rukba, 46.
Muhammad Hameedullah, 47. B.S Sharraf 48. Dr. Zubair Hasan, 49. Skharur Rafi Khan,
50. Prof. Dr. Mahmud Ahmad.
Masih
banyak lagi pakar ekonomi Islam lainnya.-.yang tidak dipaparkan di sini. Semua mereka mengecam dan
mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena
bunga telah menimbulkan dampak sangat
buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara. Krisis ekonomi dunia yang
menyengsarakan banyak negara yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah
bukti paling nyata dari dampak sistem bunga.
Karena kesepakatan para
pakar ekonomi Islam itulah, maka Prof.Dr.M.Umer Chapra mengatakan bahwa mereka
ijma’ tentang keharaman bunga bank. Chapra
adalah ahli ekonomi Islam paling terkemuka saat ini dan sangat produktif
menulis tema-tema ekonomi Islam. Karena itu ia mendapat Award Faisal dari
kerajaan Saudi Arabia, lantaran karya-karyanya yang spektakuler di bidang
ekonomi Islam.
Menurut M.Umer
Chapra, ulama saat ini sesungguhnya
telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan
seminar, para ahli ekonomi Islam dunia,
Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya
tak satupun para pakar yang ahli ekonomi itu yang mengatakan bunga syubhat atau
boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam
buku The Future of Islamic Econmic,( 2000).
Jadi, dalam penelitian
Umer Chapra, tak sartu pun ulama yang ditemuinya membolehkan bunga bank. Dalam
merespon pernyataan Umer Chapra tersebut,
kita tentu bertanya. Bukankah ada ulama yang membolehkan bunga.? Nah,
dalam pandangan Umer Chapra, kalaupun
ada tokoh yang membolehkan bunga, misalnya Ahmad Khan (India) pada abad 19. Tokoh
itu dinilainya tidak berkapasitas sebagai ahli ekonomi. Dan tak memiliki keilmuan
yang memadai tentang ilmu ekonomi, khususnya ilmu moneter. Sedangkan untuk
memustuskan suatu hukum, haruslah orang itu ahli di bidang hukum yang
diputuskannya itu. Demikian pula misalnya Ahmad Hasan dari Indonesia, dia
bukanlah seorang ekonom yang faham tentang ilmu moneter dan ekonomi makro atau
ekonomi pembangunan. Jadi dalam kerangka pemikiran Umer Chapra, segelintir
tokoh-tokoh itu, sama sekali tak memiliki keilmuan yang memadai tentang ilmu
moneter dan oleh karena itu pendapat mereka tidak mu’tabar (diakui).
Selain Prof.Dr M.Umer
Chapra, ahli ekonomi Islam yang mengatakan ijma’nya ulama tentang
keharaman bunga bank adalah Prof.Dr.M.Akram Khan, seorang pakar ekonomi terkemuka
dari Pakistan. Sebagai seorang ekonom muslim, beliau melakukan penelitian
terhadap pendapat para ahli ekonomi Islam di seluruh dunia. Dalam penelitiannya
beliau tidak menemukan ada pakar (ilmuwan) ekonomi Islam yang membolehkan bunga
bank.
Sebagaimana Umer Chapra,
Prof.Dr..M. Akram juga mengatakan ijma’nya ulama tentang bunga bank. Dia mempejalari pendapat-pendapat para ahli yang
diakuinya sebagai ulama kridible dalam bidang ekonomi. Beliau tentu telah
membaca ribuan buku tentang ekonomi Islam yang menjadi bidang keahliannya.
Selain pernyataan ahli
ekonomi, tokoh ulama yang banyak menekuni ekonomi Islam, yakni Yusuf Qardhawi, juga tak menemukan ada ahli ekonomi Islam
yang menghalalkan bunga bank. Meskipun latar belakang keilmuannya bukan sarjana
ekonomi seperti tokoh di atas, tetapi Yusuf Qardhawi adalah ulama yang banyak
menggeluti dan menulis masalah ekonomi. Kapasitas keilmuamnya tidak diragukan.
