Pendahuluan
Perkembangan
bisnis Islam dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, khususnya yang
bergerak di sektor finansial, seperti lembaga perbankan, asuransi, pasar modal,
reksadana, dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Sehubungan dengan itu,
konsep-konsep fikih muamalah pun menjadi penting, karena ia menjadi pedoman dalam operasional lembaga-lembaga
keuangan tersebut. Di antara konsep fikih muamalah yang cukup penting adalah
syirkah.
Konsep syirkah inilah yang menjadi perbedaan utama antara
lembaga keuangan Islam dengan lembaga keuangan konvensional. Konsep syirkah
-yang di dalamnya juga termasuk mudharabah- merupakan instrumen
penting dalam moneter dan keuangan Islam dan konsep inilah yang menggantikan
sistem bunga dalam isntitusi keuangan.
Dalam ekonomi
kapitalisme bunga bank (interest rate) merupakan nadi dalam sistem perekonomian kontemporer. Hampir tak
ada sisi dari perekonomian, yang luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit
system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara,
hingga perdagangan internasional.
Penerapan
bunga dengan konsep time value of money memastikan keuntungan dimuka.
Padahal setiap usaha tidak bisa dipastikan harus berhasil sejumlah sekian,
karena pada kenyataannya, setiap usaha pasti berhadapan dengan resiko yang
mengandung kemungkinan rugi, untung, dan pulang modal. Keuntungan pun bisa
besar, sedang dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia telah
didominasi sistem bunga, sehingga telah
mengkristal dalam setiap aktivitas bisnis masyarakat dunia.
Karena
mengkristalnya sistem bunga tersebut, terbentuklah dinamika yang khas dalam
perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Bahkan kini pasar
moneter konvensional tidak lagi terbatas pada pasar modal, pasar uang dan
obligasi, tapi bertambah dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan
turunan dari ketiga pasar tersebut. Kesemuanya tetap menggunakan bunga bank
sebagai harga dari produk-produknya. Maka tak heran jika perkembangan di pasar
moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal
Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency
speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 triliun hanya
dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia
di sektor riil US$ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan empat hari
transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil
selama setahun.
Dampak
perkembangan yang begitu besar pada sektor moneter jelas menghambat
perkembangan sektor riil. Jika diasumsikan money supply (uang beredar)
tetap, maka sistem kredit dengan bunganya yang ada pada pasar-pasar moneter
akan menyedot uang beredar. Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang
terjadi, tetapi juga kemerosotan sektor riil dan ekonomi masyarakat. Secara
global kemerosotan ini akan berpengaruh pada returns yang diperebutkan pada
sektor moneter. Sehingga jika ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka
wajar sebagian pakar memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar, tidak
hanya di negara-negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara maju (negara
pemilik modal).
Syari’ah Islam
dengan tegas meyakini bahwa bunga bank
yang bersifat pre-determined akan mengeksploitasi perekonomian, cenderung
terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan kekayaan dan kekuasaan pada
segelintir orang. Hal ini akan membawa pada ketidakadilan, ketidakefisienan,
dan ketidakstabilan perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996), bungalah
yang telah menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan dan tujuan yang
akan dicapai. Bunga juga merusak tujuan-tujuan yang ingin didapat, pertumbuhan
ekonomi, produktivitas dan stabilitas ekonomi. Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam bukunya A
History of Money from Ancient Times to the Present Day[1]
(1996) mengatakan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam lebih dari 20
krisis yang terjadi sepanjang abad 20.
Dalam ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan
riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah
mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika
menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah
perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam,”Allah
menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Jual
beli atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel.
Dalam ekonomi
syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang
kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena
sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki
kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa
agar hasil usaha selalu positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil pada
hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena
memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan
dalam perekonomian. Salah satu skim
bagi hasil yang sangat populer di dunia perekonomian komtemporter adalah
syirkah. Inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Kajian ini penting terus
dikaji dan digali mengingat masih banyak persoalan hukum Islam (muamalah) yang
perlu dituntaskan secara hukum syari’ah.
Pengertian
Secara etimologis syarikah
berarti ikhtilath (percampuran),
yakni bercampurnya satu harta dengan harta yang lain, sehingga tidak bisa
dibedakan antara keduanya. Selanjutnya, kata syirkah itu digunakan oleh ummat
Islam untuk sebuah transaksi perkongsian dalam dunia bisnis.[2]
Dalam
mendefinikan syirkah secara istilah syar’iy, para ulama berbeda penekanan yang
mengakibatkan perbedaan rumusan redaksional.[3]
Malikiyah mengatakan, syarikah adalah pemberian wewenang kepada pihak-pihak
yang bekerjasama. Artinya, setiap pihak memberikan wewenang kepada partnernya
atas harta yang dimiliki bersama dengan masih tetap berwenang atas harta masing-masing
Menurut Hanabilah syirkah itu adalah berhimpunnya hak dan wewenang untuk
mentasharrufkan bisnis syirkah
tersebut.
Menurut Syafi’iyah, syirkah itu adalah eksisnya hak pada suatu bisnis yang
dimiliki oleh dua orang atau lebih.
Menurut Hanafiyah, syirkah itu adalah suatu akad yang terjadi antara dua
oarang yang syarikat dalam modal dan keuntungan.
Definisi yang lebih tepat dan jelas adalah defisini Hanafiyah, karena
secara eksplisit ia menjelaskan hakikat syirkah itu sebagai akad kerjasama
bisnis antara dua pihak di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi
modal, dan keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Defenisi-defenisi yang
lain tidak mengarah kepada substansi syirkah tetapi lebih kepada implikasi
syirkah itu sendiri. Hal itu terlihat dari kata kunci yang mereka gunakan dalam
mendefinisikan syirkah, yaitu kata hak (istihqaq
dan wewenang tasharruf).
Landasan Syari’ah
Dasar syari’ah konsep
syirkah terdapat dalam Alquran, Sunnah dan Ijma’.
- Al Quran :
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُث
ِ
”Maka
mereka bersyarikat pada sepertiga” (QS. An-Nisak :12)
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي
بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
”Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu, sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih (QS.Shad
: 24)
Kata Al-Khulatha’
dalam ayat di atas bermakna orang-orang yang bersyarikat (syuraka’).
- Al-Hadits
:
Sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah –secara marfu’-, bahwa Rasulullah Saw bersabda
(رواه أبو داود)
”Sesungguhnya
Allah ’Azza wa Jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya (H.R.Abu Daud dan Hakim dan mereka
menshahihkan hadits ini).
Maksud hadits ini adalah bahwa Allah akan
menjaga dan membantu mereka yang bersyarikah dengan memberikan tambahan pada
harta mereka dan melimpahkan berkah pada perdagangan mereka. Jika ada yang
berkhianat, maka berkah dan bantuan tersebut dicabut Allah.[5]
Rasulullah Saw juga bersabda,
يد الله على الشريكين ملم يتخاوناه [6]
”Tangan
Allah berada pada dua orang yang
bersyarikat selama tidak berkhianat” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni : 5/1).
- Ijma’
Para ulama telah konsensus (ijma’) membolehkan syirkah,
meskipun ada perbedaan pendapat dalam persoalan-persoalan detailnya.
Jenis-Jenis Syirkah
Syirkah ada dua macam :
- Syirkah Amlak ; yaitu
dua orang atau lebih memiliki benda/harta, yang bukan disebabkan
akad syirkah. Perkongsian pemilikan ini tercipta karena warisan, wasiat,
membeli bersama, diberi bersama, atau kondisi lainnya yang berakibat
pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih.