Beliau juga mengatakan bahwa ulama telah ijma’
tentang keharaman bunga bank dalam bukunya Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba Haram (Bunga Bank adalah
Haram). Menurut Prof.Dr.Dr.Yusuf
Qardhawi, sebanyak 300 ulama dan pakar ekonomi dunia telah ijma’ tentang
keharaman bunga bank (Mereka terdiri
dari ahli fikih ahli ekonomi dan keuangan dunia). Tak seorang pun yang
membantahnya. Kata Yuduf Qardhawi, ”Saya benar-benar menyaksikan, bahwa para
ahli ekonomi Islam, Justru lebih bersemangat dari ahli fikih sendiri” (2000,
hlm.83)
Selain itu kata Yusuf
Qardhawi, ”Telah lahir ijma’ ulama dari berbagai lembaga, pusat penelitian,
muktamar, seminar-seminar ahli fikih dan ahli ekonomi Islam yang mengharamkan
bunga bank dalam segala bentuknya dan bunga bank itu adalah riba tanpa
diragukan sedikitpun. Sedangkan riba adalah haram”.(hlm. 83).
Selanjutnya Qardhawi
menuturkan, barangkali keputusan yang dikeluarkan tiga lembaga ilmiah
internasional yang sangat kondang dan kredible, telah cukup dijadikan stardart.
- Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam
(OKI)
- Lembaga Fikih (Majma’ Al-fiqihi) Rabithah Alam
Islami,
- Pusat
Riset Islam (Insitutue of Islamic Research )Al-Azhar Mesir
Selain itu perlu ditambahkan juga bahwa seluruh pusat Riset Ekonomi Islam
di dunia yang tersebar di berbagai negara juga sepakat tentang keharaman bunga
bank.
Pernyataan mereka bahwa ulama ijma’
tentang keharaman bunga bank, setelah mereka melakukan penelitian yang mendalam
tentang pendapat ratusan ahli (pemikir) dan setelah meneliti ribuan buku-buku
tentang ekonomi Islam. Ulama sekaliber Yusuf Qardhawi tentu tidak mudah
mengatakan suatu masalah telah ijma, kecuali setelah melakukan menelahan yang
dalam tentang itu. Demikian pula Umar Chapra dan M.Akram Khan.
Pernyataan Yusuf Qardhawi yang
mengatakan ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank dikutip dan dikuatkan lagi
oleh Prof. Dr Ali Ash-Shobuni (ulama
terkemuka dari Mesir) dalam buku Jarimah
ar-Riba, Ali Ash-shobuni adalah ahli hukum syari’ah dan Tafsir Ahkam. Ia
mengatakan bahwa para ahli ekonomi Islam
telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu terjadi berkali-kali di forum ulama
Internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini. Menurutnya, tahun 1976 telah
dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam se-dunia di Mekkah yang dihadiri 300
ulama dan pakar keuangan Islam. Tak seorang pun di antara pakar
ekonomi Islam itu menolak kaharaman bunga bank. Bahkan sebelum tahun 1976,
yakni tahun 1973, seluruh ulama OKI yang berasal dari 44 negara sepakat tentang
keharaman bunga bank tersebut.
Harus diakui, adanya segelintir kecil ”ulama”
fikih yang meragukan keharaman bunga bank, tidak bisa menggugurkann ijma’
ulama, kata Yusuf Qardhawi.(hlm.84-85) Segelintir ulama fikih itu (intelektual muslim) tak faham tentang ilmu moneter dan teori
teori ekonomi modern, khususnya ekonomi makro. Kapasitas keilmuan mereka
tentang moneter dan interest tidak memadai. Mereka malah ada yang tidak
mengerti kalau masalah riba termasuk ekonomi makro, apalagi effect riba
terhadap inflasi, terhadap investasi, produksi dan tenaga kerja/employment.
Demikian pula segelintir ahli fikih tak
memahami bagimana dampak riba terhadap spekuluasi dan volatilitas keuangan
suatu negara yang mengakibatkan instabilitas ekonomi dan krisis ekonomi yang
dahsyat. Mereka juga belum bisa merumuskan konsep profit and loss sharing secara
aplikatif di lembaga keuangan, lengkap dengan ilmu akuntansi dan manajemen
keuangannya. Kedangkalan ilmu mereka
tentang moneter, ekonomi makro, dll, disebabkan karena mereka bukan berasal dari disiplin ilmu
ekonomi dan tak menekuni kajian ekonomi Islam. Maka wajar jika pengetahuan
mereka tentang ekonomi moneter sangat terbatas. Kalau tidak ingin mengatakan
tidak ada sama sekali. Adanya segelintir ustaz
yang membolehkan bunga bank karena kedangkalan ilmunya tentang ekonomi
moneter. Mereka ini tidak dipandang oleh Prof.Dr. M.Akram dan Umer Chapra
sebagai ahli ekonomi, sebab disiplin keilmuan mereka dan kapasitas keilmuan
mereka jauh dari ahli ekonomi Islam yang sesungguhnya.
Dengan
demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank telah selesai sekitar 30 tahun yang lalu. Kalau ada ummat
Islam masih mempersoalkan hukum bunga bank, berarti ia terlambat 30 tahun dan
tidak mengerti
Kalau
pun ada tokoh yang berkomentar tentang kebolehan bunga bank, pastilah mereka tak
faham ilmu ekonomi moneter dan mereka bukan ahli dalam ekonomi/moneter Islam, seperti, Gusdur, Syafii Maarif atau Sri Mulyani.
Gusdur dan Syafi’i Maarif pakar di bidang Islam tetapi tidak di bidang ekonomi.
Sri Mulyani pakar di bidang ekonomi tapi tidak pakar di bidang syariah. Pendapat mereka tidak representatif dijadikan
rujukan dalam bidang ekonomi, karena mereka bukan ilmuwan bidang ekonomi Islam,
sehingga wajar jika pendapat mereka tertolak dan tidak bisa menggugurkan ijma’
ulama yang ahli di bidangnya.
Ahli
ekonomi Islam sekaliber Prof. Dr Umer Chapra dan Prof Dr.M. Akram yang
mengatakan ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank secara otomatis tidak
memandang pendapat para tokoh-tokoh Indonesia itu sebagai pendapat yang
muktabar (diakui). Ulama besar sekaliber Thantawi dari Mesir, tidak
berkapasitas dalam ilmu ekonomi moneter, karena (maaf), karena latar belakang
keilmuannya bukan ilmu ekonomi dan ia sendiri tidak mendalami ilmu ekonomi
Islam. Maka jika para ahli ekonomi Islam membaca tulisan Thantawi, pasti mereka
geli dan tertawa menelaahnya, karena kajiannya sangat dangkal dan jauh sekali
dari teori ilmu ekonomi moneter. Di situ belum ada kajian dari perspektif
ekonomi makro, seperti dampak bunga terhadap inflasi, terhadap investasi,
dampak bunga produksi, unemployment, apalagi terhadap volatilitas financial di
berbagai negara, peluang spekulasi yang merusak ekonomi dunia dan negara-negara
bangsa, Juga belum ada kajian ilmiah dampak bunga terhadap ekspor. Dampak bunga
terhadap kesenjangan pendapatan secara global, dampak bunga terhadap kemiskinan
dan penderitaan rakyat, terhadap krisis yang melanda banyak negara yang telah
meluluhlantakkan ekonomi banyak negara. Ratusan juta bahkan milyaran umat
manusia menjadi korban yang mengerikan akibat dari bunga.
Ilmu ekonomi moneter, atau ilmu ekonomi
makro dan juga ilmu perbankan belum didalami oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia,
seperti Masdar F.Mas’udi, Quraisya Syihab, Azyumazdi Azra, karena mereka bukan
sarjana ekonomi Islam dan bidang keilmuannya bukan islamic economics. Karena itu mereka tidak tepat jika berfatwa
tentang bunga bank.