Syarikah Amlak ini terbagi lagi kepada dua macam,
yaitu syarikah ikhtiyar dan syirkah jabar.
a). Syarikah ikhtiyar,
yaitu syarikah yang terjadi oleh perbuatan dua orang yang bekerjasama, seperti
manakala keduanya membeli, diberi atau diwasiati lalu keduanya menerima,
sehingga sesuatu tersebut menjadi hak milik bersama bagi keduanya.
b). Syirkah jabar,
yaitu syirkah yang terjadi bukan oleh perbuatan dua pihak atau lebih
sebagaimana syirkah ikhtiyar di atas,
tetapi mereka memilikinya secara
otomatis, terpaksa dan tidak bisa mengelak (jabari),
seperti dua orang yang mewarisi sesuatu, sehingga kedua orang tersebut sama-sama
mempunyai hak atas harta warisan tersebut
- Syirkah ’Ukud, yaitu transaksi yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih untuk berserikat dalam permodalan dan keuntungan. Dalam
syarikah ukud tidak terdapat karakterrstik jabari. Karena itu, semua syirkah ukud bersifat ikhtiari,
sehingga perundang-undangan (positif di Mesir) menyebutnya sebagai syarikah ikhtiyariyah[7]
Pembagian syirkah ini dapat
dilihat dalam gambar di bawah ini
Para ulama berbeda pendapat
dalam membagi jenis-jenis syirkah ’ukud.
-Menurut Hanabilah, syirkah ’ukud ada 5 macam, yaitu :
a). Syirkah ’inan
b). Syirkah Mufawadhah
c). Syirkah Abdan
d). Syirkah Wujuh
e). Syirkah Mudharabah
Menurut Hanafiyah syirkah itu ada enam macam, yaitu :
a). Syirkah Amwal
b). Syirkah A’mal
c). Syirkah Wujuh
Setiap syirkah tersebut terdiri dari dua macam syirkah, yaitu syirkah mufawadhah dan syirkah ’inan. Sehingga seliuruhnya
berjumlah enam jenis syirkah.
Sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah syirkah ada empat macam :
a). Syirkah Inan
b). Syirkah Mufawadhah
c). Syirkah Abdan
d). Syirkah Wujuh.[8]
Syafi’iyah hanya membolehkan
syirkah ‘inan dan syirkah mudharabah.
Hanabilah membolehkan semua jenis syirkah kecualin syirkah mufawadhah.
Malikiyah membolehkan semua
syirkah, kecuali syirkah wujuh dan mufawadhah.
Hanafiyah dan Zaidiyah
membolehkan segala jenis syirkah jika memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Meskipun jenis-jenis syirkah cukup banyak, namun makalah ini hanya
membahas lima
macam syirkah, yaitu syirkah Inan,
mufawadhah, abdan, wujuh dan mudharabah.
Hal ini disebabkan karena kajian tentang syirkah sangat luas.
1. Syirkah ‘Inan,
Adalah kontrak antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian
sebagaimana disepakati di antara mereka. Namun porsi masing-masing pihak, baik
dalam dana, hasil kerja maupun bagi hasil berbeda, sesuai dengan kesepakatan
mereka.
2. Syirkah Mufawadhah
Adalah dua orang atau
lebih melakukan serikat bisnis dengan syarat adanya kesamaan dalam permodalan,
pembagian keuntungan dan kerugian, kesamaan kerja, tangunggung jawab dan beban
hutang. Satu pihak tidak dibenarkan
memiliki saham (modal) lebih banyak dari
partnernya. Apabila satu pihak memiliki
saham modal sebasar 1000 dinar,
sedangkan pihak lainnya 500 dinar, maka ini bukan syirkah mufawadhah, tapi
menjadi syirkah inan. Demikian pula
aspek-aspek lainnya, harus memiliki kesamaan.
3. Syirkah ’Amal/abdan
Adalah kontrak kerja sama
dua orang atau lebih untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi
keuntungan dari pekerjaan itu, seperti tukang jahit, tukang besi, tukang kayu,
arsirtek, dsb. Misalnya, dua pihak
sepakat dan berkata, ” Kita berserikat untuk bekerja dan keuntungannya kita
bagi berdua”. Syirkah ini sering disebut
juga syirkah abdan atau shana’iy.
4.Syirkah Wujuh
Adalah kontrak bisnis
antara dua orang atau lebih yanag
memiliki reputasi dan prestise baik, di mana mereka dipercaya untuk
mengembangkan suatu bisnis tanpa adanya
modal. Misalnya, mereka dipercaya untuk membawa barang dagangan tanpa pembayaran
cash. Artinya mereka dipercaya untuk membeli barang-barang itu secara kredit
dan selanjutnya memperdagangkan barang tersebut untuk mendapatkan keuntungan.