Kalau kita mau berpikir logis dan
ilmiah, kita harus menyerahkan persoalan hukum moneter kepada ahlinya. Analoginya,
jika seluruh dokter spesialis kulit telah sepakat tentang jenis penyakit kulit
seseorang, lalu ada segelintir dokter gigi membantahnya, maka sangat aneh bila
orang mengikut pendapat dokter gigi yang tak ahli di bidang kulit. Pendapat
dokter gigi itu tertolak, teorinya salah, sangat aneh dan amat menyesatkan.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah
informasi dan keyakinan yang kuat kepada pembaca bahwa tidak ada perbedaan
pendapat tentang keharaman bunga bank, karena ternyata seluruh ulama dunia
telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Terakhir perlu ditegaskan bahwa
pernyataan telah terciptanya ijma’ ini adalah pendapat para peneliti, ulama dan
pakar ekonomi Islam internasional. Mereka adalah para ahli ekonomi Islam yang
tak diragukan lagi validitas risetnya dalam bidang ini. Uraian dan
argumentasi detail yang ilmiah (melalui
pendekatan ilmu ekonomi) tentang keharaman bunga bank tidak dijelaskan di
artikel ringkas ini, karena membutuhkan kajian yang panjang dan lembaran yang
banyak.
Dosa Riba Menurut
Al-Quran dan Sunnah
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa seluruh ahli
ekonomi Islam dunia, sejak tahun 1973 sampai sekarang telah sepakat bahwa bunga
bank tidak sesuai dengan syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram.
Menurut penelitian Prof.Dr.M.Akram Khan, Prof, Dr. M.Umer Chapra, Prof.Dr.Yusuf
Qardhawi, Prof. Muhammad Ali
Ash-Shobuni, dan sejumlah ulama lainnya, kesepakatan itu telah menjadi ijma’
ulama dunia. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat
tentang keharaman bunga bank.
Pada tahun 1976, sejumlah 300 pakar ekonomi dan ulama
dunia sepakat tentang keharaman bunga bank yang mereka putuskan pada Konferensi
I Ekonomi Islam Internasional di Jeddah. Bahkan sebelumnya, yakni tahun 1973,
seluruh ulama OKI sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut. Konferensi
internasional yang dihadiri ratusan pakar ekonomi Islam dunia itu telah
berulang kali digelar di berbagai negara. Puluhan konferensi, seminar dan
simposium internasional itu menyepakati secara bulat tentang keharaman bunga
bank.
Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam se-dunia sepakat
tentang keharaman bunga bank, dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam
Al-islami serta Majma’ Buhuts (lembaga fatwa) di seluruh dunia, tetapi
anehnya, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang ekonomi Islam
berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah keanehan dan
secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil sindiran
Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah, “Kemudian
kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu,
jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Menurut ayat
ini, orang yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah
karena dua alasan. Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu
kepentinga dunianya, 2. Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam
hal ini ekonomi dan ilmu moneter
syari’ah).
Seorang Professor muslim
sekalipun, tapi tidak mendalami ilmu
moneter, mereka seringkali tidak tahu tentang praktek moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau
mereka telah mendalami itu, bisa dipastikan mereka akan mengharamkan bunga,
sebagaimana ratusan pakar ekonomi Islam lainnya.
Dosa Riba.
Dalam Islam, riba termasuk dosa besar
yang harus dijauhi. Sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa
Nabi SAW bersabda,
اجتنبوا السبع الموبقات : قالوا يا رسول الله وما هن
؟ قال : الشرك بالله والسحر و قتل النفس التى حرم الله الا بالحق و
أكل الربا وأكل مال اليتيم والتولى يوم الزحف و قذف المحصنات المؤمنات الغافلات (متفق عليه)
“Tinggalkanlah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat
bertanya, “Apakah itu ya Rasul?. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri ketika peperangan berkecamuk, menuduh
wanita suci berzina”. (HR..dari Abu Hurairah).