Mereka berbagi dalam keuntugan dan kerugian
berdasarkan jaminan supplyer
kepada masing-masing mereka. Oleh karena bisnis ini tidak membutuhkan modal,
maka kontrak ini biasa disebut sebagai
syirkah piutang.[9]
Rukun dan Syarat Syirkah[10]
Menurut jumhur ulama rukun
syirkah ada tiga macam :
a). Pihak yang berkontrak (’aqidani)
b). Obyek kesekapatan (ma’qud ’alaih)
c). Sighat (ijab dan qabul)[11]
Sedangkan syarat-syarat syirkah
yaitu :
a). Pihak yang berkontrak
Disyaratkan bahwa mitra harus kompeten (cakap
secara hukum) dalam bertransaksi dan tentunya berkompeten dalam memberikan atau
menerima kekuasaan perwakilan.[12]
b). Obyek kesepakatan (ma’qud ’alaih)
Obyek kesekapatan dalam syirkah ini ada dua unsur,
yaitu dana (modal) dan kerja. Dana (modal) yang diberikan harus uang tunai.
Tapi sebagian ulama yang lain memberikan kemungkinan bila modal berwujud asset
perdagangan, seperti barang-barang, properti, dsb. Bahkan bisa dalam bentuk hak
yang non fisik, seperti lisensi dan hak
paten.[13]
Bila itu dilakukan, seluruh modal tersebut harus dinilai lebih dahulu secara
tunai dan disepakati para mitranya. Partisipasi dan campur tangan para mitra
dalam bisnis musyarakah adalah hal mendasar. Tidak dibenarkan bila salah satu
pihak menyatakan tak ikut serta menangani pekerjaan dalam syirkah tersebut.
Kalaupun tidak ingin terlibat langsung, ia harus mewakilkannya pada partnernya
itu. Jadi, jenis usaha yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan
kepada orang lain. Hal ini penting, karena dalam kenyataan, seringkali satu
partner mewakili perushaan untuk melakukan persetujuan transaksi dengan
perusahaan lain. Salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari
yang lain dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih darinya sesuai dengan
kesepakatan. Kemudian, para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar
kesepakatan[14]
c).Ucapan
Tidak ada bentuk khusus
dari kontrak syirkah. Redaksi akadnya
dapat berbentuk ucapan (verbal)
atau tertulis yang menunjukkan perjanjian dan kesepakatan melakukan
perkongsian bisnis. Kontrak syirkah ini harus dicatat secara dokumental.
Hukum-hukum yang berkaiatan
dengan syirkah
- Hukum
tentang keuntungan
-Keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas jumlahnya secara
kuantitatif. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas dasar berkontrak syirkah
agar tidak mengarah kepada perselisihan pada waktu alokasi keuntungan atau
penghentian kontrak syirkah.
Masing-masing partnet harus mengetahui jumlah
saham dan proporsi (nisbah) keuntungan, misalnya 20 %, 50 % dan sebagainya.
-Pembagian keuntungan harus proporsional sesuai
dengan jumlah modal masing-masing pihak. Dengan demikian, seorang mitra yang
menyetor modal 1000 dinar, berbeda bagian keuntungannya dengan mitra yang menyetor
500 dinar. Maka pembagian keuntungan harus didasarkan pada nisbah.
-Seorang mitra tidak dibenarkan menentukan bagian
keuntungannnya sendiri pada awal kontrak, karena hal itu mereduksi dasar dan
filosofi syirkah serta melanggar prinsip keadilan
-Tetapi menurut mazhab Hanafi dan Hanbali,
pembagian keuntungan tidak harus proporsional terhadap modal sebagaimana
ketentuan di atas. Hal ini bila para mitra membuat syarat-syarat tertentu dalam
kontrak. Argumentasi mereka didasarkan pada pandangan bahwa keuntungan bukan
hanya dari hasil modal, melainkan hasil
dari modal dan kerja. Bila salah satu mitra lebih berpengalaman atau memiliki
skills dari mitra yang lain, dibolehkan baginya untuk mensyaratkan bagian
tambahan dari keuntungan untuknya sebagai kompensasi skills dan kerjanya yang
lebih banyak. Kedua aliran mazhab tersebut memberikan argumentasi dengan
mengutip ungkapan Ali bin Abi Thalib, ”Keuntungan
harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional
dengan modal mereka”.[15]
- Hukum tentang Kerugian
Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi di
antara para mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal.
Pendapat ini karena didasarkan pada ucapan Ali bin Abi Thalib di atas.
Dalam hal musyarakah yang berkelanjutan atau
jangka panjang, dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa
dikompensasi dengan keuntungan pada masa-masa berikutnya.
Hukum yang berkaitan tentang Berhentinya Musyarakah
Pada
prinsipnya, musyarakah akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak
atau meninggal, kompetenti hukumnya berhenti (seperti gila) atau modal
musyarakah hilang/rugi. Musyarakah
didasarkan atas perwakilan dan integritas. Setiap mitra adalah wakil
bagi lainnya. Perwakilan merupakan kontrak yang disepakati kebolehannya oleh
seluruh ulama. Tidak ada pihak yang bisa dipaksa untuk meneruskan perkongsian
yang bertentangan dengan kemauannya, maka tiap mitra berhak menghentikan
syirkah kapan saja ia inginkan, sepanjang sesuai dengan perjanjian awal. Namun
dalam kasus adanya salah seorang yang wafat, maka salah satu ahli warisnya yang baligh dan berakal sehat
dapat menggantikan posisi mitra yang meninggal tersebut. Hal ini tentunya memerlukan persetujuan ahli waris lain dan
mitra musyarakahnya. Ketentuan-ketentuan itu seharusnya dibuat dalam
pasal-pasal perjanjian syirkah. Syirkah juga berakhir jika modal hilang atau
rusak.
Aplikasi Syirkah dalam Perbankan
Dari sekian banyak jenis dan variasi
syirkah, hanya syirkah ’inan yang
paling tepat dan dapat diaplikasikan dalam perbankan syari’ah. Syirkah ini
biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank
sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu
selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang ditelah
disepakati untuk bank.
[1] Roy
Davies dan Glyn Davies, A History of Money from Ancient Times to the Present
Day,London dan New York , Routlegge, 1996, hlm 79
[2]
Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Juz IV, Darul Fikri, Beirut, 1989, hlm.3875
[3]
Semua definisi yang dikutip di sini merujuk kepada kitab Al-Fiqh Al-Islami tulisan Wahbah Az-Zuhaily, ibid..
[4] Abu Daud Sulaiman Al-Asy-‘ats
Al-Sajistaniy, Sunan Abu Daud, Juz III, Beirut, Darul Fikri, hlm 78
[5]
Wahbah, op.cit. hlm. 3876
[6] Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni : Beirut , Darul Fikri, 5/1).
[7]
Ibid., hlm.3877-3878
[8]
ibid..
[9]
Ibid., hlm.3880-3889
[10]
Kajian tentang rukun dan syarat ini lebih banyak diringkas dari tulisan Wahbah
Az-Zuhaily mulai hlm.3879-3899
[11]
Ibid, hlm. 3879
[12]
Ibid., hlm 3889
[13]
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Ulama dan Cendikiawan,
Tazkia Institute, Jakarta ,
1999,hlm. 191
[14]
DSN MUI dan Bank Indonesia , Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional,
PT Intermasa, Edisi Kedua, Jakarta ,
2003,
[15]
Wahbah Az-Zuhaily, op.cit, hlm. 3901. lihat juga Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam,
terj.Soroyo, Dana Bahkti Wakaf, Yogyakarta ,
1995, hlm. 371 . Syafi’i Antonio, op.cit, hlm. 184
luar biasa ust imron...
ReplyDeletemantab gan...
ReplyDeleteMakasih....
ReplyDeletesmoga dapat bermanfaat kedepannya.. :)