Dalam hadits riwayat muslim bahwa Jabir berkata,
لعن رسول الله صلعم
أكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهديه و
قال : سواء(رواه مسلم)
“Rasulullah melaknat dan
mengutuk orang memakan riba (kreditur) dan orang yang memberi makan orang lain
dengan riba (debitur). Rasul juga mengutuk pegawai yang mencatat transaksi riba
dan saksi-saksinya. Nabi SAW bersabda, “Mereka semuanya
sama”.(H.R.Muslim)
Selanjutnya, Abbdullah
bin Mas’ud memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,
عن ابن مسعود ان النبي صلعم قال : الربا ثلاثة وسبعون بابا
ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه (رواه
الحاكم)
“Riba itu mempunyai tujuh
puluh tiga pintu, sedang yang paling ringan ialah seorang yang menzinai ibunya
sendiri”. (HR.Ibnu Majah dan Hakim).
اربع حق على الله أن لا يدخلهم الجنة ولا يذيقهم نعيمها : مدهن الخمر و أكل الربا
وأكل مال اليتيم بغير حق و العاق لوالديه (رواه الحاكم)
Dalam hadits lain Nabi
barsabda, “Empat golongan yang tidak dimasukkan ke dalam syorga dan tidak
merasakan nikmatnya, yang menjadi hak prerogatif Allah, Pertama, peminum
kahamar,Kedua pemakan riba, Ketiga, pemakan harta anak yatim dan keempat, durhaka kepada orang
tuanya”.(H.R. Hakim).
Abdullah bin Hanzalah, meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda,
الدرهم يصيبه الرجل من الربا اعظم
عند الله من ثلاثة وثلاثين زينة
يزنيها فىالاسلام (رواه الطبرانى
Satu dirham riba yang diambil seseorang, maka dosanya di sisi Allah
lebih besar dari tiga puluh enam kali berzina yang dilakukannnya dalam
islam”.(H.R. Darul Quthny)
ان الدرهم يصيبه الرجل من الربا أعظم عند الله في
الخطيئة من ست و ثلاثين زينة يزنيها الرجل و أن أربى الربا عرض الرجل المسلم (
رواه ابن أبي الدنيا و البيهقي)
Diriwayatkan oleh Anas bahwa Rasulullah SAW
telah berkhutbah dan menyebut perkara riba dengan bersabda,”Sesungguhnya
satu dirham yang diperoleh seseorang dari riba, lebih besar dosanya di sisi
Allah dari tiga puluh enam kali berzina. Dan sesungguhnya sebesar-besar riba
ialah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (H.R. Baihaqi dan Ibnu Abu
Dunya).
Diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas, bahwa Nabi SAW bersabda,
اذا ظهر الربى
والزنى في قرية فقد أحلوا بعذاب الله (رواه الحاكم)
“Apabila zina dan riba telah
merajalela dalam suatu negeri, maka sesunggguhnya mereka telah menghalalkan
azab Allah diturunkan kepada mereka”.(H.R. Hakim)
Amru bin Ash
mendengar langsung Nabi mengatakan,
ما من قوم يظهر فيهم الربا الا أخذوا با لسنة وما من قوم يظهر فيهم الرشا الا أخذو با لرعب (
رواه أحمد)
“Bila riba merajalela pada suata bangsa,
maka mereka akan ditimpa tahun-paceklik (krisis ekonomi). Dan bila suap-menyuap
merajalela, maka mereka suatu saat akan ditimpa rasa ketakutan”. (H.R. Ahmad).
Diriwayatkan dari ‘Auf
bin Malik, bahwa Nabi SAW bersabda,
اياك و الذنوب التى لا تغفر : الغلول فمن غل شيئا اوتي
به يوم القيامة و أكل الربا بعث يوم
القيامة مجنونا يتخبط (رواه الطبراني)
Jauhilah dosa-dosa yang tak
terampunkan, yaitu, pertama, curang (menipu &korupsi), siapa yang curang,
maka pada kiamat nanti, akan didatangkan kepadanya siksa. Kedua, pemakan riba,
barang siapa memakan riba, maka ia dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam
keadaan gila dan membabi buta. (H.R. Thabrani).
ما أحد أكثر من الربا الا كان عاقبة أمره الى قلة (
رواه ابن ماجة و الحاكم)
Abdullah bin Mas’ud memberitakan
bahwa Nabi SAW bersabda, “Setiap orang yang banyak makan riba, maka
urusannya berakibat pada kekurangan”.(H.R. Ibnu Majah dan Hakim).
Maksudnya, pemakan riba
selalu merasa kurang karena rakus pada uang dan harta. Sedangkan uangnya tidak
diberkati Allah.Hal ini telah difirmankan Allah dalam al-qur’an,
“Allah mencabut berkah dari riba dar menyuburkan (memberkati)
sedeqah”. (Q.S. 2:276).
Dalam beberapa hadits dijelaskan, bahwa
berkembangnya riba merupakan tanda-tanda akhir zaman (kiamat). Hal ini
menunjukkan bahwa riba termasuk dosa besar yang harus dijahui ummat Islam. Dua
hadits dibawah in menginformasikan kepada kita hal diatas.
ليأتين على الناس زمان لا يبقى
منهم احد من الربا فمن لم يأكله أصابه من
غباره (ابو داؤد)
Abu Hurairah
memberitakan bahwa Nabi SAW bersabda,”Sungguh akan datang suatu zaman atas
manusia, dimana tak seorang pun yang hidup saat itu, kecuali makan riba. Barang
siapa yang tidak memakannya, akan terkena debunya”.(H.R.abu Daud dan ibnu
Majah)
بين يدي الساعة يظهر الربا و
الزنا و الخمر (رواه الطبراني)
Ibnu Mas’ud meriwayat bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Menjelang kiamat akan merajalela zina, riba dan minuman keras”.
(H.R.Thabrani).
[1] A. M. Sadeq. "Factor Pricing and Income
Distribution from An Islamic Perspective" yang dipublikasikan dalam Journal
of Islamic Economics, 1989, hlm 27-28
[2] Karena itu,
Menteri Perdagangan dan Industri ketika itu, menulis surat kepada Bank
Indonesia. Dia kesal melihat 60-70 % uang bank meninggalkan sektor riel, usaha
kecil dan menengah. Uang itu menari bersenang-senang dalam alunan simponi
ribawi dan terkadang nongkrong berjudi
di pasar Valas. Sebagiannya ber-riba ria di “pasar antar bank”. Dan yang paling
happy adalah di SBI tadi.
Realitas yang amat buruk itu, tidak terjadi di bank-bank syari’ah. Hal
ini terlihat dari FDR bank syariah yang saat ini mencapai 115 %. Ini artinya,
bahwa seluruh dana pihak ketiga (berupa tabungan, deposito dan giro) disalurkan
kepada ekonomi rakyat, malah diambil lagi dari modal perbankan itu sendiri
sebesar 15 %. Sehingga bank syariah benar-benar berperan menumbuhkan sektor
riel dan fungsi intemediasinya benar-benar terwujud..Kenyataan ini merupakan
kebalikan total dari sebagian besar bank konvensional. Bank konvensional
memiliki fungsi intermediasi yang masih
rendah.
[3] Apabila bunga
SBI sebesar Rp 17 % lebih,
sementara bunga yang harus dibayarkan kepada deposan atau penabung
hanyalah berkisar 11-12 %. Maka dengan ongkang-ongkang saja lembaga perbankan
konvensional meraup spread berupa bunga/riba, dalam jumlah besar, hampir
mencapai 5-6 %. Jika sebuah bank konvensional menempatkan dana 100 triliun,
maka spread yang diperolehnya setahun Rp 5 -6 triliun.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas koment anda yang Sopan dan Ramah...